Kiai M. Faizi Inginkan Pesantren Terbebas dari Sampah Plastik
HIDAYATUNA.COM, Sumenep – Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Sabajarin (Al-Furqon) Kiai M Faizi menginginkan pesantren terbebas dari sampah plastik. Selain itu ia mempunyai gerakan ‘bawah tanah’ dari bilik pesantren dengan menanamkan kesadaran kepedulian terhadap lingkungan.
“Malas saya mau nyampah di sini. Soalnya, plastik ini susah hancur. Coba saja tinggalkan sampah, ini sampai sepuluh tahun dan dicek, masih ada plastiknya. Tak akan hancur,” kayanya di kediamannya, Sumenep, Selasa (08/10/2019) malam.
Selain sebagai pengasuh, ia juga dikenal sebagai sastrawan yang sederhana dan satire. Kesatirannya itu bukan hanya lewat dalam tulisan, baik puisi atau esai, melainkan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, ia kerap menggunakan bahasa-bahasa satire saat ‘mendakwahkan’ sesuatu, khususnya mengenai kepedulian terhadap lingkungan.
Kampanye bawah tanah di sini maksudnya adalah dia menyampaikan secara halus agar mengurangi penggunaan plastik, misalnya pada saat acara kumpul dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Jika disuguhkan makanan dan minuman, dengan halus, dia bilang ke tuan rumah supaya nanti pakai gelas saat menyuguhkan minuman, bukan minuman kemasan, supaya tak aburombu (membuat sampah).
Salah satu momen yang biasa dia sampaikan pada Maulud Nabi (Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW) adalah menyarankan menggunakan piring, gelas, sendok, dalam menyuguhkan hidangan, tidak menggunakan minuman kemasan. Selain itu dia juga menyarakan untuk menggunakan makanan dari bahan lokal seperti umbi-umbian, buah-buahan, dan semacamnya. Dengan begitu, katanya, selain mengurangi plastik juga memberdayakan hasil tani masyarakat setempat.
“Untuk menjaga lingkungan atau bumi dari kerusakan, antara lain caranya adalah dengan tidak menyampah, yang mana merupakan suatu tindakan yang bagus dan berpahala. Sebaliknya, bagi yang menyampah bisa mendapatkan dosa,” ujarnya.
Penulis buku Beauty in the Bis ini berusaha mendekatkan isu sampah pada kehidupan sehari-hari warga. Bahkan, jika dimulai dari diri sendiri, di rumah, dan dalam kehidupan sehari-hari, maka itu dapat memberikan kontribusi bagi berkurangnya sampah plastik.
Orang Madura, umumnya memiliki perabotan rumah tangga yang cukup banyak di rumah, biasa digunakan pada saat ada hajatan atau acara tertentu. Seiring banyaknya air dalam kemasan plastik, gelas atau cangkir-cangkir itu mulai jarang digunakan dengan alasan lebih praktis.
Ia ingin mengembalikan kebiasaan lama, lebih-lebih hari ini, dengan menggunakan piring dan cangkir atau barang pecah belah, tidak perlu menggunakan produk kemasan sekali pakai. Lalu ia mengimbau agar masyarakat menggunakan gelas, minum air dari sumur—air di Madura bisa langsung minum tanpa dimasak—pakai gelas.
Selain memberikan teguran, ia juga memberikan teladan kepada masyarakat dan para santri. Ia sendiri nyaris tak menggunakan plastik sama sekali dalam kehidupan sehari-hari demi memberikan contoh kepada para santri dan masyarakat.
“Kamu kalau makan pisang, tabur tidak apa-apa di tengah jalan, tetapi kalau kamu minum air (kemasan-red), meskipun hanya sedotan, akan dimarahi oleh saya,” paparnya saat mentolerir para santri yang membuang sampah organik sembarang, seperti kulit pisang, tetapi tak mentolerir sama sekali buang sampah plastik.
Sampah organik seperi kulit buah-buahan seperti pisang atau salak, menurutnya, kalau ditabur sekalipun akan mudah terurai. Berbeda dengan sampah plastik yang memerlukan ratusan tahun untuk terurai.
“Kalau terpaksa mau pakai plastik, meskipun hanya sebuah sedotan, sampahnya dia minta disimpan di saku dan dibawa pulang ke rumah mereka sendiri,” ungkapnya.
Bahkan ke manapun dia pergi, seperti menghadiri undangan dan lain-lain, botol minum tak pernah lupa dibawa. Seandainya, dia lupa membawa botol lalu disuguhi air kemasan, dia akan mencari air di dalam gelas sisa orang lain untuk diminum. Kalau tak menemukan, ia memilih untuk tidak minum.
“Niat saya, niat tirakat. Itu saja. Niat mentirakati anak-anak atau santri, orang yang diajari saya,” pungkasnya.