Khilafah itu Demokratis, Benarkah?

 Khilafah itu Demokratis, Benarkah?

Khilafah itu Demokratis, Benarkah?


Oleh: Azis Ahmad

HIDAYATUNA.COM – Kiranya sudah masyhur di kalangan pengkaji sejarah Islam bahwa prinsip musyawarah menjadi pilar utama proses pemilihan Khalifah pasca wafatnya Nabi Muhammad. Prinsip musyawarah dalam Alquran inilah yang dipedomani dan diejawantahkan dalam membangun negara, termasuk pemilihan khalifah pada masa al-Khulafa al-Rasyidun. Ayat yang dimaksud antara lain Alquran (3:159) “dan musyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”; dan Alquran (42:38) “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka”.


Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad juga menerapkan prinsip syura ini dalam menjalankan roda pemerintahan di Madinah. Sumber-sumber klasik menyebutkan bahwa anggota dewan musyawarah tersebut merupakan perwakilan sahabat senior “Muhajirin Awal” yang berasal dari klan-klan (bani) Qurasy yakni, Abu Bakar dan Talhah (Bani Taim), Umar dan Sa’id bin Zaid (Bani ‘Adi), ‘Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi Waqash (Bani Zahrah), Ali (Bani Hasyim), Usman (Umayah), Zubair (Bani Asad), dan Abu Ubaidah (Bani Fihr). Nama-nama itu menjadi representasi kekuatan sosial dan politik di balik kesuksesan Nabi dalam membangun dan menjalankan pemerintahan Negara Madinah (Arkoun:1994, 220).


Sepeninggal Nabi, mereka menjadi pilar utama dalam pemerintahan Islam. Bahkan, pemilihan keempat khalifah juga tidak lepas dari peran mereka.

Pemilihan Khalifah


Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan musyawarah yang berlangsung di tsaqifah Bani Sa’idah. Kala itu, kalangan Anshar mengajukan Sa’ad bin Ubadah berdasarkan jasa/pengorbanan (merit) yang telah diberikan kaum anshar terhadap Nabi. Adapun pihak Muhajirin mengajukan Abu Ubaidah Ibn Jarrah dengan pertimbangan loyalitas dan kesetiaannya kepada Nabi. Sementara dari Ahlul Bait menginginkan Ali menjadi Khalifah berdasarkan kedudukannya dalam Islam, juga kedekatannya sebagai menantu Rasulullah (Maryam dkk: 2009, 45).


Seusai melewati proses adu argumentasi yang sengit di balai Bani Sa’idah, Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidilah datang ke sana. Abu Bakar menuturkan pandangannya bahwa berdasarkan hadis Nabi tidak ada khalifah selain dari suku Quraisy. Maka, dengan pendapat ini, gugurlah kandidat calon khalifah dari pihak Anshar. Umar pun lalu berdiri dan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah yang disetujui oleh semua peserta dalam musyawarah tersebut (Karim: 2007, 80).


Berbeda dengan Abu Bakar, terpilihnya Umar ibn Khaththab melalui mekanisme penunjukan langsung. Pada saat Abu Bakar sakit, dia bermusyawarah bersama para sahabat senior, meminta pertimbangan mereka. Dengan bekal itu Abu Bakar kemudian menunjuk Umar sebagai khalifah penggantinya.

Sepeninggal Umar, mandat khalifah dipegang oleh Usman ibn Affan. Dalam hal ini, Umar membentuk dewan formatur yang beranggotakan enam orang, yakni Ali ibn abi Thalib, Usman ibn Affan, Zubair ibn al Awwam, Thalhah ibn Adullah, Sa’ad ibn Abi Waqash, dan Abdurrahman ibn Auf (Hitti: 2008, 223). Mereka kemudian lebih dikenal sebagai Ahl al Hall wa al Aqd pertama dalam Islam. Agar tidak terjadi persamaan suara (draw) dalam voting itu, Umar meminta anaknya, Abdulah ibn Umar, memberikan suaranya dengan catatan tidak boleh dipiih sebagai khalifah. Dalam pemilihan tersebut Usman mendapat suara 4, sedangkan Ali mendapat tiga suara.


Adapun Ali ibn Abi Thalib dipilh menjadi Khalifah oleh kaum muslimin Madinah dalam suasana kacau setelah peristiwa terbunuhnya Usman. Pemilihan ini berdasarkan pertimbangan untuk meminimalisir carut marutnya situasi politik di sana. Pada saat yang sama, Ali mendapati bahwa Thalhah dan Zubair tidak menyetujui jabatan barunya dan membentuk kekuatan tandingan di Mekah. Siti Aisyah juga tidak mendukung kekhalifahan Ali.

Belokan Sejarah Khilafah: Membuang Musyawarah, Terbitlah Monarki


Pasca wafatnya sayyidina Ali, kita menyaksikan belokan sejarah yang luar biasa. Prinsip musyawarah dalam pemilihan Khalifah itu (yang berlangsung kurang lebih 30 tahun) terhenti. Lebih tepatnya, dihentikan dalam rangka melestarikan kekuasaan.


Muawiyah, Khalifah pertama Dinasti Bani Umayyah, meniadakan prinsip musyawarah itu. Dengan baju kebesarannya sebagai penguasa, dia angkat anaknya, Yazid, ke tampuk tertinggi kekuasaan. Begitulah masa transisi itu. Di mana prinsip syura tidak lagi digunakan sampai berabad-abad lamanya dalam sejarah berdiri dan runtuhnya dinasti-dinasti Islam.

Selingan. Pada masa Yazid bin Muawiyah inilah sayyidina Husein, cucu Nabi, adik sayyidina Hasan, dibantai di Padang Karbala. Tragedi itu terjadi pada 10 Muharam 61 Hijriah, atau Oktober 680 M. Konon, kepala beliau diarak dan menjadi salah satu versi sejarah sepak bola.


Atas dasar raibnya prinsip musyawarah dalam transisi kepemimpinan itu, Syah Wali Allah dari India, seperti dikutip Buya Syafii Maarif, menegaskan bahwa khilafah hanya sampai pada periode Ali bin Ali Thalib, Khalifah terakhir dalam kurun Khulafa al-Rasyidun.

Adapun sistem kerajaan dalam bentuk imperium yang dipilih oleh Muawiyah tidak lain adalah upaya mengadopsi dari sistem pemerintahan yang lazim pada masa itu. Baik itu dari Imperium Romawi Bizantium maupun Persia.


Begitulah kelokan sejarah itu berlangsung. Syuro, diktum egalitarian dalam politik yang digunakan pada masa empat Khalifah, dibuang ke dalam rongsokan sejarah, ungkap Buya Syafii dalam bukunya Tuhan Menyapa Kita.

Lantas, bagaimana dengan sekelompok umat Islam yang menghendaki berdirinya tatanan khilafah di zaman Kiwari ini? yang dengan percaya diri melegitimasi perjuangannya yang paling sesuai dengan kehendak Tuhan?
Berkaca dari sejarah panjang di atas, saya kira, sudah terang kiranya bahwa bentuk pemerintahan, tata cara memilih pemimpin, semua itu adalah hal-hal yang bersifat ijtihadi belaka. Tidak ada petunjuk langsung baik dari Alquran maupun hadis tentangnya. Alquran menhendaki musyawarah, menegakkan keadilan, dan nilai-nilai universal lainnya. Adapun teknisnya diserahkan kepada manusia yang diberi mandat sebagai pengelola bumi ini (khalifah).


Bagi saya, seruan terhadap keinginan mendirikan khilafah tidak lain adalah syahwat politik yang diagamaisasikan! Mendambakan kekuasaan dengan mengelabuhi ayat-ayat Alquran. Jika Alquran menghendaki musyawarah dalam suksesi kepemimpinan sebagaimana yang berlangsung pada masa Khulafa al-Rasyidun, bisa jadi, model pemerintahan dan sistem pemilihan yang digunakan di negeri ini lebih mendekati kepada seruan Alquran itu!


Aziz
Pemerhati dan Peneliti Sejarah

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *