KH Zainal Mustafa, Ulama dan Pejuang Kemerdekan
HIDAYATUNA.COM – KH Zainal Mustafa sosok Pahlawan Nasional Indonesia yang lahir dari kalangan Pesantren. Lahir (pendapat lain menyebut ia lahir tahun 1901 dan 1907) di Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya. Pada tahun 1809 dari pasangan petani yang berkecukupan Nawapi dan Ny. Ratmah. Wafat, 28 Maret 1944 di Jakarta. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tasikmalaya. Beliau adalah seorang pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama di Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang.
Sewaktu masih kecil bernama Umri dan sepulang dari pesantren berganti nama menjadi Hudaemi. Beliau Ulama Pesantren yang merelakan raga sampai nyawanya ditangan Tentara Jepang demi Kemerdekaan Indonesia. Atas keberanian dan pengorbanannya melawan Jepang itulah Pemerintah Indonesia menganugerahi KH Zainal Mustofa sebagai Pahlawan Nasional dengan SK Presiden RI Nomor 064/TK/tahun 1972 tanggal 20 November 1972.
Selain memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat, ia belajar agama dari berbagai pesantren di Jawa Barat yang membuatnya memiliki pengetahuan agama yang luas dan mahir berbahasa Arab. Diantaranya Pesantren Gunung Pari selama 7 tahun, Pesantren Cilenga, Singaparna selama 3 tahun, Pesantren Sukaraja, Garut selama 3 tahun, Pesantren Sukamiskin, Bandung selama 3 tahun, dan Pesantren Jamanis selama 1 tahun
Lewat ibadah haji, ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan tukar pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan keagamaan di Tanah Suci. Kontak dengan dunia luar itu mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka sekembalinya dari ibadah haji, tahun 1927.
Pada 1927 KH Zainal Mustafa mendirikan pesantren yang merupakan cita-citanya. Pesantren itu dinamai Persantren Sukamanah, bertempat di Kampung Cikembang Girang Desa Cimerah (sekarang Kampung Sukamanah Desa Sukarapih), Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya. Nama Sukamanah merupakan nama pemberian dari orang yang mewakafkan tanah pesantren tersebut. Beberapa tahun kemudian, tahun 1933 KH Zainal Mustafa bergabung dengan organisasi yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari, Nahdhatul Ulama (NU), dan diangkat sebagai Wakil Ro’is Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.
KH Zainal Mustafa merupakan kiai muda yang berjiwa revolusioner. Ia menganut paham pendidikan yang sifatnya “Non Cooperation“, tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Belanda. Secara terang-terangan ia mengadakan kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan penjajah. Melalui khutbah-khutbahnya ia selalu menyerang kebijakan politik kolonial Belanda.
Akibatnya pada 17 November 1941, KH Zaenal Mustafa bersama Kiai Rukhiyat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap pemerintah dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung. Baru bebas pada 10 Januari 1942, namun sebulan kemudian ditangkap lagi bersama Kiai Rukhiyat atas tuduhan yang sama dan dimasukkan ke penjara Ciamis.
Pemerintah Jepang yang menggantikan kekuasaan Belanda di Indonesia Maret 1942 membebaskan KH Zainal Mustafa dengan harapan ia dapat membantu Jepang. Namun ia malah memperingatkan para pengikut dan santrinya bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda. Ia juga menolak melakukan seikerei, yaitu memberi hormat kepada Kaisar Jepang dengan membungkukkan diri 90 derajat (seperti ruku dalam shalat) kearah matahari terbit. Perbuatan tersebut dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Pernah dalam suatu upacara di lapangan Singaparna, para peserta yang diundang termasuk KH Zainal Mustafa dipaksa untuk melakukan seikerei dibawah todongan senjata Jepang. Semua peserta upacara tidak kuasa menolak karena nyawa yang terancam. Namun KH Zainal Mustafa dengan tegas menolak dan tetap duduk dengan tenang. Akibat perbuatan tersebut telah menimbulkan ketegangan antara penguasa Jepang dengan KH Zainal Mustafa serta para pengikutnya.
Dalam setiap dakwahnya KH Zainal Mustafa selalu menekankan pentingnya berjuang melawan penjajah kafir Jepang yang lebih kejam dari Belanda dengan mendengungkan perang jihad. KH Zaenal Mustafa juga menggiatkan santrinya untuk melakukan latihan fisik dengan melakukan latihan beladiri pencak silat. Setiap hari di Pesantren Sukamanah sibuk dengan latihan perang-perangan dan pengajian untuk mempertebal semangat berjuang.
Secara diam-diam santri Sukamanah telah merencanakan untuk melakukan tindakan sabotase terhadap pemerintah Jepang. Sekelompok kecil santri yang terlatih akan dikirim ke Kota Tasikmalaya untuk melakukan gerakan yang merugikan pemerintah Jepang. Misalnya, penculikan para pembesar Jepang, membebaskan tahanan politik, merusak dan menghancurkan sarana-sarana umum seperti kawat telepon dan sarana penting yang kemungkinan dapat dipergunakan oleh tentara Jepang.
Persiapan para santri ini tercium Jepang hingga mereka mengirim Camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil, bahkan mereka ditahan di rumah KH Zainal Mustafa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas.
Peristiwa ini merupakan awal dari peristiwa bersejarah yaitu perlawanan terbuka santri Pesantren Sukamanah yang mengakibatkan gugurnya puluhan santri Sukamanah. Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.
Selain itu sekitar 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. KH Zainal Mustafa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH Zainal Mustafa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk KH Zainal Mustafa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya.
Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustafa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat membuat pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka, setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun.
Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa KH. Zaenal Mustafa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta. Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.