Kiai Khalil Bangkalan dan Proses di Balik Lahirnya Nahdlatul Ulama

 Kiai Khalil Bangkalan dan Proses di Balik Lahirnya Nahdlatul Ulama

Ilustrasi/Hidayatuna

HIDAYATUNA.COM – Siapa yang tak kenal dengan Kiai Khalil Bangkalan, beliau merupakan ulama karismatik asal Madura. Berbicara tentang Madura, adalah pulau yang menyimpan sejuta pesona. Madura terdiri dari empat kabupaten yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Keempat tersebut juga dikenal sebagai pulau yang sangat menjunjung tinggi akhlak ( ilmu tengka ).

Warga Madura berada di bawah garis kemiskinan, berwatak keras, dan sebagian besar adalah petani. Meskipun sebagian besar penduduk Madura berwatak keras, namun dibalik itu semua orang Madura juga menjunjung etos kerja yang tinggi dan rasa persaudaraan yang erat.

Di antara empat kabupaten itu, Sumenep dikenal dengan tempat kediaman para raja dan kiai seperti raja sultan Abdur Rahman (Asta Tinggi Sumenep), Raja Batu Ampar Pamekasan, Kiai Abdul Allam di Prajjan Sampang. Di Bangklan sendiri ada Kiai Khalil Bangkalan, salah satu kiai yang sangat fenomenal dari dulu sampai saat ini.

Kiai Khalil Bangkalan lahir pada tanggal 14 Maret 1820, menunjukkan keturunan Sunan Gunung Jati (Maulana Malik Ibrahim). Sebelum Kiai Khalil merantau ke berbagai pesantren di tanah air, terlebih dahulu mendapatkan pendidikan langsung dari izin K, Abdul Latif, mulai dari fiqh, ilmu kalam, tafsir, tasawuf hingga ia hafal  Nadzam Alfiyah saat masih muda.

Kiai Khalil sebelum ke Madura lebih dahulu berguru ke bhujuk Dawuh di desa Malajeh Bangkalan, dan bhujuAgung . Selain bhujuk Dawuh dan bhujuk Agung , Kiai Khalil juga melakukan pengembaraan ilmu di sejumlah pesantren di pulau Jawa.

Di sini ada seperti Pesantren Bungah (Gresik), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Cangaan (Bangil), Pesantren Sidogiri (Pasuruan) dan beberapa pesantren lain di pulau Jawa lainnya. Pengembaraan Kiai Khalil menunjukkan betapa hausnya ia akan ilmu dan ingin terus berproses untuk menempa diri menjadi pribadi yang baik untuk agama dan bangsa.

Berguru ke Makkah

Ketika usia 24 tahun Kiai Khalil memutuskan untuk menimba ilmu ke tanah suci, Makkah. Salah satu gurunya adalah Syaikh Mustafa bin Muhammad al-Maliki.

Di Makkah ia belajar kurang lebih 15 tahun. Bukan waktu yang singkat untuk seorang Kiai Khalil Bangkalan, hal inilah yang membuat salah satu guru atau syekh kiai Khalil menyuruhnya untuk kembali ke Indonesia.

Maka tak heran ketika Kiai Khalil kembali ke Indonesia ia menjadi ulama yang alim, arif dan bijakasana dan berhasil mendapat sejumlah besar murid menjadi ulama besar. Di antara murid beliau seperti Hadratus Syekh KH Hasyim Asyari (Tebu Ireng Jombang), KH Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang).

Ada pula KH Bisri Samsuri (Denanyar Jombang), KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kiai Hasan Genggong (Probolinggo), Kiai Zaini Mu’im (Paiton Probolinggo), Kiai Abi Suja ‘(Sumenep), Kiai Toha (Bata- bata Pamekasan). Lalu Kiai Abdul Karim (Lirboyo Kediri), K Munawir (Krapyak Yogyakarta), dan K Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan).

Tidak hanya itu, bahkan presiden Soekarno juga pernah berguru kepada Kiai Khalil Bangkalan. Dari sekian santri kiai Khalil pada umumnya, yang menjadi pengasuh pesantren dan tokoh NU adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari dan Kiai Wahab Hasbullah.

