Kilas Sejarah Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Jogja
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Indonesia terkenal dengan keunikan salah satu sistem pendidikannya yang berbasis asrama. Sistem pendidikan ini jamak dikenal dengan sebutan pesantren.
Keberadaan pesantren di Indonesia sudah sangat lama sekali, sehingga peranannya dalam sejarah islamisasi di Indonesia tidak bisa diragukan lagi.
Salah satu pesantren tua yang masih eksis hingga sekarang adalah pesantren al-Munawwir. Beberapa orang menyebutnya dengan pesantren Krapyak.
Penyebutan tersebut sebenarnya kurang tepat karena di Krapyak sendiri terdapat dua pesantren yang secara kelembagaan relatif terpisah dari segi pengelolaannya yaitu al-Munawwir dan Ali Ma’sum.
Krapyak merupakan nama tempat yang berada di sebelah selatan Kraton Yogyakarta serta perbatasan antara kota Yogyakarta dan Bantul.
Pada tahun 1850-an, seperti dikisahkan oleh Ahmad Athoillah dalam bukunya KH. Ali Maksum: Ulama, Pesantren dan NU, Krapyak masih merupakan hutan yang lebat dan sebagian wilayahnya digunakan untuk mengubur para sinden dan opsir Belanda.
Karena lokasinya yang berada di wilayah Krapyak inilah pesantren ini pada mulanya dinamai oesantren Krapyak.
Baru kemudian pada tahun 1976, diubah menjadi pesantren al-Munawwir untuk mengenang pendirinya dan karena al-Qur’an lah yang menjadi ciri khasnya (almunawwir.com).
Sesuai namanya, pesantren al-Munawwir didirikan oleh KH. M. Munawwir bin Abdullah Rosyad bin Hasan Basori.
Lahir di ligkungan Keraton, yakni kauman. Tidak heran jika rumah ayahnya berdekatan dengan rumah KH. Ahmad Dahlan tokoh pendiri Muhammadiyah.
Meski demikian, masa kecilnya dihabiskan untuk berkeliling menuntut ilmu kepada sejumlah ulama pada masanya seperti KH. Abdullah Kanggotan (Bantul), Kiai Saleh darat (Semarang), KH. Abdurrahman bin Abdurouf Watu Congol (Muntilan) dan KH. Kholil (Bangkalan).
Pengembaraan ilmiah KH. M. Munawir tidak hanya di nusantara, melainkan jauh hingga ke negeri hijaz (1888).
Di sana beliau belajar kepada para ulama otoritatif di bidang yang kelak menjadi spesialisasinya yakni al-Qur’an.
Nama ulama tersebut di antaranya Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Sarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrohim al-Huzaimi, Syaikh Mansyur, Syaikh Abdussyakur dan Syaikh Musthofa.
Setelah menimba ilmu selama 21 tahun di Makah, KH. M. Munawir pulang ke tanah air (1909). Beliau menetap di Kauman untuk mengajarkan al-Qur’an.
Atas saran KH. Said pengasuh Pesantren Gedongan KH. M. Munawwir pindah ke Krapyak.
Perpindahan ini terjadi kira-kira pada tahun 1910 M, namun sebagian keterangan menyebutkan tahun 1911 M dengan nama Ribathul Qur’an.
Pada masa awal-awal pendiriannya, setidaknya hingga tahun 1920-an, santri Krapyak hanya di kisaran 6-10 an.
Tiga puluh dua tahun kemudian, jumlahnya sudah mencapai 70-200-an santri.
Wafatnya KH. M. Munawwir pada tahun 1942 ditambah datangnya kolonialisme Jepang sempat mengganggu aktivitas pembelajaran di pesantren ini.
Hingga kemudian dilanjutkan kembali setelah KH. Ali Ma’sum yang menjadi menantu KH. M. Munawwir bersama KH. Abdullah Affandi Munawwir dan KH. R. Abdul Qodir Munawwir memimpin pesantren.
Pada masa KH. M. Munawwir, pembelajaran al-Qur’an yang merupakan spesialisasinya menjadi prioritas.
Adapun pengajian kitab kuning masih bersifat pelengkap. Metode yang digunakan adalah bin nadzor dan bil ghoib. Bin nadzor yakni dengan cara santri membaca mushaf kemudian di-tashih (dinilai) oleh KH. Munawwir.
Sedangkan bil ghaib dengan cara santri membaca tanpa mushaf atau dihafal di depan KH. M. Munawwir untuk kemudian diperiksa benar-salahnya.
Dikutip dari situs NU Online, banyak alumni pesantren Krapyak pada masa asuhan KH. M. Munawwir yang menjadi tokoh besar di daerahnya masing-masing.
Mereka adalah KH. Umar Mangkuyudan Solo, KH. Arwani Kudus, KH. Umar Cirebon, KH. Muntaha Wonosobo, KH. Murtadlo Cirebon, KH. Yusuf Agus Indramayu, KH. Aminuddin Bumiayu, KH. Zuhdi Kertosono, KH. Abu Amar Kroya, KH. Hasan Tholabi Kulonprogo, KH. Dimyathi Bumiayu, KH. Fathoni Brebes, KH. Basyir Kauman Yogya. []