Kiai Subchi Parakan, Sang Kiai Bambu Runcing (1945)
www.hidayatuna.com – Kiai Haji Subchi, sering juga ditulis Subeki, dikenal sebagai “kiai bambu runcing” tempat ribuan pejuang kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 menimba ilmu, doa-doa dan jampi-jampi untuk senjata mereka sebelum terjun ke medan perang.
Kiai Subchi lahir di Parakan, Kauman, Temanggung sekitar tahun 1850. Berdasarkan buku Guruku Orang-orang dari Pesantren(1974) karangan KH. Saifuddin Zuhri, waktu bertemu Kiai Subchi di tahun 1945, usia Kiai Bambu Runcing ini sudah mencapai 90-an. Sementara dalam penuturan KH. Muhaimin Gunardo Parakan, Kiai Subchi wafat pada tahun 1959 dalam usia kurang lebih 109 tahun. Berarti tahun kelahiran beliau diperkirakan pada 1850.
Kiai Subchi adalah putra sulung KH. Harun Rasyid, seorang penghulu masjid di desanya. Beliau lahir dengan nama kecil Muhammad Benjing. Ketika masih bayi, sekitar tahun 1855, Benjing kecil dibawa mengungsi dari kejaran tentara Belanda, maklum kakeknya adalah salah satu anggota pasukan Pangeran Diponegoro yang ikut dalam perang Jawa (1825-1830) melawan penjajah Belanda.
Sisa-sisa pasukan pangeran Diponegoro pun berpencar usai penangkapan Pangeran Diponegoro di tahun 1830. Sisa-sisa pasukan ini berpencar di beberapa tempat melanjutkan perlawanan di desa-desa sambil menghindar dari kejaran tentara Belanda. Termasuk kakek beliau yang mengundurkan diri bergerak menyusuri Kali Progo melalui daerah Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, hingga akhirnya ke Parakan.
Daerah Parakan merupakan sebuah persimpangan tapal batas Karesidenan Banyumas, Kedu, Pekalongan, dan Semarang. Daerah dataran tinggi di akki Gunung Sindoro itu menjadi tempat bertemunya banyak sisa-sia prajurit Pangeran Diponegoro dari berbagai daerah. Maka tidaklah mengherankan jika penduduk Parakan mempunyai unsur kebudayaan rakyat pekalongan, dan keterampilan rakyat Semarang. Karakter kebudayaan seperti inilah yang diwarisi keluarga Kiai Subchi.
Kiai Bambu Rucing yang memiliki nama kecil Muhammad Bejing ini mengubah namanya menjadi Somowardjo setelah ia menikah. Da setelah naik haji beliau berganti nama lagi kedua kalinya menjadi Subchi. Dan nama ketiganya itulah yang kemudian dikenal banyak orang.
Sejak kecil, Kiai Subchi dididik oleh ayahnya langsung dalam disiplin keagamaan yang tinggi. Setelah itu beliau nyantri di Pondok Pesantren Sumalangu, Kebumen, Jawa Tengah, dibawah asuhan Syekh Abdurrahman. Ada yang menyebut bahwa beliau pernah nyantri di Magelang, kemungkinan pada KH. Maksum (wafat 1929), pendiri pesantren awal di Magelang, yang juga merupakan paman KH Muhammad Siradj Payaman Magelang. Sejak nyantri beliau sudah mengamalkan wirid yang diamalkan setiap amlam, yakni membaca al-Qur’an satu juz, sehingga dalam sebulan bisa khatam 30 juz.
Kiai Subchi kemudian menikah dan dikaruniai delapa orang putra-putri : Nyai Waruyan, Zain, H. Abdurrahman, H. Syadzali, Nyai Suwaidah, Syai Sofiyah, Nyai Umi Kultsum dan Nyai Sulaiman. Setelah istri pertama beliau wafat, Kiai Subchi menikah lagi dengan seorang janda yang agak tua yang sudah punya dua orang anak, yaitu Walimin atau KH. Nur Ngadirejo dan Ny. Walimah, yang kemudian dinikahkan dengan anak keduanya Syadzali, putra beliau dari istri pertama). Dari pernikahan keduanya ini beliau tidak dikaruniai anak. Untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya, beliau menggarap sawah dan bercocok tanam padi dan beberapa tanaman produktif lainnya.
