Kisah Amru bin Utbah tentang Keistimewaan Al-Qur’an
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Salah satu ulama salaf yang menekuni ilmu Al-Qur’an adalah, Amru bin Utbah bin Farqad As-Sulami.
Ia merupakan seorang ulama yang ahli ibadah dan begitu terpengaruh dengan ayat-ayat Al-Qur’an dalam menjalani hidup kesehariannya.
Selain itu ia juga senang berjihad di jalan Allah dan selalu mendambakan kesyahidan.
Semua itu merupakan karunia dan petunjuk dari Allah, lalu dilanjutkan dengan terus berdoa agar selalu seperti itu serta memaksakan diri dan mengarahkannya untuk selalu taat kepada Allah, tidak bergantung pada dunia, dan hanya menginginkan kebahagiaan di akhirat saja.
Amru bin Utbah pernah mengatakan, “Aku meminta tiga hal kepada Allah. Dua di antaranya telah diijabah, sedangkan satu hal lainnya masih harus kutunggu.
Dua permintaan pertama adalah, aku meminta agar aku selalu dapat berzuhud akan materi dunia, hingga aku tidak terlalu ambil peduli apa yang aku terima dan apa yang hilang dariku.
Aku juga meminta agar aku dikuatkan untuk melaksanakan shalat, hingga aku dapat berlama- lama berdiri di hadapan-Nya.
Kedua hal itu telah aku rasakan jawabannya. Sedangkan permintaan ketika adalah, agar aku diberikan kesyahidan saat meninggalkan dunia ini, dan aku masih mengharapkannya hingga sekarang.”
Adik perempuannya pernah menceritakan tentang bagaimana sifat shalat malam yang dilakukan Amru bin Utbah serta bacaan Al-Qur’annya.
Dikatakan olehnya,
“Aku pernah melihat ia sedang melaksanakan shalat malam. Amru memulai bacaan Al-Qur’annya di dalam shalat itu dari surah haa miim (Al-Mukmin),
Namun ketika mencapai firman Allah, ‘Dan berilah mereka peringatan akan hari yang semakin dekat (Hari Kiamat, yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan karena menahan kesedihan.
Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang zhalim dan tidak ada baginya seorang penolong yang diterima (pertolongannya). (Al-Mu’min:18) ia tidak melanjutkannya lagi dan terus mengulangnya hingga pagi menjelang.”
Ayat yang diulang-ulangnya itu merupakan potret kehidupan yang akan terjadi di Hari Kiamat nanti. Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat tersebut menjelaskan,
“Kata al-azifah merupakan salah satu nama Harl Klamat. Dinamakan demikian karena Hari Kiamat itu waktunya terus semakin mendekat, sebagaimana disebutkan pada firman Allah yang lain, “Yang dekat (Hari Kiamat) telah makin mendekat. Tidak ada yang akan dapat mengungkapkan (terjadinya hari itu) selain Allah.” (Q.S. An- Najm: 57-58).
Allah juga berfirman,
“Saat (Hari Kiamat) semakin dekat, bulan pun terbelah.” (Q.S. Al-Qamar: 1) Allah juga berfirman, “Telah semakin dekat kepada manusia perhitungan amal mereka, sedang mereka dalam keadaan lalai (dengan dunia), berpaling (dari akhirut).” (Q.S. Al-Anbiyaa: 1)
Adapun kelanjutan pada ayat tersebut, ‘ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan karena menahan kesedihan, Qatadah mengatakan, hati naik sampai kerongkongan hingga tercekat karena ketakutan, dan tidak kembali lagi ke tempatnya semula.’ Begitu pula penafsiran yang disampalkan oleh Ikrimah As-Suddi, dan ulama lainnya.
Makna dari kata kazhim sendiri adalah, diam, karena memang tidak ada yang bisa mengatakan apa pun saat itu kecuali dengan izin dari Allah, sebagaimana difirmankan,
“Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan dia hanya mengatakan yang benar.” (Q.S. An-Naba:38)
Sementara Ibnju Juraij memaknai kata kazhim dengan arti, menangis. Adapun kelanjutan ayat tadi,
“Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang zhalim dan tidak ada baginya seorang penolong yang diterima (pertolongannya).”
Maksudnya adalah, orang-orang yang menzhalimi diri mereka sendiri dengan berbuat syirik terhadap Allah tidak bisa meminta tolong pada siapa pun.
Tidak kepada keluarga atau kerabatnya, tidak pada teman atau sahabat terdekatnya sekalipun. Semua orang berlepas tangan darinya dan tidak bisa membantunya sama sekali. []