Khitan Perempuan, Benarkah Syariat Islam?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Khitan perempuan sampai saat ini masih menjadi praktik di beberapa negara seperti Afrika, Eropa, Amerika Latin, dan juga Asia, termasuk Indonesia.
Pada masyarakat Arab, tradisi khitan perempuan sudah dikenal luas sebelum periode Islam.
Sementara Indonesia, beberapa wilayah yang mempraktikkan khitan perempuan meliputi Jawa, Madura, Sumatera, dan Kalimantan.
Khitan perempuan dilakukan dengan berbagai tindakan seperti:
1) Menusuk, mengiris, mengikis, dan membakar area genital,
2) Mengangkat sebagian atau seluruh kelenjar klitoris dan/atau lipatan kulit yang mengelilinginya,
3) Memotong sebagian klitoris dan lipatan kulit yang mengelilinginya, 4)menggores atau mengorek bagian uretra (saluran kemih), dan
5) Simbolis (tanpa perlukaan)
Empat dari lima kategori ini mengandung unsur pelukaan bahkan pemotongan dan angkanya mencapai 98,8 persen.
Sementara itu, praktik pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP) melalui tradisi khitan, tanpa alasan medis.
Terutama pada klitoris, dapat merusak banyak jaringan syaraf dan pembuluh darah sehingga bisa menyebabkan pendarahan hebat, pembengkakan pada jaringan, infeksi, sakit saat berkemih, dan jaringan parut yang membuat sakit ketika hubungan seksual.
Di samping trauma fisik, khitan perempuan tanpa alasan medis juga bisa menyebabkan trauma psikis yang mengganggu kesehatan jiwa perempuan.
Sementara perempuan bisa mengalami sakit (adza) setiap menstruasi, kelelahan (kurhan), bahkan sakit dan lelah berlipat (wahnan ala wahnin) saat hamil berbulan-bulan, melahirkan, nifas, sambil menyusui bayi sehingga tindakan khitan perempuan tanpa alasan medis berpotensi besar untuk menambah sakit dan lelah berlipat-lipat.
Meskipun begitu, praktik ini masih umum dilakukan karena dilatarbelakangi oleh tradisi turun temurun yang dilestarikan, atas dasar perintah agama, tanda sudah dewasa, dan prasyarat menjadi seorang muslim (masuk Islam).
Mereka juga meyakininya untuk meningkatkan dorongan seksual suami atau laki-laki, mengurangi atau mengontrol dorongan seksual perempuan, menjadi perempuan baik-baik, bisa mencegah penyakit menular seksual dan penyakit lainnya.
Dalam islam, khitan bagi laki-laki memang dianjurkan karena sangat bermanfaat dan dianggap memiliki implikasi positif menurut medis.
Lapisan kulit pada penis (kulup) terlalu panjang dan dirasakan sempit, sehingga cukup sulit jika lipatan-lipatannya itu akan dibersihkan.
Bila tidak dibersihkan, maka kotoran menjadi mengumpul dan menggumpal seperti zat keputihan yang disebut smegma dan ini bisa menyebabkan infeksi.
Di samping itu, smegma juga diduga dapat menyebabkan kanker leher rahim pada perempuan yang disetubuhinya.
Jika khitan terbukti banyak memberikan manfaat kepada laki-laki, Lalu bagaimana dengan perempuan?
Pengalaman Perempuan
Khitan bagi perempuan selama ini belum ditemukan manfaatnya secara medis.
Justru tindakan tersebut sangat melukai diri perempuan. Di sebuah forum, seorang ibu asal Kalimantan menceritakan pengalamannya dikhitan saat berusia tujuh tahun dengan sembilu (sebilah bambu tipis) hingga mengalami pendarahan.
Sakit luar biasa yang dialaminya menyebabkan trauma psikis. Hingga kini, ia tidak bisa menggunakan perabot rumah dan apapun dari bambu. (Halaqah P2GP Alimat, 2022).
Di Dumai Riau, seorang bidan yang disunat saat kecil mengalami trauma fisik berat.
Ia ketakutan ketika diajak hubungan seksual oleh suami karena selalu merasakan nyeri sehingga tidak pernah merasakan kenikmatan seksual (Komnas Perempuan dan PSKK UGM, 2017).
Di Lebak Banten, pada tahun 2008 bayi perempuan berusia 1 tahun disunat oleh dukun bayi (paraji).
Ia pun mengalami pendarahan hebat di bagian klitorisnya dan segera dibawa ke bidan praktik yang ternyata tidak mampu mengatasinya sehingga dibawa ke Puskesmas. Bayi, akhirnya meninggal keesokan harinya (Komnas Perempuan, 2017).
Banyaknya mafsadat bahkan madarat yang dialami oleh perempuan dalam jangka pendek ataupun jangka panjang pasca khitan, Benarkan islam mensyariatkannya?
Khitan Perempuan Hanya Sebuah Tradisi
Sebelum Islam datang, tradisi khitan sudah dilakukan untuk perempuan dan laki-laki.
Tradisi sunat banyak dilakukan di daerah Afrika. Di Mesir juga praktik khitan dilakukan karena penemuan mumi perempuan dengan klitoris yang terpotong pada abad 16 SM.
