Kiai Hasyim Muzadi: Fiqh dan Tasawuf Lebih Melekat pada Masyarakat (Bagian 2)
HIDAYATUNA.COM – Salah satu proses untuk menjadi sufiyah menurut Kiai Hasyim Muzadi adalah dengan mudawamah atau melanggengkan amal ibadah kesunnahan setelah ibadah wajibnya selesai. Maka buahnya Allah akan menunjukan jalan yang lurus, bisa ditujukan Allah melalui hati, terasa mana yang benar dan mana yang salah.
Tapi dibanyak kesempatan, sufiyah ini umumnya ditempuh dengan proses tarekat karena dengan tarekat lebih lengkap. Seperti, ada mursyidnya, ada amaliahnya, ada bimbingannya, ada tadzkirah-nya, ada muroqobah-nya, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, ahlussunnah wal jama’ah memilah mana tarekat yang mu’tabaroh dan mana yang bukan. Maksud dari tarekat yang mu’tabaroh yaitu tarekat yang bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah Saw.
Dalam hal semacam ini, organisasi yang mau peduli terhadap bagian-bagian itu adalah Nahdlatul Ulama (NU). Menurut Kiai Hasyim, NU itu sebenarnya merupakan warisan yang tujuannya bukan hanya untuk belajar agama, tapi untuk merasakan agama.
Orang mengerti agama belum tentu merasakan sentuhan agama karena dari mengerti ke menyentuh dibutuhkan ibadah dan taqorub. Dari menyentuh untuk menjadi kebiasaan, itu diperlukan istiqomah.
Kedekatan Ulama Terdahulu dengan Masyarakat
Di samping tarekat ini juga ada proses dakwah dengan tasawuf. Dakwah dengan tasawuf dan fiqh itu berbeda.
Dakwah dengan fiqh lebih seperti menentukan ini benar atau salah, ini halal atau haram, dan perkara ibadah lainnya.
Sedangkan dakwah dengan tasawuf, bagaimana cara orang yang berada di tempat haram ditarik ke tempat yang halal. Bagaimana anak yang nakal diubah menjadi anak yang soleh.
Sebab itulah, ulama-ulama sufi dan ulama-ulama ahli fiqh tidak suka mengkafir-kafirkan orang, meski itu adalah orang kafir. Tapi ulama-ulama itu berpikir bagaimana untuk menarik yang kafir itu menjadi muslim, menarik yang musyrik menjadi tauhid. Kalau cuma memvonis apa sulitnya.
Di jaman ini sebenarnya sangat diperlukanlah dakwah seperti ini. Orang yang menguasai fiqh dan tasawuf, dia akan berdakwah lebih melekat daripada yang tidak punya dua hal itu.
“Karena ia berdakwah dengan cara yang santun, ikut mengurai kesulitan orang. Begitulah dakwah,” ujar Kiai Hasyim.
Maka dari itu, menurut Kiai Hasyim, ulama-ulama pada zaman dahulu itu tamunya banyak. Tamu-tamunya yaitu para tetangganya yang mengeluh.
“Jadi ulama itu kerjaannya tidak mengeluh. Dia menerima keluhan, lalu mengurai kesulitan itu dan memberi obat sehingga umat itu semakin lama semakin banyak,” imbuh Kiai Hasyim.
Maka, Kiai Hasyim menuturkan bahwa orang yang dakwah dengan cara kasar itu salah. Kekuatan islam itu berada di kelembutannya, bukan pada kekerasannya.
Beliau mengungkapkan ini dengan mengutip penggalan kalimat dari pertengahan al-Qur’an, yakni walyatalatthaf yang artinya bersikap lemah lembutlah kamu. Namun, realita yang terdahulu dengan saat ini menurut kiai Hasyim sangat berbanding terbalik.
Meneladani Dakwah Walisongo dengan Menerapkan Islam Ramah Tanpa Marah-Marah
Menurut Kiai Hasyim, dulu Walisongo berdakwah dengan cara yang lembut, maka dari itu islam sangat mengakar dan bertahan hingga kini. Tapi sekarang terbalik, banyak sekali penceramah yang marah terus saat berpidato.
Beliau pun heran, kenapa banyak yang berpidato dengan marah-marah. Padahal lebih baik orang itu dibimbing bukan dimarahi.
Namun, meski diharuskan untuk bersikap lemah lembut, bukan berarti takut saat diharuskan untuk berjihad dengan fisik. Salah satu contohnya adalah Kiai Hasyim Asy’ari.
Kiai Hasyim Asy’ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama dan juga merupakan seorang ulama tasawuf. Beliau selalu lemah lembut dalam berdakwah.
Namun, saat penjajah menyerbu Indonesia, beliau mendeklarasikan resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Jadi, bukan berarti rangkaian ini tadi membuat kita menjadi naif. Tapi kapan kita keras kalau dikerasi, dan juga jika tidak ada jalan lain maka berhak untuk melawan.
Lalu Kiai Hasyim Muzadi di penghujung ceramahnya mengajak para jamaah untuk menekuni bidang yang disukai. Beliau juga mengimbau agar tidak meninggalkan keikhlasan yang merupakan inti dari tasawuf itu.
Inti dari tasawuf ini akan diperlukan di mana pun berada. Sekalipun di dalam keilmuan islam yang lain.