Kesuksesan beliau sebagai petani menjadikan Kiai Bambu Runcing ini dikenal dengan Kyai yang kaya yang dermawan. Tanahnya ada dimana-mana, terlebih di sekitar Kauman. Masyarakat sekitar Parakan juga mengenal beliau sebagai pemurah dan suka membantu orang-orang yang kesusahan. Di usia tuanya, tanah-tanah itu diberikan kepada penduduk yang tidak mampu dalam bentuk kontrak musyarakah atau sistem bagi hasil. Hasilnya dibagi dua antara beliau sebagai pemilik tanah dan pihak penggarap tanah.
Kadang hasilnya berupa keuntungan dalam bentuk uang tunai, kadang juga dalam bentuk pembagian tanah. Kiai Subchi memberi keuntungan yang terkahir ini kepada orang-orang yang tidak punya tanah. Inilah ide awal beliau tentang keadilan sosial atau sosialisme. Ini berbeda tajam dari sistem kapitalisme yang melihat manusia dalam kedua kategori : majikan pemilik modal, dan kaum buruh yang dilepaskan haknya atas tanah.
Menurut Kiai Subchi, tidak ada artinya berbicara kesejahteraan, pemerataan pendapat atau keadilan sosial kalau rakyat Indonesia tidak punya alat produksi berupa tanah. Dan tanah itu harus dibagi bersama dengan mempertimbangkan aspek kekeluargaan sesama warga Indonesia. Dari sini kemudian muncul ide tentang tanah yang berfungsi sosial yang menjadi inti ide sosialisme atau distribusi pendapatan. Praktik musyarakah atau bagi hasil yang sudah dikenal bangsa kita sejak berabad-abad merupakan isntrumen utama untuk mewujudkan distribusi atau pemerataan pendapatan itu.
Seorang wartawan Amerika yang kemudian menjadi sarjana politik terkemuka, George McTurnan Kahin, dalam memoarnya berjudul Southeast Asia : A Testament (2003), pernha bertemu dengan Kyai Subchi secara langsung dan mereka berdua berdiskusi tentang tatanan sosial-politik yang adil, termasuk ide sosialisme yang digali dari dalam tradisi pesantren itu. Seperti ide tentang musyarakah – yang kemudian bermetamorfosis menjadi “masyarakat” dalam bahasa kita.
George Kahin yang waktu itu mengkader banyak mahasiswa Indonesia di Cornell dalam ilmu politik, datang bersama Roeslan Abdulghani yang menjabat Sekjen Departemen Penerangan ke Parakan pada minggu pertama Desember 1948. Ide sosialisme Kyai Subchi dan pesantren ini kemudian diwujudkan oleh para pendiri bangsa ini ke dalam konstitusi negara kita dalam pasal 33 ayat satu : “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”.
Kiai Subchi mendirikan pesantren di Parakan, Kauman sambil menggelar pengajian di masjid Jami’ kauman, Parakan. Awalnya berupa pengajian kitab al-Qur’an dan kitab-kitab sederhana untuk anak-anak, lalu berkembang menjaid pesantren yang menyediakan pondok atau asrama untuk santri-santri yang berasal dari luar desa. Beliau juga membantu KH. Ali mendirikan Pesantren Zaidatul Ma’arif parakan, yang hingga kini masih berdiri. Selain itu, beliau juga aktif di organisasi umat Islam.
Pada tahun 1913 beliau pernah ikut pertemuan Sarikat Islam (SI) di Parakan beserta kawan-kawannya, yang dihadiri oleh pimpinannya, H.O.S Tjokroaminoto. Waktu itu pemimpin SI ini rajin menggelar rapat dan pengkaderan di beberapa kota di Jawa. Setelah Nahdatul Ulama berdiri pada tahun 1926, Kiai Subchi lalu ikut mendirikan NU di Temanggung, bersama beberapa Kiai lainnya. Beliau menjabat sebagai Rais Syuriah pengurus cabang NU di Temanggung, didampingi KH. Ali sebagai wakil rais dan KH. Raden Sumomihardho sebagai sekertarisnya. Sementara KH. Nawawi bertindak sebagai ketua tanfidziyah pertama. Keempat Kyai inilah yang kemudian dijuluki “Kyai Bambu Runcing” di masa revolusi kemerdekaan.
Kiai Subchi merupakan salah satu tokoh NU yang menaruh perhatian besarterhadap kaderisasi anak muda NU melalui Anshor NU. KH. Saifuddin Zuhri misalnya, ia menginformasikan bahwa sewaktu menjadi instruktur pengkaderan Anshor di Temanggung sekitar tahun 1914, menteri agama di era Sukarno ini menjumpai Kiai Subchi yang ikut mendampingi anak-anak muda NU selama kegiatan kaderisasi, meskipun usianya kala itu bisa dibilang sudah sepuh.
Di masa pendudukan tentara Jepang, ada seruan mobilisasi pemuda untuk pertahanan negara dalam menghadapi sekutu. Kiai Subchi dibantu beberapa kiai sepuh lainnya ikut menggalang kekuatan pemuda yang didukung pemerintahan Jepang. Sewaktu Jepang menyerah dan Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, mobilisasi pemuda itu kemudian ditujukan untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia. Apalagi waktu itu ada ancaman kembalinya tentara Belanda yang membonceng kedatangan tentara sekutu ke Indonesia.
Saat itulah ulama dari seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya di bawah pimpinan KH. Hasyim Asy’ari. Rapat antar ulama pun digelar pada tanggal 22 Oktober 1945 yang kemudian menyatakan Resolusi Jihad bela agama dan negara. Tidak ketinggalan pula para ulama Temanggung. Di bulan November 1945 mereka membentuk Barisan Bambu Runcing atau Barisan Muslimin Tamnggung. Kiai Subchi duduk sebagai penasihat utama sedangkan KH. Nawawi sebagai ketua.
Minimnya perlengkapan membuat mereka memilih bambu runcing sebagai senjata utama bagi para anggota laskar rakyat itu. Saat itu pasukan sekutu menguasai kota Magelang, lalu menyingkir ke Ambarawa sejak Oktober hingga November 1945. Mereka pun merencanakan pengusiran terhadap tentara sekutu pada awal Desember 1945 dari Ambarawa yang kala itu mempunyai posisi strategis dengan jarak ibukota kabupten Semarang itu ke parakan sekitar 40 km. Maka meletuslah petempuran yang dikenal dengan Palagan Ambarawa pada 12-15 Desemer 1945, yang membuat tentara sekutu menyerah hingga ke Semarang.
Sebelum ke medan perang, berdasarkan fatwa KH. Subchi dan keputusan musyawarah pengurus NU, tiap malam diadakan mujahadah di kalangan para anggota laskar dan para kiai di Langgar Wali, kauman, Parakan. Siang harinya mereka puasa mutih dan malamnya shalat hajat, shalat tahajud, membaca wirid-wirid termasuk Hizbun Nasr dan Hizbul Bahri, serta bacaan Shalawat Nariyah sebnayak 4.444 kali dengan berjamaah dan bacaan Shalawat Munjiyat sebanyak seribu kali.
Dalam pelaksanaannya, Kiai Subchi bertindak sebagai penasihat utama. bersama Kiai Sumomihardho dan beberapa Kiai sepuh, beliau diminta memimpin prosesi penyepuhan senjata bambu runcing yang dibawa para pejuang. Penyepuhan dilakukan dengan membasuh senjata tersebut dengan air sucilalu memberinya doa-doa, mantra atau wirid tertentu agar bertuah dan efektif untuk membela diri maupun unutk menyerang musuh.
Selama proses pengisian doa-doa pada senjata para pejuang, pelaku menjalankan puasa dan menghafal doa-doa disertai latihan pengisian tenaga dalam. Setelah benda yang diisi dengan energi spiritual melalui doa dan wirid tersebut dianggap sudah memadai, maka perlu dicek kekuatannya dengan menggunakan tenaga dalam. Proses penyepuhan itu disebut juga menyuwuk, dari kata isuwuk, yakni memberkasi dan memberi doa-doa di bagian ujung bambu runcing.
Dari sinilah kemudian kisah awal mengapa Kiai Subchi identik dengan Kiai Bambu Runcing. Bambu runcing memang pernah digunakan tentara jepang dalam latihan ketentaraan Seinendan pada zaman pendudukan tentara Jepang. Namun, yang membedakan dengan senjata rakyat di Parakan, Temanggung adalah doa, wirid dan pengisian energi spiritual atau tenaga dalam. Dan nama Kiai Subchi lah yang pertama kali muncul ketika senjata ini disebut untuk tujuan perjuangan kemerdekaan melawan penjajah bangsa asing.
Tak lama setelah itu, datanglah kabar di Temanggung bahwa Kiai Hasyim Asy’ari akan berkunjung untuk memberikan wejangan khusu kepada BMT (Barisan Muslimin Temanggung). Para pengurus dan para ulama kemudian mengadakan musyawarah. Hasilnya, mereka sepakat jangan sampai pendiri NU tersebut yang datang ke Parakan, namun sebaliknya, kiai Parakan lah yang harus sowan kepada beliau di Tebuireng, Jombang.
