Teladan Kiai Wahab Chasbullah Menghadapi Situasi Bahaya
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Terdapat satu cerita menarik Kiai Abdul Wahab Chasbullah ketika tengah menghadapi situasi yang berbahaya.
Kisah ini pernah saya baca dan dapatkan dari salah seorang ustadz selagi masih di pesantren dahulu. Tulisan ini sebagai bentuk ikhtiar untuk turut serta andil dalam melestarikan pendidikan melalui kisah-kisah ulama terdahulu yang patut menjadi contoh teladan bagi generasi masa kini.
Alkisah, pada sekitar April 1942, Rais Akbar NU, KH. Hasyim Asy’ari dan Ketua Hoofdbestuur NU, KH. Mahfudz Shiddiq mengalami kriminalisasi dan ditangkap oleh tantara Jepang.
Hal tersebut dituliskan oleh Choirul Anam dalam bukunya, Pertumbuhan dan Perkembangan NU.
KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Mahfudz Shiddiq ditahan selama kurang lebih empat bulan oleh tantara Jepang.
Beliau berdua dituduh sebagai dalang dari aksi perusakan di pabrik gula dekat pesantren Tebuireng.
Tentu saja alasan penangkapan tersebut hanyalah alasan yang dibuat-buat oleh tentara Jepang.
Alasan penangkapan sebenarnya adalah karena Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Mahfudz Shiddiq menolak saikerei.
Saikerei sendiri merupakan sebuah upacara penghormatan pada kaisar Jepang Tenno Haika yang diyakini oleh Nippon (pihak Jepang) sebagai keturunan Dewa Matahari, Omiterasi Omikami dengan posisi siap membungkukkan badan 90 derajat (semacam rukuk dalam salat) menghadap kea rah Tokyo.
Perintah untuk melakukan saikerei diperuntukkan bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk para ulama, kiai, pejabat hingga rakyat biasa.
KH. Syaifuddin Zuhri menjelaskan bahwa pada masa-masa tersebut merupakan tahun-tahun derita yang cukup berat bagi NU.
Bagaimana tidak, dua sosok tokoh puncak NU ditangkap oleh Jepang sehingga mempengaruhi situasi NU sendiri pada waktu itu.
Dalam kondisi yang demikian sulit dan berbahaya, Kiai Wahab Chasbullah yang waktu itu menjabat sebagai Katib Syuriyah HBNO (OBNU) mengambil alih seluruh tanggung jawab memimpin NU.
Kiai Wahab berani tampil ke depan dan menamakan dirinya sebagai Ketua Besar PBNU.
Tampilnya Kiai Wahab didukung oleh seluruh tokoh puncak syuriyah dan tanfidziyah NU bahkan mereka melakukan baiat setia membantu Kiai Wahab apapun yang terjadi.
Kiai Wahab tidak hanya tampil memimpin dan menjaga stabilitas NU saja, tetapi beliau juga banyak terjun ke lapangan.
Beliau membela di pengadilan bagi para tokoh NU yang ditangkap oleh pihak Jepang.
Hal inilah yang menyulut kembali semangat para nahdliyyin dan para tokoh NU untuk tetap optimis dan tidak berhenti berjuang.
Rasa tanggung jawab besar, kebijaksanaan serta peran nyata yang ditunjukkan oleh Kiai Wahab menjadi teladan yang sangat membekas di hati para nahdliyyin.
KH. Syaifuddin Zuhri bercerita bahwa Kiai Wahab dan Kiai Wahid Hasyim bekerja keras mengurus pembebasan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Mahfudz Shiddiq.
Beliau mondar-mandir Surabaya-Jakarta, Surabaya-Jember dalam rangka upaya memperjuangkan kebebasan hadlratus syaikh Hasyim Asy’ari dan al-Mukarrom Akhi Kiai Mahfudz Shiddiq.
Selain upaya membebaskan beliau, Mbah Wahab juga telah menetapkan kembali hadlratus syaikh Hasyim Asy’ari sebagai Ketua Besar NU dan al-Mukarrom Akhi Kiai Mahfudz Shiddiq sebagai Rais Akbar NU.
Namun karena al-Mukarrom Akhi Kiai Mahfudz Shiddiq belum berhasil diperjuangkan, untuk sementara, Kiai Nahrowi Thohir, salah seorang A’wan Syuriah PBNU menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU.
Hingga akhirnya KH. Mahfudz Shiddiq berhasil dibebaskan atas hasil perjuangan para ulama yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah dan didampingi oleh KH. Abdul Wahid Hasyim.
Dari kisah beliau menghadapi situasi bahaya itulah, dapat dipetik hikmah bahwa pemimpin sejati tidak akan mundur dari kesulitan dan tetap berjuang bersama masyarakat.
Teladan dari beliau tentunya perlu menjadi warisan kisah perjuangan yang layak untuk terus dilestarikan dan dibagikan turun menurun kepada generasi emas Islam di masa depan. Wallahu a’lam. []