Khittah NU 1926, Keputusan untuk Meninggalkan Partai Politik
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Khittah berasa dari khaththa yang memiliki makna menulis dan merncanakan, sedangkan khittah bermakna ‘garis atau jalan.’
Khittah 1926 sendiri bermakna kembalinya NU yang telah melenceng dengan terlalu terlibat dalam partai politik ke dasar-dasar ketika berdirinya NU pada 1926.
Seperti paparan diatas, langkah yang diambil pertama kali oleh NU ketika masuk partai politik adalah keluarnya NU dari Masyumi serta memproklamirkan dirinya sebagai partai politik.
Melihat fenomena tersebut, K.H. Mahrus Ali mengungkapkan bahwa telah terjadi kerusakan dalam diri NU, terlalu berhasrat dengan kekuasaan dan kedudukan.
Sejak saat itu NU terkesan lebih mengutamakan persoalan politik daripada keagamaan. Sejak NU melebur dalam PPP, NU sudah mulai menerik diri dari kancah politik praktis.
Masa transisi tersebut merupakan masa-masa tersulit NU, dimana tidak lagi andil dalam politik praktis dan tidak fokus pasakegiatan sosial-keagamaan.
Gagasan ini sebenarnya telah muncul sejak Muktamar NU tahun 1959 ke-22 di Jakarta, berlanjut pada Muktamar ke-25 di Surabaya tahun 1971 dan Muktamar ke-26 di Semarang.
Pada Muktamar di Semarang jugalah terdapat tulisan dari Ahmad Shiddiq, seorang ulama senior NU merumuskan garis besar perjuangan awal ulama NU yang menjadikan agama sebagai titik ukur perumusan masalah yang kemudian dinamakan khittah Nahdliyah atau khittah 1926.
Orientasi kembali ke bentuk sosial-keagamaan berarti memposisikan NU sebagai organisasi yang netral, dengan tidak terlibat dengan PPP seperti sebelumnya.
Netralitas tersebut juga berarti tidak adanya dualisme posisi dalam partai politik dan NU. Pengurus NU yang aktif dipartai politik diharuskan memilih salah satu posisi.
Meski telah ada wacana tersebut, NU tetap memiliki kemelut yang tak kunjung tuntas di dalam dirinya.
NU belum sepenuhnya meninggalkan kancah politik dan menggarap bidang sosial-keagamaan bahkan terhadi perpecahan di dalamnya.
NU terpecah menjadi 3 bagian. Pertama, golongan yang menginginkan politik praktis. Kedua, golongan yang menghendaki kembali ke Khittah 1926.
Ketiga, golongan yang menginginkan kembali ke Khittah 1926 tanpa meninggalkan politik praktis.
Perpecahan seperti ini juga bisa disebabkan karena tidak adanya pimpinan yang karismatik seperti K.H. Wahab Hasbullah dan K.H. Bisri Sansuri.
Gagasan tersebut semakin nyata setelah Munas (Musyawarah Nasional) yang diselenggarakan di Kaliurang Yogyakarta (1981) dan Situbondo (1983).
Muktamar NU ke-27 8-12 Desember 1984 di Situbondo menghasilkan dua kesepakatan. Pertama, menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Kedua, mengembalikan NU menjadi organisasi sosial keagamaan sesuai dengan khittah NU 1926 sehingga melepaskan diri dari keterlibatan politik praktis.
Pembenahan yang dilakukan antara lain dari aspek tatanan organisasi, prioritas program keagamaan, dan upaya yang dilakukan NU dalan berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam perjalanan sejarah NU dari lahir mengalami berbagai perubahan, baik besar maupun kecil.
Mulai dari bergabungnya NU ke MIAI, Masyumi, berdiri menjadi organisasi politik yang berdiri sendiri hingga berfusi dalam PPP.
Setelah mengalami dinamika tersebut, NU akhirnya menemukan jati dirinya kembali sebagai jam’iyyah diniyah ijtima’iyah mahdhoh (organisasi masyarakat keagamaan murni) yang tidak terkait dengan orpol manapun.
NU Paska Khittah 1926
Keputusan Muktamar ke-27 di Situbondo mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Hal tersebut karena NU berhasil mencetuskan terobosan baru yang diikuti oleh ormas-ormas lainnya.
Perjalanan paska Khittah tidaklah semulus perkiraan, didalamnya terdapat banyak hal yang menjadi batu sandungan.
Hasil muktamar yang sebenarnya dengan tegas menyatakan berprinsip dengan berintikan revolusi wawasan berpikir bagi nahdliyin, seperti bebas dalam berpolitik.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan kenyataannya pada pemilu tahun 1987 masih terdapat orang-orang NU yang masih berada dalam PPP yang tidak selaras dengan prinsip netralitas.
Tidak lama berselang, pada Munas dan Konbes NU di Ponpes Ihya Ulumuddin di Cilacap tahun 1987 mencuat isu tentang Khittah Plus sebagai koreksi Muktamar Situbondo 1984 oleh Mahbub Djunaedi.
Baginya, keputusan Khittah 1926 tidaklah cocok untuk selamanya sehingga bisa dikoreksi.
Mahbub beranggapan jika sebaiknya NU kembali menjadi partai politik daripada setiap dilaksanakan pemilu seakan bingung dalam memilih.
Isu tersebut tidaklah bertahan lama karena dapat diredam oleh ketua PBNU saat itu, K.H. Abdurrahman Wahid.
Gus Dur memberi semacam contoh bahwa sebenarnya gaya berpolitik orang NU adalah secara perseorangan bukanlah secara organisatoris karena pada dasarnya NU tidak melarang anggotanya berpolitik.
Menurut Kiai Sahal, Khittah 1926 menjelaskan bahwa NU dalam berpolitik tidaklah secara struktural, melainkan kultural yangmana hal tersebut dapat memberi terobosan bagi warga NU agar mengisi nilai budaya secara Islami.
Khittah 1926 akan selalu mampu menarik NU ke tengah-tengah pergumulan bangsa yang masih panjang.
Khittah 1926 ini memberi dampak positif bagi ruang gerak dakwah NU.
Pengajian-pengajian di pedesaan tidak lagi mendapat kecurigaan dari pemerintah sehingga para warga tidak lagi waspada dan dapat manhayati pengajian tersebut.
Kini bagi pemerintah, NU dipandang sebagai mitra pembangunan bagi kemajuan bangsa dan negara.
Rekomendasi penting dari Muktamar Situbondo adalah program peningkatan kepedulian sosial, yang kelola oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia melalui bidang pengembangan ekonomi masyarakat seperti di Lombok, Sulawesi Selatan dan Jawa di bidang kerajinan, pertanian semi-tradisional, dan petani tambak.
Program tersebut juga terdapat proyek percontohan. Pada bidang pendidikan, NU berupaya meningkatkan kualitas dan perbaikan manajemen.
Dalam perkembangannya, di bidang ini banyak menerima dukungan dari pemerintah, sebagaimana yang telah dilaporkan dan dikaji oleh beberapa kalangan tentang ini.
Berbeda dengan sebelum tahun 1984, di mana banyak madrasah dan pendidikan di kalangan NU yang menyembunyikan identis ke-NU-annya karena merasa khawatir mendapatkan perlakuan diskriminatif dari pemerintah.
Setelah Khittah 1926, NU melalui Lembaga Pendidikan Maarif (L.P. Ma’arif-NU), telah banyak menerima pendaftaran dari beberapa madrasah dan sekolahan untuk bergabung dengan NU.
Upaya NU untuk mengembangkan pendidikan ini juga dilakukan melalui pesantren dengan mendukung lebih banyak materi umum agar lulusan pesantren lebih dapat berintegrasi dengan kalangan akademik dunia luar.
Dinamisasi juga muncul, baik dalam bentuk kepemimpinan dan doktrin serta bekonsekuensi terhadap perubahan arah pengembangan program yang akan dilaksanakan.
Khittah tersebut juga membuat pola kedekatan yang dilakukan di kalangan NU dengan pemerintah setelah Muktamar NU di Situbondo 1984 telah memunculkan hubungan sikap akomodatif NU secara kelembagaan.
Beberapa kalangan menyadari bahwa kondisi ini berbeda dengan periode sebelumnya, di mana NU dianggap rival politik pemerintah yang sering bersikap oposisi secara radikal.
Arah gerakan NU kemudian mulai menekankan pada aspek pendidikan, sosial dan kemasyarakatan.
Beberapa program yang bersifat pemberdayaan masyarakat mulai bermunculan, begitu juga pembentukan lembaga (lajnah) yang menangani program tersebut, seperti munculnya Lembaga Pengembagan dan Pembangunan pertanian NU, Lembaga Pengarang dan Penterjemah ( Lajnah ta’lif wa al Nashr ), serta Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam).
Kembali pada Khittah 1926 berarti memantapkan kembali penjalanannya sesuai garis khittah.
Selepasnya dari partai politik bukanlah akhir, setelah itu ada pula yang ingin memanfaatkan potensi NU.
Hal tersebut seperti mulainya gagasan mendirikan BPR(bekerja sama dengan Bank Summa), kegiatan dalam Forum Demokrasi, kritiknya terhadap ICMI, soal SDSB, dan lain-lain. []