Khutbah Jumat Hari Ini: Agama adalah Obat

 Khutbah Jumat Hari Ini: Agama adalah Obat

Khutbah Terpendek Sepanjang Sejarah (Ilustrasi/Hidayatuna)

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ ، أَمَّا بَعْدُ
فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، فَاسْمَعُوْا قَوْلَ اللهِ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا (82) وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَى بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَئُوسًا (83)
HIDAYATUNA.COM – “Dan Kami turunkan dari al-Quran (sesuatu) yang menjadi obat (penawar) dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (al-Quran itu) hanya akan menambah kerugian. Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia, niscaya ia berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong ; dan apabila ia ditimpa kesusahan niscaya ia berputus asa.” (Q.S. al-Israa` ayat 83-84).
Kaum muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah…
Bagaimana kita tahu sebuah obat itu manjur atau tidak? Apakah dari harganya yang mahal? Dari mereknya yang terkenal?
Dari kemasannya yang memukau? Dari dokter yang memberikannya? Apakah kalau semakin hebat dokternya berarti obat yang diberikannya semakin bagus?
Ataukah dari apotek tempat membelinya? Apakah kalau apoteknya mewah berarti obat yang dijualnya pasti bagus, terjamin dan berkualitas?
Bisa jadi saja sebagian kita memang berpandangan demikian. Ia menilai bagusnya obat dari harganya; mereknya yang terkenal; dokter yang memberikannya; atau mungkin apotek yang menjualnya.
Tapi bagi saya pribadi, dan mungkin juga bagi sebagian besar kaum muslimin yang hadir, manjurnya sebuah obat bukan dilihat dari mereknya. Boleh jadi obat itu tidak bermerek sama sekali.
Bukan juga dari harganya. Boleh jadi juga obat itu sangat murah. Bukan pula dari dokternya. Boleh jadi yang menyarankannya hanya orang kampung biasa.
Bukan pula dari apotiknya. Boleh jadi saja obat itu dijual di kaki lima. Bukan dari semua itu, melainkan dari efek yang ditimbulkannya.
Ketika sebuah obat bisa menyembuhkan penyakit yang kita derita berarti itulah obat mujarrab. Ketika sebuah obat bisa meringankan beban sakit yang kita rasakan berarti itulah obat yang bagus.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah…
Agama itu adalah obat. Ia obat untuk semua orang yang mau mengkonsumsinya. Berarti syarat utama agar obat itu bisa menyembuhkan adalah ia mesti dikonsumsi.
Kalau ingin agama bisa menyembuhkan berbagai penyakit kita, khususnya penyakit yang terdapat di dalam dada ; hasad, iri, resah, kalut dan sebagainya- maka agama ini mesti ‘dikonsumsi’, dipakai dan diamalkan.
Apakah ada orang yang merasa tidak perlu ‘mengkonsumsi’ agama ini karena ia merasa sehat-sehat saja? Tidak. Tidak ada seorangpun yang sehat dan tidak membutuhkan obat agama. Karena sakit yang diobati agama adalah sakit batin, jiwa dan hati. Tak seorang pun yang hati dan jiwanya bersih dan suci seperti kapas.
Sekarang, mari kita tanya pada diri masing-masing.
Kalau benar al-Quran dan agama ini adalah obat bagi penyakit hati; iri, sombong, menganggap enteng orang lain, memfitnah, membenci orang karena pilihan agama dan mazhabnya dan sebagainya, lalu kenapa sampai saat ini kita belum sembuh-sembuh juga?
Padahal setiap hari kita mengamalkan agama ini; shalat, baca Alquran, menghadiri kajian dan seterusnya.
Kalau ternyata agama belum bisa menyembuhkan penyakit-penyakit kita maka kemungkinan karena beberapa alasan berikut ini.
Pertama, agama yang kita amalkan keliru, artinya Islam yang kita pahami bukan Islam yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Islam yang diturunkan oleh Allah dan dibawa oleh Rasul-Nya adalah Islam yang murni, lapang, mudah, merekatkan, menghibur, menyatukan, mendamaikan dan sebagainya.
Sementara Islam yang kita pahami adalah Islam yang kasar, memancing permusuhan dan pertikaian, menyulitkan, sempit, ribet, mengkhawatirkan orang lain dan seterusnya.
Kedua, salah dalam menilai. Kita menilai agama ini bukan dari pengaruh yang kita rasakan tapi lebih dari siapa yang menyampaikannya.
Seperti halnya sebagian orang menilai obat yang manjur dari kemasannya, apotiknya atau dokternya. Sebagian kita juga demikian.
Pemahaman agama yang benar bagi sebagian kita adalah pemahaman agama yang disampaikan oleh para kiyai, ulama dan ustadz yang terkenal dan memiliki banyak penggemar.
Sehingga seolah-olah semua yang disampaikannya adalah benar, tanpa perlu dikaji dan dicerna kembali. Ada juga yang melihat dari apotiknya.
Kalau agama itu disampaikan oleh kelompok tertentu berarti ia benar. Tapi kalau dari kelompok lain yang tidak sejalan dengannya berarti ia salah.
Semakin megah apotiknya maka seolah-olah semakin manjur obat yang dijualnya.
Ketiga, dosisnya berlebihan, sehingga akhirnya ia tidak menjadi obat bahkan penyakit. Di antara fenomena yang kita lihat sekarang adalah banyaknya kajian tentang Islam di sana-sini.
Apakah ini salah? Tentu tidak semua salah. Tapi ketika kajian yang diberikan sudah terlalu banyak maka ia akan over dosis. Akhirnya agama lebih sebagai sesuatu yang ‘disampaikan’ walaupun tidak ‘diamalkan’.
Sang pembicara, apakah ustadz, buya, muballigh dan sebagainya, sudah merasa lepas kewajibannya dan menjadi orang yang paling taat ketika ia sudah menyampaikan.
Sebagian jamaah juga sudah merasa tenang dan aman ketika rajin menghadiri pengajian. Padahal semakin banyak yang diketahui semakin banyak kewajiban.
Alangkah baiknya, kajian tidak banyak, tapi setiap ada kajian ada bukti nyata yang langsung bisa dilakukan.
Kajian tentang keutamaan membaca misalnya, diikuti dengan membuat pustaka dan mengajak masyarakat terutama ustadz yang menyampaikan kajian untuk menyumbangkan bukunya.
Kajian tentang membantu orang lain, diikuti dengan aksi penggalangan dana untuk fakir miskin setempat.
Seorang pemikir dan cendekiawan muslim asal India, Muhammad Iqbal pernah berkata,
“Saya selalu teringat pesan ayah saya. Ia berkata: “Nak, ketika engkau membaca al-Quran rasakan bahwa al-Quran itu diwahyukan kepadamu.”
Agama itu untuk menyembuhkan kita. Maka sibukkan diri dengan penyakit kita masing-masing.
Jangan terlalu sibuk membicarakan penyakit orang lain kalau diri sendiri masih berpenyakit.
Kalau kita melihat orang sakit, sikap yang terbaik adalah merasa kasihan dan bantu ia untuk segera sehat, bukan mencela atau menyakiti perasaannya.
فَاعْتَبِرُوْا يَا أُولِى اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *