Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, Sang Zuhud Anti Kemewahan
HIDAYATUNA.COM – Menjadi seorang penguasa yang penuh ambisi bukanlah ciri dari seorang Umar bin Abdul Aziz, seorang Khalifah Dinasti Umayyah yang justru menangis tatkala ia dianugrahi tahta kekuasaan.
Adalah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam bin Abul Ash bin Umayyah. Ayahnya adalah Abdul Aziz bin Marwan, seorang Gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul malik, sedangkan ibunya adalah Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Al-Khattab RA. Ia dilahirkan di Madinah al-Munawwarah pada tahun 63 H/682 M.
Amirul Mukminin Umar binAbdul Aziz laksana mutiara di kening khalifahan Dinasti Umayyah, bahkan kekhalifahan umat Islam di seluruhnya. Ialah khalifah kebanggaan, ia bagaikan bintang bersinar yang mengibarkan bendera kebenaran setinggi-tingginya di tengah umat manusia, memperbaharui harapan mereka dalam penegakan keadilan, kasih sayang, kebajikan, kehidupan yang berperikemanusiaan dan keutamaan.
Umar bin Abdul Aziz hidup dan besar di Madinah, meskipun ayahnya adalah seorang Gubernur Mesir, ia ingin anak-anaknya tetap tinggal di Madinah dengan tujuan agar tumbuh besar di tengah paman-paman dan saudara-saudaranya yang notabene adalah anak cucu Umar bin Al-Khattab Al-Faruq, juga agar bisa menimba ilmu dari guru-gurunya dan meniru tata krama mereka. Terlebih kala itu, Madinah adalah mercusuar ilum pengetahuan, fikih, hadist, ketakwaan dan kesalehan. Maka tidak diragukan lagi jika Umar bin Abdul Aziz banyak dipengaruhi pendidikannya oleh pendidikan komunitas masyarakat yang kondusif ini.
Walikota Madinah
Umar diangkat menjadi Walikota Madinah pada 706 H dalam usia 24 tahun. Pengangkatan Umar sebagai walikota Madinah membuktikan bahwa Khalifah Al-Walid (Khalifah Dinasti Umayyah saat itu) ingin menebarkan keadilan diatara warga kota. Pertimbangan Khalifah Al-Walid lainnya adalah karena mantan walikota Madinah sebelumnya adalah orang yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Penduduk Madinah sangat bahagia mendengar berita pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai walikota mereka.
Umar bin Abdul Aziz pun memperlihatkan tekadnya untuk menegakkan keadilan sejak awal pengangkatannya. Dalam hal ini ia mengumpulkan sepuluh tokoh terbaik kota yang notabene adalah guru-guru dan sahabatnya dan mengangkat mereka menjadi rekan dan penasehat. Dalam menjalankan tugasnya, Umar membentuk sebuah dewan untuk membantunya menjalankan pemerintahan provinsi. Sejak saat itu, keluhan-keluhan resmi ke Damaskus (pusat kekuasaan Islam) berkurang.
Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai walikota Madinah selama enam tahun dan selama itu ia selalu disenangi oleh warganya. Selama pemerintahannya di Madinah, ia menunaikan ibadah Haji berkali-kali dan melakukan renovasi pada Masjid Nabawi atas perintah Khalifah Al-Walid bin Abdul malik. Umar pun menganggap bahwa masa pemerintahannya sebagai walikota Madinah adalah masa-masa terbaik dan terindah dalam hidupnya.
Pada tahun 93 H, Khalifah Al-Walid melengserkannya dari jabatan walikota Madinah, sebab pemberhentiannya adalah karena ia tidak setuju jika Al-Walid menggeser Sulaiman saudaranya sebagai putera mahkota dan menggantikan posisi Sulaiman dengan anaknya, Abdul Aziz. Kepada Al-Walid, Umar berkata, “Sulaiman memiliki baiat pada leher-leher kami”. Pemberhentiannya sebagai walikota sangat mempengaruhi kejiwaannya dan ia merasa sakit hati karenanya.
Umar bin Abdul Aziz pun kembali ke negeri Syam dan tidak menduduki jabatan resmi apapun selama sisa kepemimpinan Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Ketika Al-Walid meninggal dunia, dan Sulaiman bin Abdul Malik menjadi khalifah, Umar menjadi orang terdekatnya, pendukung utamanya, penasehatnya, dan ia senantiasa menemaninya selama masa pemerintahannya.
Umar bin Abdul Aziz dan Kekhalifahan
Khalifah Sulaiman wafat pada tahun 99 H, surat wasiat dibacakan oleh Raja’ bin Haiwah di hadapan keluarga istana dan para pejabat yang ada di Damaskus. Rupanya diantara mereka ada yang sudah memprediksi isi surat itu sehingga tidak terlalu terkejut ketika disebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khalifah. Namun berbeda dengan Umar, ia benar-benar kaget mendapati dirinya dianugerahi kursi kekhalifahan. Tidak ada pihak yang menentang pengangkatan Umar bin Abdul Aziz dan akhirnya ia pun tak kuasa menolak.
Kita telah mengetahui bahwa Sulaiman bin Abdul Malik memahkotai amal-amal salehnya dengan mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah penggantinya, karena ketakwaan, kesalehan, dan keadilannya.
Selanjutnya, usai shalat Jum’at, Umar yang saat itu berusia 36 tahun dibaiat menjadi Khalifah di hadapan kaum muslimin yang berkumpul di masjid Damaskus. Saat pengangkatannya, sama sekali tak nampak raut wajah bahagia. Ia justru menangis, mengingat nasib fakir miskin dan kaum dhuafa serta janda-janda yang memiliki banyak anak dan rezekinya sedikit. Ia menangis karena semuanya akan menuntut di akhir kelak jika dirinya selama menjadi khalifah tidak dapat menyejahterakan kaum dhuafa dan umat Islam saat itu.
Kepemimpinan Umar memang tak jauh beda dengan sang kakek, Khalifah Umar bin Khattab. Ia memerintah dengan jujur, adil dan tegas. Meskipun masa kekhalifahannya hanya tiga tahun, naMun umat Islam akan terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyatnya. Adil, jujur, sederhana dan bijaksana. Itulah ciri kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Oleh karenanya tidak berlebihan jika sejarah menempatkanya sebagai “khalifah kelima” yang bergelar Amirul Mukminin setelah Khulafaur Rasyidin.
Kekhalifahannya berpengaruh besar dalam kehidupan Umar bin Abdul Aziz di satu sisi. Di sisi lain, kekhalifahannya berpengaruh besar dalam sejarah Dinasti Umayyah, bahkan sejarah Islam secara keseluruhan. Sejak menjabat sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz terkenal benar-benar zahid dan jauh dari pehiasan dunia. Perasaannya akan tanggung jawab begitu dalam, sampai-sampai memalingkannya dari segala kenikmatan dan kemewahan dunia yang telah banyak ia cicipi sebelum menjadi khilafah.
Bahkan Umar bersikap keras terhadap dirinya sendiri karena merasa telah berlebihan dalam menikmati kehidupan mewah. Seolah-olah ia ingin menebus semua itu dengan bersikap keras terhadap dirinya sendiri. Itulah sebabnya dia menolak menggunakan kendaraan dinas berupa kuda-kuda yang berkualitas tinggi dan mahal sejak dibaiat menjadi kahlifah. Ia juga menolak di istana dengan alasan bahwa gubuknya saat ini sudah cukup baginya. Ia lalu menjual kendaraan tersebut dan hasil penjualannya ia masukkan ke Baitul Mal.
Setelah memulai dari dirinya sendiri, khalifah Umar mulai membenahi istana. Ia memerintahkan untuk menjual seluruh barang-barang mewah yang ada di istana dan mengembalikan uangnya ke kas negara. Semua fasilitas mewah yang diberikan kepada keluarga istana juga dicabut satu persatu. Banyak yang memprotes kebijakannya tersebut, namun ia tak bergeming dan tetap tak mau mengubah keputusannya. Pejabat-pejabat yang korupsi juag dilengserkan, tanpa terkecuali.
Selama masa pemerintahannya, Khalifah Umar banyak melakukan reformasi dan terobosan baru. Di bidang Fiskal, Umar memangkas pungutan pajak dari para Nasrani, ia juga mengehentikan pungutan pajak kepada para mualaf. Kebijakannya ini yang kemudian mendongkrak kalangan nonmuslim yang berbondong-bondong masuk Islam. Khalifah Umar menggunakan kas negara untuk menyejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Berbagai fasilitas dan pelayanan publik dibangun dan diperbaiki. Sektor pertanian terus dikembangkan melalui perbaikan lahan dan saluran irigasi.
Terobosan besar lainnya adalah terciptanya kondisi keamanan yang kondusif. Kelompok khawarij dan Syi’ah yang di era sebelumnya kerap memberontak, berubah menjadi lunak di bawah pemerintahannya. Khalifah Umar tidak menghadapi perbedaan dengan senjata, melainkan mengajak mereka yang berbeda pendapat untuk berdiskusi. Sebagai pemimpin rakyat dan umat, Umar juga melarang masyarakatnya untuk mencaci dan menghujat Ali bin Abi Thalib dalam khutbah atau pidato. Kebijakan ini kemudian mengundang simpati kaum Syi’ah, sehingga Umar berhasil mendamaikan perseteruan antara Syiah dan Sunni, sesuatu yang boleh dibilang hampir mustahil tercapai.
Pungutan zakat pada masa pemerintahan Khalifah Umar benar-benar terdistribusi dengan baik. Saat itu, warga tidak ada yang memiliki tanggungan utang dan semua lajang tidak mengeluarkan dana sepeser pun ketika mereka menikah karena dibiayai dari Baitul Mal yang diperoleh dari zakat. Meski begitu, uang di Baitul Mal tetap menumpuk. Inilah bukti keberhasilan Umar dalam mengelola negara dan membangun ekonomi umat Islam.
Selain itu, wilayah-wilayah yang ditaklukannya, Khalifah Umar juga mengubah kebijakannya. Penaklukan yang biasanya menggunakan peperangan, diganti dengan gerakan dakwah Islam. Strategi itu terbukti lebih jitu dan berhasil. Pendekatan persuasif itu mengundang simpati dari pemeluk agama lain, hingga secara sadar dan ikhlas, mereka berbondong-bondong masuk Islam.
Lebih hebatnya lagi, khalifah Umar hanya membutuhkan dua tahun lima bulan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi umat dan bangsanya. Sayangnya, khalifah Umar yang bergelar Umar II dan Abu Hafs ini wafat dalam keadaan tragis. Menurut beberapa riwayat, ia meninggal dunia karena dibunuh dengan cara diracun oleh salah satu pembantunya.
Meskipun rakyatnya hidup makmur, namun seperti halnya kakenya, Khalifah Umar tetap hidup sederhana, jujur, dan zuhud. Umar tidak meninggalkan warisan apapun untuk istri dan anak-anaknya kecuali kenangan manis sebagai pribadi sekaligus pemimpin yang shalih, kuat dan melegenda.