Maka berangkatlah KH. Subchi, KH. Nawawi, KH. Ali, serta KH. Syahid Baidowi. Setelah bertemu dengan pengasuh pesantren Tebuireng Jombang tersebut, mereka diminta menyepuh bambu runcing yang dilakukan dengan tata cara seperti di Parakan. Dan Kiai Subchi pun diminta memimpin penyepuhan tersebut.
Usai kunjungan para kiai Parakan ke Jombang di akhir bulan November 1945, tidak berapa lama kemudian datanglah rombongan Laskar Hizbullah Jombang ke Parakan memakai pakaian serba hitam, termasuk peci hitam. Datang pula komandan Laskar Hizbullah dari wilayah Banyumas dan Kedu, KH. Saifuddin Zuhri bersama Mr. Wongsonegoro yang merupakan Gubernur Jawa Tengah sejak 13 Oktober 1945. Lalu datang juga KH. Wahid Hasyim yang diantar KH. Saifudin Zuhri bersama KH. Masjkur (pimpinan pusat Laskar Sabilillah sebelum diangkat menjadi Mentri Agama di tahun 1947), KH. Zainul Arifin (komandan tertinggi Laskar Hizbullah), Mr. Kasman Singodimejo dan juga Anwar Tjokroaminoto. Tujuan utama para tamu ini datang ke Parakan adalah untuk bertemu Kiai Subchi untuk meminta doa dan barakah beliau, termasuk meminta beliau untuk berkenan “menyuwuk” para anggota laskar rakyat yang datang dari berbagai penjuru daerah tersebut.
Mendengar permintaan tersebut, beliau menangis tersedu-sedu sambil berujar “Mengapa mesti saya? Kenapa kalian tidak datang saja kepada KH. Siradj payaman dan KH. Dallar Watucongol (dua ulama Magelang yang sama-sama wafat pada tahun 1959), karena keduanya adalah ulamanya Gusti Allah”.
Namun tampaknya beliau tidak bisa menghindar. Menjelang pertempuran Ambarawa di bulan Desember 1945 Panglima Divisi V Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Kolonel Sudirman juga sempat singgah dari markasnya di Purwokerto ke markas BMT di Parakan dalam perjalanannya menuju Perang Ambarawa. Beliau sempat sowan dan minta barakah kepada Kiai Subchi. Kiai Saifuddin Zuhri maupun Kiai Muhaimin Gunardo menyebut kedatangan Kolonel Sudirman beserta pasukannya ke Parakan membawa peralatan tempur lengkap.
Kedatangan Kolonel Sudirman itu terjadi setelah bawahan beliau, Letnan Kolonel Isdiman, selaku komandan pasukan TKR dalam pertempuran Ambarawa gugur diserang sekutu pada tanggal 26 November 1945. Komandan pertempuran Ambarawa lalu diambil alih oleh tentara PETA. Mungkin karena keberkahan Kiai Subchi ini, konon dalam cerita masyarakat setiap kali akan terjun ke medan perang, ia terlebih dahulu mencari sumur warga untuk berwudhu.
Di masa-masa awal revolusi kemerdekaan Indonesia, setiap hari ada ribuan pejuang yang mampir ke Parakan dalam perjalanan mereka ke front-front pertempuran di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan ada yang datang dari Jawa Barat. Diantara pasukan ini, terdapat Pasukan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo, Barisan Banteng di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman, dan Laskar Pesindo di bawah pimpinan Krissubanu.
Peran Kiai Subchi yang banyak berpengaruh terhadap Laskar Rakyat kemudian menjadi incaran Belanda. Dalam agresi militer kedua yang dilancarkan Belanda pada Desember 1948, mereka memasuki kota Parakan dan menggebrak rumah beliau. Kiai Subchi sempat melarikan diri dan mengungsi keluar kota bersama beberapa kiai. Namun putra beliau, Kiai Abdurrahman, gugur tertembak setelah melakukan perlawanan. Ia merupakan syuhada pertama sejak Gerakan Bambu Runcing dari Kauman Parakan digelar.
Kiai Subchi wafat pada hari kamis tanggal 6 april 1959 dalam usia kurang lebih 109 tahun, dan dimakamkan di pemakaman Sekucen, Parakan Kauman, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Namanya diabadikan sebagai nama jalan di Parakan, Temanggung. Senjata Bambu Runcing dan foto beliau dipajang di Museum Monumen Yogya Kembali di Yogyakata.
Referensi: Ensiklopedi Pemuka Agama Nusantara
Puslitbang Lektur dan Khazanah Kegamaan – Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia