KH Muhammad Thoha Ma’ruf, Deklalator NU di Sumatera
HIDAYATUNA.COM – KH Muhammad Thoha Ma’ruf adalah salah seorang tokoh besar NU terutama di Minangkabau, Sumatera. Ia juga pernah menjadi anggota Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) serta menjadi unsur pimpinan pusat di majelis ulama.
Beliau seorang tokoh yang hidup dalam suasana kesederhanaan dan memiliki keteladanan yang patut diikuti oleh masyarakat muslim. Salah satu kegemaran positif semasa hidupnya adalah bersilaturrahmi dan beliau juga dikenal sebagai ulama yang sangat dermawan terhadap siapapun terutama terhadap orang yang membutuhkan.
Beliau lahir tepat pada tanggal 25 Desember 1920 M, ia salah satu keturunan ke 7 dari ulama besar Nusantara asal Banjar Kalimantan, yakni Syeikh Muhammad Arysad Al Banjari. Ayahnya bernama KH Mansur adalah seorang guru agama yang membangun sebuah keluarga di Kampung Banjer Manado.
Kehidupan latar belakang keluarga yang religious dan taat terhadap agama sangat mempengaruhi pendidikan usia dini KH Muhammad Thoha Ma’ruf, sehingga dari sejak kecil beliau sudah dikenalkan dengan ilmu keagamaan.
Di daerahnya sendiri Muhammad Thoha Ma’ruf menghabiskan masa kecilnya untuk menimba ilmu. Hingga ketika beliau mendekati usia dua puluh tahun, Muhammad Thoha Ma’ruf mulai melangkahkan kakinya untuk meniti sebuah pengembaraan hidup dan ke suatu daerah di Tanah Minang adalah tempat tujuannya.
Disana beliau mengembangkan ilmunya untuk menjadi seorang ulama yang berpengaruh dikemudian hari. Pada usia memasuki 22 tahun Muhammad Thoha Ma’ruf telah menamatkan Madrasah Mualimin di Bukit Tinggi pada tahun 1942. Setelah satu tahun sebelumnya beliau juga menamatkan pendidikan di Institute Islamic College di Padang.
Karier beliau dimulai dari sinilah, kemudian ia mulai menapakan dirinya dijalan dakwah. Di Padang bumi pertiwi, KH Muhammad Thoha Ma’ruf mulai membuka lebar-lebar cakrawala pemikirannya terhadap dunia dengan mempelajari Bahasa asing yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang.
Pernah suatu saat KH Muhammad Thoha Ma’ruf ditangkap oleh penduduk tentara Jepang karena dianggap menentang tentara penjajah dan akhirnya dibebaskan dari hukuman tersebut. Dikarenakan beliau telah menguasai Bahasa Jepang. Sejak merantau ke Minang, Muhammad Thoha menunjukan bakti yang begitu kuat terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa.
Beliau menunjukan bakti kepada bangsanya dengan menunjukan dari hasil menimba ilmu pendidikannya. Karena itulah beliau terlibat banyak sekali dalam gerakan pendidikan sejak semasa mudanya. Bahkan sebenarnya sejak ia sebelum berangkat ke negeri rantau, ia telah memulai pengabdinya sebagai guru agama ditanah kelahirannya, Manado. Tetapi bukan hanya di tanah kelahiranya saja, bahkan ke wilayah-wilayah Sumatera Tengah lainya seperti Riau, Jambi dan Medan.
Dalam perjalanan beliau untuk menyebarluaskan dakwahnya ke daerah Minang, beliau menemukan pasangan hidupnya. KH Muhammad Thoha Ma’ruf menikah dengan seorang gadis belia asli darah Minang yang kelak mendampinginya hingga akhir hayat.
Hj Sariani binti H Muhammad Yasin nama istrinya. Sejak kecil Sariani telah dipanggil Hajjah, karena sejak berusia lima tahun beliau telah diajak berangkat ke Tanah Suci Makkah Madina untuk pertama kalinya, beberapa kali ia pulang pergi ke Haramain sebelum akhirnya dinikahkan dengan pemuda Thaha Ma’ruf, seorang guru agama militant asal Banjar yang telah diterima sebagai bagian dari penduduk Minang.
Istrinya berasal dari sebuah keluarga saudagar kaya raya yang memiliki keseharian hidup agamis. Hj Sariani pun seorang da’iyah handal sejak awal, sekaligus pengatur keuangan keluarga yang sangat ulet.
Kemudian pasangan suami istri ini dua-duanya aktif sebagai kader pejuang unggul yang mampu mensinergikan antara perjuangan bangsa dan dakwah keagamaan dalam satu tarikan nafas bahtera rumah tangga mereka.
Keseharian KH Muhammad Thoha Ma’ruf juga menjadi wartawan di Harian Penerangan, beliau juga aktif sebagai guru diberbagai sekolah dan majelis taklim, sehingga beliau mampu menanamkan rasa kecintaan di masyarakat untuk perjuangan bangsa kita, sekaligus agama.
Pada saat beranjak usia 33 tahun (1953), ia menjadi pelopor sekaligus deklarator berdirinya Partai NU di wilayah Sumatera Tengah, wilayah yang sekarang menjadi tiga Provinsi, Sumaetera Barat, Jambi, dan Riau.
Pendirian Partai Nahdlatul Ulama di Sumatera Tengah ini dilaksanakan setelah enam tahun KH Muhammad Thoha Ma’ruf bergulat dalam perjuangannya sebagai Sekertaris Jenderal PERTI yang berpusat di Bukittinggi.
Tiga tahun setelah mendirikan Partai NU di Sumatera Tengah, KH Muhammad Thoha Ma’ruf hijirah ke Jakarta dan menjabat sebagai anggota PBNU serta aktif dalam perjuangan Nahdlatul Ulama dilevel pusat.
Beliau di Jakarta beserta keluarganya sempat beberapa kali pindah alamat, dari Kebun Nanas, Matraman hingga Cipinang. Dalam menjalani kehidupan sebagai aktifis NU di Jakarta ini beliau selalu didampingi oleh sang istri yang juga seorang aktivis Fatayat Muslimat NU.
Ketika pada tahun 1965 terjadi kemelut yang mendebarkan seputar pemberontakan PKI di kediaman KH Muhammad Thoha Ma’ruf di Matraman selalu dijaga oleh laskar Ansor setempat atas inisiatif mereka sendiri. Selama menjalani kegiatannya sebagai politikus, pendakwah, sekaligus menjadi pimpinan pusat Majelis Ulama dan Da’i tetap dipengajian Masjid Istiqlal.
Meskipun keluarga beliau sering berpindah-pindah tempat, tetapi ia tetap menyebarluaskan dakwahnya dan tidak pernah meninggalkan majelis taklim di komunitas lamanya.
Sejak tahun 1946, KH Muhammad Thoha Ma’ruf berdinas di Ketentaraan sebagai Kepala Penerangan yang berkedudukan di Bukittinggi dengan pangkat Mayor dan pada tahun 1960-1970 tercatat sebagai anggota DPRGR atau MPRS pengalaman didunia militer menjadikan beliau senantiasa tegas dalam sikap-sikap politiknya.
KH Muhammad Thoha Ma’ruf termasuk orang yang suka mengkritik kebijakan pemerintah jika dinilainya kurang tepat, beliau ketika mengkritiknya tidak segan-segan dan tidak padang bulu. Salah satu gagasan penting yang dicetuskannya dengan sukses adalah kembalinya Indonesia ke Pangkuan PBB pada tahun 1966.
Dari sinilah karier beliau dipercaya untuk menjalani berbagai kunjungan kenegaraan ke berbagai wilayah diluar negeri, termasuk untuk menghadiri Kongres Perdamaian di Moskow tahun 1962 dan mempersiapkan pendirian Konsulat RI di Seoul Korea Selatan pada tahun 1968.
Thoha Ma’ruf juga memiliki kedekatan dengan para habaib, ulama dan beliau selalu menjaganya untuk kepentingan dakwah Islamiyah. Beberapa teman dekatnya adalah KH Abdullah Syafe’I, KH Wahid Hasyim dan Habib Ali Kwitang
Beliau juga aktif di Majelis Ta’lim Habib Ali Kwitang, baik sebagai peserta maupun pembicara. Selain aktif dimajelis ta’lim, ia juga disela kesibukanya aktif menulis, terutama artikel-artikel yang berkenaan dengan dakwah Islamiyah.
Sehingga tujuh jam sebelum beliau menghadap sang Khaliq pada malam Rabu (6 April 1976 jam 22.00 Wib) masih sempat menulis sebuah karangan artikel dakwah, yang akan diajarkan dimajelis ta’lim Masjid Istiqlal. Hasil karangan terakhir ini belum selesai dan ditemukan masih dimeja kerjanya, beliau meninggal pada 7 April 1976 dalam usia 56 tahun dan pada saat itu juga beliau meninggalkan sang istri bersama kedelapan anaknya.
Beberapa anaknya ada yang ikut serta aktif menjadi pengurus teras PBNU, ada juga yang melanjutkan jejak dakwah Islamiyah yang dirintis oleh ayahnya. Beliau dimakamkan di Kebon Nanas.
Sumber:
- Ensiklopedia Pemuka Agama Nusantara