Kisah Khalifah yang Diberi Julukan Keledai
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Julukan keledai dalam konteks ini bukan bermakna tidak baik, justru sebaliknya. Khalifah ini merupakan pemimpin yang sabar dan cermat menghadapi musuh dan menanggung beban perang.
Hal ini terdapat dalam sebuah pepatah,
”Si fulan lebih sabar daripada seekor keledai,” atas kesabaran tersebut, khalifah ini mendapatkan julukan al-Himar.
Julukan ini diberikan kepada khalifah terakhir Bani Umayyah yakni Marwan al-Himar, anak dari Muhammad bin Marwan bin Hakam.
Ia dikenal dengan julukan Abu Abdul Malik. Diberi gelar Al-Ja’di yang berarti orang mengajari tata krama. Secara karakter kepribadian, ia adalah orang yang sangat baik, dalam artian memiliki julukan al-Himar disematkan kepadanya karena ia amat sabar dan cermat dalam menghadapi musuh dan menanggung perang.
Ketangguhan Marwan dalam memimpin rakyatnya, menyajikan cerita yang amat berkesan bagi para penerusnya.
Ini selaras dengan kiasan, si Fulan lebih sabar daripada seekor keledai, karena kesabarannya itulah, kawan dan lawan politiknya menjuluki dirinya al-Himar.
Mungkin juga barangkali karena orang-orang Arab menyebut era setiap seratus tahun sebagai Himar. Karena itulah ketika khilafah Bani Umayyah mendekati umurnya yang keseratus dan sedang dipimpin oleh Marwan mereka pun memberi Marwan gelar Himar.
Sebutan ini sebenarnya menjadi salah satu pemaknaan yang cukup unik bagi kita. Sebab selama ini julukan keledai dipahami sebagai julukan yang buruk. Nyatanya, Marwan justru merupakan orang yang sebaliknya.
Biografi Marwan
Marwan dilahirkan di jazirah (wilayah hijaz). Ayahnya berkuasa di wilayah tersebut pada tahun 72 H. Adapun ibunya adalah mantan budak yang dimerdekakan berkat perkawinannya dengan ayahnya.
Marwan al-Himar dikenal sebagai ahli kuda, pemberani, pejalan kaki yang tangguh, bersifat licik dan sembrono. Saat berada di Armenia ia mendengar bahwa Yazid terbunuh.
Diajaknya orang-orang untuk membaiat kaum muslimin dan ternyata mereka membaiatnya sebagai khalifah. Marwan merupakan khalifah terakhir yang berkuasa dari Damaskus.
Sebelum menjadi khalifah, ia sudah menjabat Gubernur Azerbajian. Ia menjabat menjadi khalifah ketika umur 56 tahun.
Sebelum menjadi khalifah, ia merupakan panglima perang yang gigih. Dalam menjalankan perintah perang, ia adalah orang yang berpengaruh terhadap keberhasilan perang.
Sayangnya ketika ia menjadi khalifah, berbanding terbalik dengan kemampuan tersebut. Pemerintah Umayyah dalam banyak hal terjadi peperangan dan pemberontakan di mana-di mana, yang akhirnya ia tidak bisa mempertahankan Bani umayyah
Berakhirnya kekuasaan Marwan
Terbunuhnya Yazid membuat ia segera melakukan pemberontakan yang cukup fatal dalam kepemimpinannya. Begitu Berita kematian Yazid an-Naqish sampai di telinganya, ia memberikan uang dalam jumlah yang sangat besar lalu mengorganisasi pemberontakan melawan Ibrahim bin Walid.
Pada akhirnya Ibrahim takluk dan Marwan Al-Himar dibaiat sebagai khalifah. Peristiwa ini terjadi pada bulan Sharaf tahun 129 H. Peristiwa pertempuan ini menjadi cerita yang sangat mendalam bagi umat muslim.
Sebab pada bagian cerita selanjutnya, Marwan membongkar kuburan Yazid. Dikeluarkannya jasad Yazid dari liang lahat lalu disalibkannya. Ini ia lakukan karena Yazid telah membunuh Walid bin Yazid.
Namun, kekuasaan Marwan Al himar tidak berjalan stabil akibat banyaknya pemberontakan di berbagai tempat. Ia berkuasa hingga tahun 132 H.
Pemberontakan dilakukan oleh Bani Abbas yang dipimpin oleh Abdullah bin Ali, yang tidak lain adalah paman as-Saffah. Marwan segera berangkat untuk memadamkan pemberontakan itu. Kedua pasukan berhadap-hadapan di dekat maushil.
Marwan meninggal dalam keadaan dibunuh pada bulan Dzulhijjah tahun 132 H. Ia kalah dalam pertempuran sengit dengan Abdullah bin Ali dan memilih kembali ke Syam. Pengejaran tersebut dilanjutkan oleh saudara Abdullah yang bernama Shaleh. Hingga akhirnya, Marwan kalah dalam pertempuran itu dan meninggal dalam keadaan terbunuh.
Sumber bacaan:
Imam Assuyuti, Tarikh Khulafa: Sejarah Para Khalifah, penerjemah, Muhammad Ali Nurdin, (Jakarta: Qisthi Press, 2017)