Kiai Hasyim Muzadi: Tasawuf Bukanlah Sesuatu yang Berdiri Sendiri (Bagian 1)

 Kiai Hasyim Muzadi: Tasawuf Bukanlah Sesuatu yang Berdiri Sendiri (Bagian 1)

Kiai Hasyim Muzadi (Foto: Ist)

HIDAYATUNA.COM – Proses masuknya Islam di Indonesia dilalui dengan berbagai cara, di antaranya yaitu melalui proses budaya, ekonomi, ilmu, dan pemikiran. Dalam proses masuknya Islam di Indonesia ini tidak ditempuh melalui proses kekuasaan.

Maka dari itu tidak heran jika di Indonesia, agama Islam sangat mengakar hingga saat ini. Meski sudah melalui proses bergantinya kekuasaan dari masa ke masa.

Jika dibandingkan dengan proses masuknya Islam di Andalusia yang menggunakan peperangan, itu hanya membuat Islam bertahan jika sedang berkuasa saja. Tapi ketika kekuasaan berganti, otomatis Islam pun tersingkirkan di Andalusia.

Menurut Kiai Hasyim Muzadi dalam sebuah ceramahnya, beliau mengatakan bahwa meski Islam masuk ke Indonesia dengan berbagai cara. Para pembawa Islam itu memiliki daya tarik tersendiri karena kesufiannya.

Para pembawa Islam ini tidak menginginkan apa-apa untuk dirinya, melainkan dirinya-lah yang diwakafkan untuk umat dan untuk Allah. Inilah yang dinamakan dengan proses tasawuf, bagaimana seorang berjuang untuk perjuangan (dakwah), bukan memperjuangkan dirinya sendiri.

“Jahiduu fii sabilillah bi amwaalikum wa anfusikum, berjuanglah kamu di jalan Allah dengan menggunakan hartamu dan menggunakan dirimu. Belakangan ini terbalik (menjadi) wajaahidu fii sabilillah lii amwalikum. Sekarang banyak yang berjuang untuk mencari harta, bukan untuk mengorbankan harta,” Ungkap Kiai Hasyim.

Mengapa Orang Alim Terdahulu Ahli Tasawuf?

Kiai Hasyim lalu menuturkan bahwa hanya dengan mendengar pengajian itu tidak cukup untuk membuat ilmu berubah menjadi akhlak. Lalu beliau mencontohkannya dengan salat lima waktu.

Semua orang tahu bahwa sehari itu salat lima kali. Jadi untuk mengerti salat lima kali itu mudah, yang sulit (melaksanakan) lima kali betulannya itu. Di sinilah dimulainya proses lain, yakni kerelaan kita kepada Allah terhadap syariatnya.

“Di sini sangat tergantung posisi hati kita, bukan posisi pengetahuan kita,” imbuh Kiai Hasyim.

Oleh sebab itu tidak heran apabila orang-orang alim jaman dulu itu rata-rata sufi, ahli tasawuf. Saat seseorang itu menjadi sufi, maka ketika sedang menyampaikan ilmunya itu betul-betul karena Allah.

Seorang sufi ketika hukum itu diminta untuk diubah maka beliau tidak akan mau. Sebab hukum itu bukan dari hati atau pikirannya, melainkan dari Allah dan Rasulnya.

Kedudukan Fiqh dan Tasawuf

Ilmu yang digunakan untuk menetapkan suatu masalah dinamakan hukum fiqh. Namun, menurut Kiai Hasyim, kejernihan hati menentukan hukum itu bukan fiqh, tapi tasawuf.

Meski sama-sama orang alim di dalam ilmu fiqh tapi memiliki hati yang tidak sama, maka akan memiliki jawaban bisa tidak sama pula.

Kiai Hasyim mengatakan bahwa orang ahli tasawuf itu tidak tertutup kemungkinan dia ahli-ahli yang lain. Paling penting bisa memberesi hatinya.

Ilmu tasawuf itu bukan ilmu yang tidak mau gabung dengan sektor-sektor ilmu yang lain, bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Contohnya ahli-ahli ilmu pengetahuan jaman dahulu, seperti al-Qindi, al-Farabi, Ibnu Sina, itu mereka orang-orang ahli tasawuf alias seorang sufi. Jadi dengan kesufian ini maka orang akan menjadi soleh pada bidangnya masing-masing

Lalu di kampus-kampus Islam yang memiliki mata kuliah tasawuf yang diajarkan oleh dosen tasawuf, meski ia tahu mengenai ilmu tasawuf tapi belum tentu sufi. Sebab dosen itu hanya mengerti ilmu tasawuf, dan belum tentu menghayati tasawuf itu sendiri.

Tasawuf itu diperlukan untuk meningkatkan ubudiyah dan tazkiyatun nafs sehingga orang sufi itu terbagi menjadi dua golongan. Ada sufi yang suka menyendiri di tempat yang sepi, ada pula sufi yang tinggal di tempat keramaian.

Sufi yang tinggal di tempat yang sepi menurut Kiai Hasyim adalah sufi yang fokus untuk beribadah dan supaya tidak terpengaruh dengan dunia luar. Sedangkan sufi yang lebih tinggi lagi levelnya adalah sufi yang meski tinggal di tempat yang ramai ia tidak akan terpengaruh. Jadi tidak mesti orang sufi di tempat sepi dan ramai, tergantung kualitas dan kebutuhan manusia itu.

Rifky Aritama

Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Jakarta, dan santri Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok. Aktif menulis di beberapa media.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *