KH Noer Ali Sang Pendekar Ulama Betawi
HIDAYATUNA.COM – KH Noer Ali lahir di Ujungharapan, 15 Juni 1913 di lingkungan desa, dari pasangan Anwar Bin Layu dan Maimunah binti Tarbin. Ia memiliki 3 saudara, yaitu Thayyeb, Arfah Mauni, dan Marhamah.
Sejak kecil, KH Noer Ali sudah memperlihatkan semangat belajar yang sangat tinggi. Ketika berusia 3 tahun, ia sudah dapat mengeja huruf. Menginjak usia delapan tahun, ia dikhitan dan mulai mempelajari agama pada Ustad Maksum di kampung Bulak. Ustadz Maksum mengajarinya mengejar huruf Arab, membaca Juz ‘Amma, dan menghafal rukun islam serta rukun iman. Ia belajar agama kepada ustadz Maksum selama 3 tahun, kemudian tahun 1925 mulai belajar pada Guru Mughni di Ujung Malang. Pada Guru Mughni ia mempelajari Alfiah (tata Bahasa arab), tajwid, nahwu, dan fiqh.
Ketika Noer Ali merasa sudah mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Guru Maksum, ia memohon kepada ayahnya agar diizinkan untuk belajar pada Guru Marzuki di kampung Muara Klender. Mengingat kesungguhan dan tekadnya yang besar, maka ayahnya mengizinkan dan mengusahakan agar Noer Ali dapat melanjutkan Pendidikan pada Guru Marzuki.
Guru Marzuki dikenal sebagai guru yang berhasil melahirkan ulama terpandang di lingkungan masyarakat Betawi. Sebagian dari mereka juga berhasil membangun Lembaga Pendidikan, diantaranya KH. Mukhtar Thabrani (Pendiri Pesantren An-Nur, Bekasi), KH. Abdul Malik (Putra Guru Marzuki), KH. Zayadi (Pendiri Perguruan Islam Az-Ziyadah, Klender), KH. Abdullah Syafi’i (Pendiri Pesantren Asy-Syafi’iyyah, Jatiwaringin), KH. Ali Syibromalisi (Pendiri Perguruan Islam Darussa’adah dan mantan Ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan, Jakarta), KH. Abdul Jalil (Tokoh Ulama Tambun, Bekasi), KH. Aspas (Tokoh ulama dari Malaka, Cilincing), KH. Mursyidi dan KH. Hasbiyallah (Pendiri Perguruan Islam al-Falah, Klender), dan termasuk Noer Ali yang kelak menjadi ulama dan pendiri pesantren yang terpandang. Selain KH. Abdul Malik (Guru Malik), putera-putera Guru Marzuki yang lain juga menjadi ulama, seperti KH. Moh. Baqir (Rawabangke), KH. Abdul Muthi (Buaran, Bekasi), KH. Abdul Ghofur (Jatibening, Bekasi).
Sejak kecil, Noer Ali bercita-cita ingin mendirikan “Perkampungan Surga”, istilah yang digunakannya untuk menggambarkan suatu lingkungan masyarakat yang berpendidikan dan berakhlak mulia. Untuk itu, ia bertekad untuk menempuh Pendidikan yang lebih tinggi di Makkah. Hal itu ia cita-citakan karena Guru Marzuki seringkali berkata bahwa Makkah adalah tempat yang tepat untuk menempa diri jika ingin menjadi pemuka agama. Guru Marzuki juga berpesan pada murid kesayangannya itu, untuk belajar pada Syaikh Ali al-Maliki. Maka, ketika Noer Ali pergi ke Makkah, orang pertama yang ditujunya adalah Syaikh Ali al-Maliki.
Syaikh Ali al-Maliki bermukim di Makkah sejak tahun 1900-1910. Guru-guru Syaikkh al-Maliki adalah para ulama Haramain yang terkemuka pada masanya. Ia adalah pakar dalam bidang gramatika dan sastra arab (nahwu, sharaf, balaghah, arudh, qawafi).
Selain berguru pada Syaikh Ali al-Maliki, Noer Ali juga belajar pada Syaikh Ahmad Fatoni dari Patani (Muangthai), yang baru berusia sekitar 40 tahun. Padanya, ia mendalami Fiqh, dengan kitab Iqna sebagai acuannya. Pada Syaikh Mohammad Amin al-Qurthubi yang berusia 45 tahun, Noer Ali mendalami ilmu Nahwu, Qawafi (Sastra), dan Badi’ (mengarang). Qurthubi juga mengajar ilmu Tauhid dan Mantiq (ilmu logika yang mengandung falsafah Yunani) dengan kitab Asmuni sebagai acuannya.
