Kisah Kehidupan Gus Miek di Masa Kecil
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Sosok bernama KH. Hamim Thohari Djazuli (Gus Miek), tentu sudah tidak asing lagi. Ia lahir 17 Agustus 1940, di Kediri dan wafat pada 5 Juni 1993, Gubeng, Surabaya.
Gus Miek anak dari pasangan KH. Djazuli Ustman dan Nyai Radliyah. Nyai Radliyah ini memiliki jalur keturunan sampai kepada Nabi Muhammad, sebagai keturunan ke-32 dari Imam Hasan, anak dari Ali bin Abi Thalib dengan Siti Fathimah.
Fuji N. Iman dalam bukunya “Gus Miek: Kisah-Kisah Nyentrik dan Petuah-Petuah Sufistik” menjelaskan sejak kecil, ia sudah tampak keunikannya. Gus Miek tidak suka banyak bicara, suka menyendiri, dan bila berjalan selalu menundukkan kepala.
“Gus Miek juga sering masuk ke pasar, melihat-lihat penjual di pasar, sering melihat orang mancing di sungai. Bila keluarganya berkumpul, Gus Miek selalu mengambil tempat paling jauh,” ungkap Fuji N. Iman dikutip Senin (28/11).
Pada awalnya, Gus Miek disekolahkan oleh ayahnya ke Sekolah Rakyat, tetapi tidak selesai karena dia sering membolos. Setelah itu, Gus Miek belajar AI-Qur’an kepada ibunya, Hamzah, Khoirudin, dan Hafidz.
Pada usia 9 tahun, dia telah menampakkan bahwa dirinya memiliki kecenderungan sebagai ulama sufi. Hal itu dibuktikan karena pada usia tersebut dia sudah memiliki ketertarikan pada tasawuf.
“Ketika pelajaran belum selesai, Gus Miek sudah minta khataman. Para gurunya jadi geleng-geleng kepala. Ketika usia Gus Miek masih 9 tahun, dia sudah sering tabarrukan ke berbagai kiai sufi,” jelas Iman.
Beberapa kiai yang dikunjunginya antara lain KM. Mubasyir Mundzir Kediri, Gus Ud (KM. Mas’ud) Pagerwojo-Sidoarjo, dan KH. Hamid Pasuruan. Kebiasaan Gus Miek yang sering pergi ke luar rumah, membuat gelisah orang tuanya.
“Akhirnya, ayah beliau memintanya ngaji ke Lirboyo, Kediri di bawah asuhan KH. Machrus Ali, yang kelak begitu gigih menentang tradisi sufinya,” katanya.
Di Lirboyo, Gus Miek bertahan hanya 16 hari dan kemudian pulang ke Ploso. Ketika sadar orang tuanya resah akibat kepulangannya, Gus Miek justru akan menggantikan seluruh pengajaran ngaji ayahnya, termasuk mengajarkan kitab Ihya Ulumuddin.
“Tapi beberapa bulan kemudian, Gus Miek kembali ke Lirboyo. Ketika masih di pesantren ini, pada usia 14 tahun Gus Miek pergi ke Magelang, nyantri di tempatnya KH. Dalhar Watucongol,” tandasnya. []