Menurut catatan sejarah dalam buku Takhrij al-Dilalath al-Syam’iyyah, menyebutkan khitan perempuan pertama kali dilakukan oleh Hajar, istri kedua dari Nabi Ibrahim.
Tindakan tersebut diyakini sebagai rangka penyucian jiwa.
Khitan dalam kitab taurat dijadikan sebagai tanda dari Tuhan. Khitan pada jaman Nabi Ibrahim dijadikan sebagai tanda yang membedakan bangsa Israil, khususnya orang-orang Yahudi.
Pada zaman dulu hanya dikhususkan untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan tidak diperkenankan.
Nawal Al-Sa’adawi menganggap khitan pada perempuan merupakan warisan leluhur yang tidak bisa dihilangkan dan bukan berasal dari agama Islam yang harus dipertahankan.
Jika khitan pada perempuan dilakukan karena alasan keagamaan, mereka keliru.
Karena khitan itu dipraktikkan sebelum Islam datang. Pemahaman yang keliru ketika keimanan dan keislaman diukur dari apakah ia dikhitan atau tidak.
Bahkan khitan tidak masuk dalam rukun Islam. Praktik sunat ini tidak ditemukan di Saudi Arabia.
Bukan Syariat Islam
Tidak ada perintah agama agama agar organ vital perempuan, khususnya klitoris dipotong, dilukai, atau dihilangkan. Meskipun ada beberapa hadis yang dijadikan rujukan atas tradisi khitan seperti,
Hadis yang diriwayatkan oleh Harb bin Ismail yang bersumber dari Al-Zuhri:
“Siapa yang masuk Islam, maka berkhitanlah walau pun sudah besar.” (H.R. Ibn Sufyan dari Az-Zuhry)
Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw telah bersabda yang artinya:
“Fitrah itu ada lima: khitan, mencukur rambut bawah, memotong kumis, menggunting kuku dan mencabut bulu ketiak”. (HR. Bukhari Muslim)
Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas menyatakan: Artinya: “Khitan itu disunnahkan bagi laki-laki dan dimuliakan bagi kaum perempuan”. (HR. Ahmad dan al-Baihaqy).
Dan masih banyak dalil-dalil yang lainnya. Akan tetapi ternyata semua dalil tersebut, masih belum mampu menunjukkan secara pasti status hukum khitan bagi perempuan.
Sayyid Sabiq menegaskan bahwa semua hadis yang berkaitan dengan perintah khitan perempuan adalah dha’if, tidak ada satupun yang sahih.
Sehingga hadis tersebut tidak bisa menjadi rujukan atas disyariatkannya khitan pada perempuan.
Sementara itu, aspek yang perlu diperhatikan ketika mengkaji ulang status hukum khitan laki-laki dan perempuan adalah aspek maqashid al-syari’ah (tujuan pensyariatan hukum).
Imam al-Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah mengatakan bahwa sesungguhnya syariat Islam itu dibangun atas dasar tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia dan di akhirat.
Tidak satu pun hukum Allah yang tidak mengemban misi kemaslahatan manusia secara universal.
Cita kemaslahatan dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu adalah memelihara agama (hifdz al-din), jiwa (hifdz al-nafs), keturunan (hifdz al-nasl), harta (hifdz al-mal) dan akal (hifdz al-‘aqal).
Selanjutnya, dalam konteks ini ada kaidah fikih yang cukup relevan yang pernah dikemukakan oleh Syekh Mahmud Syaltut bahwa melukai anggota tubuh makhluk hidup (seperti memotong anggota bada bagian seks), hukum dasarnya adalah haram.
Kecuali kalau ada kemaslahatan-kemaslahatan yang kembali kepadanya.
Dari kaidah tersebut, serta melihat dari banyaknya mafsadat yang dirasakan oleh perempuan pasca khitan.
Jadi hukum asal khitan adalah haram, karena termasuk kategori melukai anggota tubuh.
Akan tetapi, pelaksanaan khitan bagi laki-laki menjadi diperbolehkan karena ada alasan medis yang kuat untuk pencapaian kemaslahatan yang lebih baik.
Begitu juga, pengambilan hukum khitan perempuan harus didasarkan atas aspek maslahahnya.
Jika ada alasan medis yang kuat untuk pencapaian kemaslahatan yang lebih baik, maka hukum khitan perempuan menjadi boleh.
Sebaliknya, jika tidak ada alasan medis yang kuat, maka hukum khitan perempuan kembali ke asalnya, yaitu haram.
Untuk itu, dalam hal ini KUPI merespon melalui hasil musyawarah keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia di Jepara, antara lain:
1. Hukum melakukan tindakan pemotongan dan atau pelukaan genitalia perempuan(P2GP) tanpaalasan medis adalah haram.
2. Semua pihak bertanggung jawab untuk mencegah pemotongan dan atau pelukaan genitalia (P2GP) tanpa alasan medis, terutama individu, orangtua, keluarga, masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, paraji, atau sebutan lainnya, pelaku usaha, tenaga kesehatan, pemerintah dan negara.
3. Hukum menggunakan wewenang sebagai tokoh agama, tokoh adat, tenaga medis dan keluarga dalam melindungi perempuan dari bahaya tindakan pemotongan dan atau pelukaan terhadap genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis adalah wajib. []