KH Noer Ali adalah ulama Betawi terkemuka abad 19-20 yang dikenal sebagai salah satu dari “Enam Pendekar-Ulama Betawi” selain KH. Abdullah Syafi’I, Tuan Guru KH. Zainuddin, dan lainnya. Di masa mudanya menjabat sebagai ketua Persatuan Pelajar Betawi (PPB). Dimasa revolusi fisik, ia adalah Komandan Batalyon III Hizbullah Bekasi. Ia ikut mendirikan dan memimpin Hizbullah, Sabilillah dengan nama Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah (MPHS). Di bidang Pendidikan, ia adalah Pendiri Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (YP3I) yang kemudian berubah nama menjadi Yayasan Attaqwa.
Sejak 1936, melalui surat kabar yang terbit di Saudi Arabia dan Hindia Belanda, Noer Ali mendapat informasi bahwa pergerakan rakyat di negerinya di batasi, bahkan ada beberapa yang dibubarkan. Semangat kebangsaan ini merambas ke dalam sanubari pelajar Hindia Belanda yang sedang mukim di luar negeri, khususnya di Makkah, termaksud Noer Ali.
Sebagai bukti kepeduliannya, Noer Ali dan beberapa temannya seperti Hasan Basri membentuk organisasi Persatuan Pelajar Betawi (PBB) pada 1937. Secara aklamasi Noer Ali terpilih sebagai ketuanya, sedangkan Hasan Basri sebagai Wakil Ketua dengan jumlah anggota awal sebanyak 20 orang. Berdasarkan keterangan salah seorang adik kelasnya, Ali Sybromalisis, alas terpilihnya Noer Ali dianggap paling senior diantara temen-temennya, kedua ia memiliki sikap kepemimpinan, dan ketiga akhlaknya yang baik, tidak angkuh, dan pandai bergaul.
Akhir tahun 1939 keadaan dunia semakin mencemaskan dengan terjadinya perang dimana-mana. Organisasi pergerakan di Saudi Arabia juga dibatasi. Noer Ali pun memutuskan untuk kembali ke tanah air sebelum perang dunia Meletus. Syeikh Ali al-Maliki sempat menasehati dan memberi amanat sebelum Noer Ali meninggalkan tanah Makkah, “kalau kamu pulang, silahkan pulang. Jika bekerja jadi penghulu (pegawai pemerintah), silahkan. Tapi kalau kamu mau mengajar, saya akan ridho dunia akhirat’.
Setibanya di tanah air, tahun 1940, Noer Ali mendirikan Yayasan yang menaungi hampir semua lembaga Pendidikan di wilayah Kec. Babelan dan sekitarnya. Pada awalnya, Noer Ali hanya membuat sebuah pesantren kecil. Pada tahun 1986 nama Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan, dan Pertolongan Islam (YP3I) berubah nama menjadi Yayasan Attaqwa dan terdaftar dalam Akta Notaris Soedirja, SH. Nomor 16 Tanggal 17 Desember 1986.
Sejak perubahan nama Yayasan inilah pengelolaan Yayasan yang semula bersifat tradisional perlahan-lahan berubah pada pengelolaan yang lebih modern. Pada tahun 1986 pengelolaan Yayasan Attaqwa dilimpahkan pada generasi penerusnya, dimana proses kaderisasi telah berlangsung dan masih berlangsung hingga saat ini.
Gerakan Pendidikan KH Noer Ali membawa impikasi yang sangat luas yaitu perubahan sosial di masyarakat salah satunya adalah meningkatkan harkat dan martabat perempuan. Hal ini barangkali sesuai dengan cita-cita besar KH. Noer Ali, yaitu terciptanya masyarakat yang islami dan berkeadilan gender.
Dalam rangka menjawab realita negeri yang tengah dilanda penjajahan, suami dari Siti Rahmah binti Mughni itu juga menghimpun kekuatan umat. Mereka membuat jalan tembus dari ujung malang ke Teluk Pucung pada tahun 1941 untuk mempersiapkan diri bils sewaktu-waktu bangsa Indonesia harus bertempur secara fisik. Noer Ali menyalurkan santrinya ke dalam Heiho (pembantu prajurit), Keibodan (barisan pembantu polisi) di Teluk Pucung. Salah seorang santrinya, Marzuki Alam, dipersilahkan mengikuti latihan kemiliteran Pembela Tanah Air (Peta). Saat rapat Ikada digelar pada tanggal 19 September 1945 di Monas, nama Noer Ali kian dikenal di kalangan pejuang saat Bung Tomo meneriakkan namanya beberapa kali dalam siaran radio di Surabaya, Jawa Timur.
Pada bulan November 1945, Noer Ali membentuk Laskar Rakyat. Seluruh badal (pasukan) dan santrinya diperintahkan menghentikan proses belajar-mengajar untuk mendukung perjuangan. Ia kemudian mengeluarkan pernyataan “Wajib hukumnya berjuang melawan penjajah”. Dalam waktu singkat, Laskar rakyat berhasil menghimpun sekitar 200 orang yang merupakan gabungan para santri dan pemuda sekitar Babelan, Tarumajaya, Cilincing, Muaragembong. Mereka dilatih mental oleh KH. Noer Ali dan dilatih dasar-dasar kemiliteran oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Bekasi dan Jatinegara.
Pada akhir tahun 1945, dibentuklah suatu kesatuan bersenjata yang berafiliasi kepada partai politik. Saat itu, Abu Ghozali sebagai komandan Resimen Hizbullah Bekasi (badan perjuangan Partai Majelis Suro Muslimin Indonesia/Masjumi) menunjuk KH. Noer Ali sebagai komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Setelah agresi militer pertama belanda pada 1947, KH. Noer Ali mengadakan musyawarah darurat di Karawang. Hasilnya adalah akan mengirim Noer Ali bersama lima orang rekannya menemui Panglima Besar Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta, rombongan Noer Ali diterima oleh Letnan Jendral Oerip Soemohadjo karena Jenderal Soedirman tidak berada di tempat. Noer Ali diminta untuk melakukan perlawanan secara bergerilya. Ia kemudian mendirikan Hizbullah, Sabilillah pusat dengan nama Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah (MPHS) yang diketuai langsung olehnya.
Pada tanggal 10 Januari 1948, Mohammad Moe’min, Wakil Residen Jakarta dari pihak Republik Indonesia, mengangkat Noer Ali sebagai koordinator (Pejabat Bupati) Kabupaten Jatinegara. Namun jabatan pemerintahan yang seharusnya dimulai pada 15 Januari 1948 tidak berlangsung lama, karena pada 17 Januari 1948 terjadi perjanjian Renville yang mengharuskan tentara Indonesia di Jawa Barat hijrah ke Jawa Tengah dan Banten. Noer Ali memilih hijrah ke Banten dengan membawa 100 orang pasukan dari Kompi Syukur.
Ketika perlawanan bersenjata tersebut mulai mereda, pada tahun 1949 Noer Ali memilih berjuang di lapangan sipil. Ia diminta membantu Muhammad Natsir sebagai anggota delegasi Republik Indonesia Serikat di Indonesia dalam Konferensi Indonesia Belanda. Dalam kesempatan tersebut, Noer Ali sempat membahas kelanjutan perjuangan dengan tokoh-tokoh nasional di Jakarta, seperti Muhammad Nasir, Mr. Yusuf Wibisono, Mr. Muhammad Roem, Muhammad Syafe’i dan KH. Roji’un, dan kemudian ia diminta untuk menyalurkan aspirasi politiknya, bergabung dalam partai Masjumi.
Pada Januari 1950, Noer Ali bersama teman-teman dan anak buahnya membentuk Panitia Amanat Rakyat. Pada 17 Januari 1950, Panitia Amanat Rakyat itu kemudian menghimpun sekitar 25.000 rakyat Bekasi dan Cikarang di alun-alun Bekasi. Mereka mendeklarasikan resolusi yang menyatakan penyerahan kekuasaan pemerintah federal kepada Republik Indonesia. Pengembalian seluruh Jawa Barat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Noer Ali bersama Lukas Kustaryo menuntut agar nama Kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi. Tuntutan tersebut diterima oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir, sehingga pada 15 Agustus 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi di Jatinegara, serta selanjutnya dimasukkan ke dalam wilayah Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan cerita yang berkembang di kalangan Dewan Masjid, Noer Ali pernah meminta pengurus melakukan pendataan jamaah masjid beserta mushalla. Daftar jamaah dari berbagai mushalla itu diperintahkannya untuk diberi kode hijau atau merah. Kode hijau berarti jamaah itu sudah berada garis “aman”, sedangkan kode merah bermakna Jemaah tersebut perlu dibantu. Berdasarkan daftar jamaah itu, zakat, infaq, dan sadaqah di distribusikan. Ia mengatur sendiri bagaimana dana-dana sosial itu disalurkan. Ada yang memang langsung dibagikan kepada mustahiq, tapi ada yang berupa pinjaman. Maksudnya adalah untuk mendidik agar penerima bantuan itu dapat berusaha menghidupi dirinya sendiri dengan cara menjadikan bantuan itu sebagai modal usaha.
KH Noer Ali wafat pada tanggal 29 Januari 1992 di Ujungharapan, Yayasan Attaqwa yang di didirikan oleh Noer Ali telah memiliki lebih dari 150 cabang sekolah dengan lebih dari 30.000 murid dan tenaga pengajar yang tersebar di wilayah Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Kabupaten Karawang.