Kisah Keluarga dalam Al-Qur’an Ini Bisa Menjadi Pelajaran Berharga
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Sebagai wahyu Allah SWT, Al-Qur’an bisa menjadi pegangan bagi semua umat manusia, khususnya bagi kaum mukmin dalam menjalani kehidupan mahligai rumah tangga.
Tampaknya kisah-kisah keluarga yang terdapat dalam Al-Qur’an ini bisa menjadi referensi sekaligus pelajaran berharga bagi kita semua, khususnya bagi para orang tua.
Salah satu kisah keluarga yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah kisah Nabi Nuh dengan sang Istri. Dimana dalam hubungan keluarga ini digambarkan bagaimana sang ayah (Nuh) adalah seorang yang saleh, sedangkan sang ibu (istri Nuh) merupakan manusia jahat dan kafir.
Pada kisah ini, sang anak lebih cenderung mengikuti sang ibu. Kan’an, sebagaimana kita tahu, justru berada di barisan orang-orang kafir (penentang nubuwwah Nuh) bersama ibunya.
Selanjutnya kisah hubungan Firaun dan istrinya. Berkebalikan dari dengan kisah Nabi Nuh. Kali ini sang ayah (Fir’aun) yang kafir dan pendosa, sementara sang ibu sangat salehah dan mukminah.
Dan anak-anak mereka lebih condong meneladani perilaku sang ayah (Fir’aun). Sehingga dari generasi ke generasi, raja-raja setelah Firaun tidak berbeda jauh akhlaknya dengan sang ayah: kafir dan menentang nubuwwah (kenabian).
Kisah berikutnya adalah hubungan Nabi Ibrahim dan istrinya (baik Hajar maupun Sarah). Kali ini, baik sang ayah maupun sang ibu sama-sama saleh dan salehah, mukmin sejati, pembakti Allah paling utama.
Bagi anak-anak mereka, mengikuti ayah ataupun ibu adalah sama saja. Walhasil, dari pasangan inilah lahir manusia-manusia mulia mutiara peradaban, Ishak, juga Ismail, yang garis darahnya merupakan muasal Sayyidul Anam, Rasulullah Saw.
Dari kisah ini kita dapat memetik pelajaran bahwa sosok orang tua sangatlah penting. Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw bersabda, “Didiklah anakmu, karena mereka akan menghadapi zaman yang bukan zamanmu.”
Dalam sabda lain yang muttafaq ‘alaih, Rasulullah juga menjelaskan, “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), orang tuanyalah yang akan menjadi penentu, apakah si anak (nantinya) akan menjadi Yahudi, Nasrani, ataukah Majusi.” (MK/Hidayatuna)