Proses Panjang Mendirikan Organisasi NU

Berhasil mencetak santri menjadi kiai dan ulama, Kiai Khalil adalah salah satu penentu berdirinya organisasi besar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU). Proses berdirinya NU ini tidak sembaranag berdiri begitus saja sehingga dibutuhkan waktu sekitar dua tahun.

Ketika itu, Kiai Hasyim Asyari melakukan istikharah untuk mendirikan sebuah organisasi yang dapat mewadahi para pengikut ahlu sunnah wal jamaah . Walaupun yang melakukan istikharah adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari tetapi petunjuk Allah tersebut tidak jatuh pada Kiai Hasyim Asyari, melainkan kepada Syaikhona Khalil Bangkalan.

Hal ini perhitungan dengan ditentukan isyarat sebuah tongkat dan tasbih yang akan diberikan kepada Kiai Hasyim Asyari melalui perantara kiai As’ad Syamsul Arifin. Proses berdirinya NU juga dapat diketahui dari karomah kiai Khalil yang sulit dicapai oleh akal manusia.

Seperti dalam kesaksian kiai As’ad Syamsul Arifin, salah satu santri sekaligus khodim (pelayan) kiai Khalil. Suatu ketika kiai Khalil memanggil kiai As’ad untuk diperintahkan untuk memberikan seutas tasbih kemudian dikalungkan ke leher kiai As’ad serta bacaan asmaul husna “Ya Jabbar Ya Qahhar”.

Di samping itu, Kiai Khalil juga  memberikan uang 1 Ringgit sebagai uang saku perjalanan dari bangkalan ke Jombang.

Perlu juga diketahui dua nama asmaul husna Ya Jabbar Ya Qahhar dikalangan pesantren dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang wenang. Itu artinya agar proses pendirian NU ini tidak ada halangan, rintangan ataupun hal-hal buruk yang menghalangi pendirian jamiiyah  tersebut.

Atas kekuasaan Allah, perjalanan Kiai As’ad dari Bangkalan ke Jombang diberikan kemudahan, uang dan tasbih yang dikalungkan tersebut tetap utuh. Kiai As’ad pun menganggap ini adalah salah satu karamah dari Kiai Khalil Bangkalan. Kemudian kedatangan Kiai As’ad disambut baik oleh Kiai Hasyim, terlebih ia adalah utusan sang guru yang arif dan bijak.

Mewujudkan Islam Wasathiyah Melalui NU

Jika kita amati secara seksama proses pendirian NU, sebuah organisasi yang mewadahi ahlu sunnah wal jamaah, melalui proses yang begitu panjang dan butuh perjuangan. Mengingat NU didirikan dengan tujuan sebagai pengayom umat, penjaga pesantren dan pengawal tradisi-tradisi yang dirintis oleh ulama salaf. Hal ini sehingga bisa menciptakan yang namanya Islam sebagi Islam Wasathiyah.

Oleh KARENA ITU, Proses berdirinya NU TIDAK lepas Dari perjuangan Dan Peran tokoh empat dalam serangkai seperti Kiai Khalil Bangkalan, KH Hasyim Asyari, Kiai Wahab Hasbullah Dan Kiai As’ad Syamsu Arifin. Namun penyebutan tokoh di atas tidak menafikan tokoh peran lainnya seperti Kiai Nawawi Sidogiri.

Kiai Khalil Bangkalan menjadi teladan baik kita semua, khususnya pulau Madura itu sendiri. Bahwa organisasi yang berlandaskan ahlu sunnah wal jamaah membutuhkan proses yang panjang, tidak terburu-buru dan tentunya melalui istikharah .

Itulah sekilas di balik proses lahirnya NU, ada peran dan pengaruh dari Syaikhona Khalil Bangkalan. Alfatiha . 

Nafilah Sulfa

https://hidayatuna.com/

Penulis adalah santri aktif Pondok Pesantren Ziyadatut Taqwa Pamekasan Madura, dan Mahasiswi Ilmu Alquran dan Tafsir semester akhir di IAIN Madura. Pegiat kajian Feminisme.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *