Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Saleh Lateng dan Syarah Makudi

 Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Saleh Lateng dan Syarah Makudi

HIDAYATUNA.COM – Kiai Kholil Bangkalan merupakan ulama tersohor di Nusantara. Banyak dari santrinya yang menjadi ulama ternama. Sebut saja KH. Hasyim Asy’ari Jombang, KH. Maksum Lasem, KH. Abdul Wahab Chasbullah dan deretan ulama berpengaruh lainnya di awal abad 20.

Tak terkecuali di Banyuwangi. Pengaruh Kiai Kholil amat terasa. Banyak para santrinya yang kembali ke Banyuwangi lantas menjadi ulama dan tokoh masyarakat yang disegani. Seperti halnya Kiai Saleh Lateng. Ia merupakan salah satu deklarator berdirinya Nahdlatul Ulama saat rapat Komite Hijaz di Bubutan, Surabaya, 31 Januari 1926.

Di Bangkalan, Saleh muda belajar selama tujuh tahun. Dari laku tirakat dan belajar yang amat keras, ia berhasil menjadi santri yang menguasai secara baik tentang ilmu gramatikal bahasa Arab (Nahwu). Memang, Kiai Kholil dikenal sebagai ulama ahli Nahwu. Jadi, tak heran jika muridnya pun menjadi para ahli Nahwu.

Kapasitas Kiai Saleh dalam penguasaan ilmu Nahwu tersebut, bahkan diakui sendiri oleh Kiai Kholil. Menurut pengakuan gurunya tersebut, ilmu Nahwu Kiai Saleh terbaik di Jawa Timur pada masa itu. Tak ada yang mampu menandinginya.

“Tapi, kalau dalam ilmu fiqih, dia masih ada yang mengalahkan. Kecuali, jika ia mau mondok di Mekkah selama tujuh tahun,” demikian ungkap Kiai Kholil tentang santrinya tersebut sebagaimana tertulis dalam manuskrip manaqib-nya yang ditulis oleh Kiai Suhaimi Rafiudin.

Mendengar perkataan demikian dari gurunya yang dikenal luas sebagai waliyullah itu, membuat Kiai Saleh nekat belajar ke Mekkah. Saat itu, ia rela meninggalkan istri dan anaknya demi menuntut ilmu di mana Islam pertama kali diturunkan tersebut.

Namun, tulisan ini tak hendak menceritakan hal tersebut. Kali ini, lebih pada keinginan untuk menjawab pertanyaan: apa yang dipelajari Kiai Saleh selama belajar di Bangkalan, terutama dalam ilmu Nahwu?

Syarah Al-Makudi

Salah satunya yang berhasil kami jejak adalah kitab Syarah al-Makudi yang ditulis oleh Abu Zaid Abdurrahman ibn Ali Salih al-Makudi, pakar gramatika Arab asal Maroko (wafat di Fes, 1405).

Kitab ini merupakan pejelasan/komentar ringkas atas nadham Alfiyah Ibnu Malik. Dari kitab syarah ini lahir kitab berikutnya “Hasyiyah al-‘Allâmah Ibnu Hamdûn ‘ala Syarhil Makkûdî li Alfiyati ibn Mâlik”.

Hal ini terungkap dari koleksi kitab peninggalan Kiai Ahmad Suhaimi Rafiudin. Kiai asal Galis, Pamekasan, Madura ini, merupakan santri Kiai Saleh. Ia kemudian mempersunting seorang gadis dari Kampung Melayu, Banyuwangi.

Dari pernikahan inilah, Kiai Suhaimi pun akhirnya menetap di Banyuwangi dan tumbuh menjadi seorang ulama yang cukup disegani di Banyuwangi pada dekade 70-an.

Dalam kitab Syarah al-Makudi yang dimiliki oleh Kiai Suhaimi tersebut terdapat keterangan sebagai berikut:

“Khatam Makudi hari Sabtu, tanggal 16, bulan Jumadil Akhir, jam tsani (dua), tahun 1362 min hijriyah, 2603 niponiyah.”

Kiai Suhaimi mengkhatamkan kitab tersebut pada 16 Jumadil Akhir 1362 H yang bertepatan dengan 19 Juni 1943. Pada tahun tersebut, Jepang telah memang telah menjajah Indonesia.

Tak heran jika kemudian Kiai Suhaimi juga membubuhkan kalender Jepang di kitabnya yang ditulis menggunakan aksara pegon di halaman terakhir kitabnya tersebut.

Setelah keterangan soal waktu itu sendiri, Kiai Suhaimi melanjutkan keterangannya:

“Ngaji ing Kiai Muhammad Saleh Banyuwangi saking gurune Kiai Muhammad Kholil Bangkalan hafiduhum-u-Lah fi darain. Amin.”

Dari penggelan keterangan tersebut, jelas kiranya jika Kiai Suhaimi belajar Syarah Makudi kepada Kiai Saleh. Yang mana Kiai Saleh belajar kepada Kiai Kholil Bangkalan.

Sayangnya, Kiai Suhaimi tak menuliskan lebih lanjut sanad tersebut. Dari mana Kiai Kholil mempelajari Syarah al-Makudi tersebut. Mungkin ada yang mengetahui lebih lengkap?

Source: Komunitas Pegon

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *