KH Sahal Mahfudz, Sang Pencetus Gagasan Fikih Sosial
HIDAYATUNA.COM – KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, atau yang masyhur disapa dengan ‘Kiai Sahal’ ini lahir pada tanggal 17 Desember 1937 di desa Kajen, Margoyoso Pati, Jawa Tengah. Kiai Sahal adalah putra dari K.H Mahfudz bin K.H Abdussalam al Hafidz dan seterusnya sampai bersambung kepada Syaikh Ahmad Mutamakkin. K.H Mahfudz adalah pendiri Pesantren Maslakul Huda atau dahulu dikenal dengan nama ‘Pesantren Polgarut’ (1910). Sedangkan ibunya bernama Nyai Hajjah Badi’ah.
Kiai Sahal adalah anak ketiga dari enam bersaudara, yaitu M. Hasyim, N.H Muzayyanah (istri K.H Mansyur, pengasuh PP. An-Nur, Lasem), Salamah (istri K.H Mawardi, pengasuh PP Bugel-Jepara, kakak istri K.H Abdullah Salam), N.H Fadhilah (istri K.H Rodhi Sholeh), Hj. Khodijah. Kiai Sahal menikah dengan Dra. N.H Nafisah binti KH. Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambakberas, Jombang.
Pendidikan
Sejak masih kecil, Kiai Sahal sudah mengenyam pendidikan agama Islam langsung dari ayahnya. Kiai Sahal sudah terbiasa hidup dalam tradisi pesantren yang didirikan oleh kakeknya sejak lama.
Ayah Kiai Sahal, K.H Mahfudz atau yang masyhur dipanggil ‘Mbah Mahfudz’ adalah putra dari K.H Abdussalam, pendiri pesantren Mathali’ul Falah yang merupakan cikal bakal Pesantren Polgarut atau Pesantren Maslakul Huda. Mbah Mahfudz dikenal sebagai seorang Kiai yang disegani dan juga terkenal sebagai ahli fikih dan seorang hafidzul qur’an yang zuhud.
Sang ayah sangat tegas dan lugas dalam memberikan pendidikan, khususnya pendidikan agama kepada Kiai Sahal. Mulai dari pendidikan tauhid, Al-Qur’an, akhlak, fikih, dan ilmu agama lainnya. Dari sosok ayahnya yang alim inilah, Kiai Sahal tumbuh menjadi sosok yang sangat bersemangat dalam mendalami ilmu agama (tafaqquh fiddin). Intelektualitas dan kepekaan sosialnya sudah terbangun karena dilatih oleh keluarganya yang memang sangat mengajarkan kepedulian terhadap masyarakat.
Sepeninggal ayahnya (wafat 1944), Kiai Sahal yang baru berusia 10 tahun kemudian diasuh oleh pamannya, K.H Abdullah Salam atau dikenal juga dengan nama ‘Mbah Dullah’. Konon hal itu merupakan wasiat Mbah Mahfudz sebelum meninggal. Mbah Dullah adalah orang yang mendalami tasawuf dan berjiwa sosial tinggi. Beliau dikenal juga sebagai seorang ‘Wali’.
Kiai Sahal menamatkan sekolah dasar dan menengah pertamanya di bangku Perguruan Islam di Mathali’ul Falah. Di sekolahnya tersebut, Kiai Sahal menunjukkan ketekunannya dan kehausan akan ilmu dalam mempelajari segala bidang ilmu pengetahuan, baik ilmu agama, maupun ilmu umum (matematika, bahasa melayu, dan bahasa inggris). Selain itu beliau juga mendalami dan mempelajari bahasa Belanda.
Setamat dari Mathali’ul Falah, Kiai Sahal mondok di Pesantren bendo Pare, Kediri. Pesantren ini diasuh oleh seorang kiai sufi yang bernama Kiai Muhajir. Kiai Sahal mengaji kitab-kitab klasik agama, khususnya tasawuf, di sana ia pula menamatkan kitab ‘Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-ghazali. Selain menghatamkan kitab ‘Ihya Ulumudin, beliau juga menghatamkan kitab Al-Hikam karya Ibn Athoillah as-Sakandari.
Ketika Kiai Sahal belajar di Pesantren Bendo, Kediri. Mbah Dullah memasang target yang tinggi kepada Kiai Sahal untuk menguasai ilmu ‘ini’ dan ‘itu’. Kiai Sahal menjadi terpacu dengan target tinggi ini untuk terus meningkatkan kapasitas keilmuan dari waktu ke waktu, sehingga tidak ada waktu luang kecuali digunakan untuk muthala’ah. Mbah Dullah juga tidak segan-segan menghukum anaknya ketika melakukan pelanggaran. Hal sama juga dilakukan Mbah Mahfudz kepada Kiai Sahal dulu.
Kiai Sahal kemudian melanjutkan studinya ke Sarang Rembang. Di sana, ia mendalami ilmu agama terutama ushul fikih kepada Kiai Zubair Dahlan serta Mbah Mad. Saat mondok di sana, ia Kiai Sahal muda mendapatkan perlakuan istimewa dari sang Kiai Zubair, misalnya, ia mendapatkan pengajian khusus dari Kiai Zubair yang terpisah dengan santri. Biasanya pengajian itu dilakukan di ndalem kiai secara langsung dengan menggunakan bahasa Arab. Tak hanya itu, kemampuan yang dimiliki Kiai Sahal yang ternyata di atas rata-rata santri seusianya membuatnya kerap menjadi pengajar untuk beberapa santri lainnya.
Kiai Sahal memiliki koleksi ribuan buku di rumahnya. Jenis bukunya pun beragam, dan karena kegemarannya membaca, Kiai Sahal memiliki pengetahuan yang mendalam akan banyak hal. Kiai Sahal telah menunjukkan kemampuannya dalam forum-forum fiqih sebelum genap 40 tahun. Kiai Sahal sudah aktif dalam berbagai sidang Bahtsu Al Masail yang diadakan Syuriah NU jawa Tengah. Dedikasinya kepada pesantren, masyarakat, dan ilmu fiqih tidak pernah diragukan. Ia menguatkan tradisi dengan ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fikih.
Pada tahun 1960, Kiai Sahal berkesempatan untuk menunaikan ibadah Haji. Kiai Sahal kemudian menetap di sana dalam rangka untuk menuntut ilmu. Selama di Makkah, beliau belajar kepada ulama ternama Hijaz, salah satu guru besar beliau adalah Musnidud Dunya Syaikh Muhammad Yasin al Fadani. Kurang lebih tiga tahun lamanya beliau berada di Makkah, kemudian beliau pulang ke tanah air untuk mengajarkan ilmunya kepada para santri yang berada di pesantren peninggalan ayahnya.
Keluarganya
Kiai Sahal menikah dengan Dra. Nyai Hajjah Nafisah binti K.H Abdul Faath Hasyim pada tahun 1968. K.H Fatah Hasyim adalah pengasuh pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang. Proses pernikahannya degan Nyai Nafisah terbilang mendadak. Pada saat itu Kiai Sahal sedang mengunjungi keluarganya yang tinggal di Desa Sirahan Cluwak pati, kemudian seorang santri datang dan berkata bahwa Kiai Sahal diminta pamannya, Mbah Dullah untuk segera pulang ke Kajen.
Setibanya di Kajen, Kiai Sahal mendapati beberapa Kiai yang sedang berkumpul. Para Kiai itu diantaranya adalah Mbah Dullah, K.H Bisri Samsuri, dan beberapa kiai lainnya. Hal ini membawa pertanyaan dan keterkejutan sendiri baginya. Ia pun mendekati Mbah Dullah dan bertanya perihal berkumpulnya para kiai itu. Pamannya kemudian menjelaskan bahwa Kiai Sahal akan segera dinikahkan dengan putri K.H Abdul Fatah, Jombang. Kiai Sahal pun menyetujui perjodohan tersebut walau ia belum mengetahui calon istrinya karena ia sangat percaya pamannya. Tidak lama kemudian, akad nikah segera dilaksanakan, dan prosesi akad nikah pun dipimpin oleh K.H Bisri Syansuri.
Kiai Sahal baru bertemu istrinya tersebut dua tahun setelah ijab-kabul. Mereka bertemu pada tanggal 6 Juni 1968. Setelah akad nikah, ia menjalani kehidupannya seperti biasa karena saat itu nafisah baru menjadi mahasiswi tingkat tiga di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada awal mereka menjalani kehidupan rumah tangga, mereka menafkahi keluarga kecilnya dengan melakukan berbagai macam usaha mulai dari berjualan kitab hingga Nyai Nafisah yang menjahit.
Pesantren, MUI dan NU
Kiai sahal mengasuh Pesantren Polgarut pada tahun 1963. Pada tahun yang sama pula, pesantren ini kemudian berganti nama menjadi ‘Pesantren Maslakul Huda’.
Selain mengasuh pesantren, Kiai Sahal juga aktif di beberapa institusi, diantaranya MUI dan PBNU. Kiai Sahal memimpin MUI Provinsi Jawa Tengah selama 10 tahun. Kemudian ia didaulat menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2000-2014. Sebelumnya, selama dua periode, Kiai Sahal menjabat sebagai Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdatul Ulama sejak 1999 hingga beliau wafat pada 2014.
Di lingkungan pendidikan, Kiai Sahal pernah menjabat sebagai Rektor Institut Islam Nahdatul Ulama, Jepara, Jawa Tengah sejak tahun 1989 hingga mengantarkan kampus ini menjadi UNISNU pada 2013.
Sebagai pemimpin pesantren, Kiai Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional dikalangan NU yang mayoritas berasal dari keluarga pesantren. Sikap demokratisnya sangat menonjol dan ia mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantren melalui pengembangan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan.
Aktivitas Intelektual dan Penghargaan
Dalam kesibukannya mengasuh pesantren, beliau juga aktif di MUI dan PBNU, Kiai Sahal pun beraktivitas di beberapa lembaga akademik dan dunia kepenulisan. Kiai Sahal pernah menjadi pengajar di Pesantren Sarang, rembang, Dosen kuliah Takhassus Fiqh di kajen, Dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati, Dosen di Fakultas Syariah, IAIN Walisongo Semarang, Rektor Institusi Islam nahdatul Ulama Jepara, Kolumnis tetap di Majalah AULA, Kolumnis tetap di Harian Suara Merdeka, Semarang 1991.
Kiai Sahal banyak mendapatkan penghargaan, di antaranya Tokoh Perdamaian Dunia, Manggala Kencana Kelas I, Bintang Maha Putra Utarna, dan Tokoh Pemersatu bangsa. Penghargaan yang diterimanya terkait dengan masyarakat kecil adalah penganugrahan gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam bidang pengembangan ilmu fikih serta pengembangan pesantren dan masyarakat pada 18 Juni 2003 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta, penghargaan dari WHO dengan gagasannya mendirikan taman gizi. Kiai Sahal juga menerima penghargaan MAJT (Masjid Agung Jawa Tengah) pada tahun 2016. Penghargaan tersebut diberikan atas kiprah dan kontribusi Kiai Sahal sebagai salah satu pendiri Masjid Agung Jawa Tengah.
KH Mohammad Ahmad Sahal mahfudz wafat pada hari Jumat, 24 januari 2014 di kediamannya kompleks Rumah Sakit Dr. Kariadi, Pati.