KH Mohammad Ilyas Ruhiyat

 KH Mohammad Ilyas Ruhiyat

HIDAYATUNA.COM – KH Mohammad Ilyas Ruhiyat atau yang sering disapa ‘Kiai Ilyas’ ini lahir pada tanggal 31 Januari 1934 di Cipasung, Jawa Barat. Beliau adalah putra dari K.H Ruhiat, pendiri pesantren Cipasung (1931) dan Ibunya bernama Nyai Hj. Aisyah. Kiai Ilyas nyantri dan belajar ilmu agama langsung dari ayahnya. Dan dari ayahnya lah karakter kearifan Kiai Ilyas terbentuk dalam dirinya. Beliau dikenal dengan perangainya yang tenang dan menyejukkan hati. Setelah ayahnya wafat, ia meneruskan peran ayahnya dalam mengasuh pesantren Cipasung sejak 1977.

KH Mohammad Ilyas Ruhiyat adalah seorang ulama besar Nahdatul Ulama. Kiai Ilyas pernah menjabat sebagai Rais Aam Pengurus Besar nahdatul Ulama pada periode 1992-1999. Ia juga merupakan salah satu dari lima ulama kharismatik Jawa Barat.

Dalam khazanah budaya Sunda dikenal dengan adanya tiga pembagian kekuasaan yang setara dalam kehidupan sosial kemasyaakatan. Ketiga lembaga kekuasaan itu menyatu dan saling mendukung. Kekuasaan yang dihormati adalah kekuasaan rohaniah yang disebut resi. Kekuasaan kedua disebut ratu, yakni pihak eksekutif yang memerintah ketiga kampung kekuasaan. Dalam bahasa yang lebih modern disebut negara. Kekuasaan ketiga adalah rama atau rakyat, yang lembaganya mengurusi keamanan dan pertahanan ketiga kesatuan tripatrit kampung. Dengan demikian, ketiga lembaga memiliki puncuk pimpinan atas jawaranya sendiri-sendiri, yakni jawara rohaniah, jawara eksekutif dan jawara silat.
Pendidikan

Secara garis besar, KH Mohammad Ilyas Ruhiyat banyak mendapat pendidikan di Pesantren Cipasung yang lansgung dipimpin oleh ayahnya, K.H Ruhiat. Selebihnya, Kiai Ilyas hanya mengecap pendidikan formal selama 3 tahun di Sekolah Rakyat. Kiai Ilyas kecil tidak mau berhenti belajar, dan karena kegigihannya dan keinginannya yang kuat dalam mempelajari semua hal, ia mengambil dua kursus bahasa asing secara bersamaan, yaitu bahasa Arab dan Inggris.

Kiai Ilyas juga menguasai bidang ilmu agama Islam karena penguasaan bahasa Arabnya yang bagus. Para ulama di kalangan NU dan Non NU banyak yang mengakui Kiai Ilyas sebagai ulama yang cerdas.

Kecerdasannya dapat dilihat dari kemampuannya menguasai kitab jurumiyah pada usia 9 tahun. Ia juga menguasai kitab Alfiyah Ibnu Malik (Ilmu Sharaf yang rangkai dalam seribu bait syair) pada usia 15 tahun. Oleh karena itu, Ilyas sering dipercaya untuk menggantikan ayahnya mengajar sejak usia 15 tahun. Ilyas muda menggantikan posisi ayahnya sebagai pengajar pesantren ketika penjajah belanda menangkap dan memenjarakan ayahnya.

Pernikahan

Kiai Ilyas menikah dengan Hj. Dedeh Fuadah. Istrinya menceritakan bahwa selama menikah, Kiai Ilyas tak pernah memarahinya. Ia berkata “Selama 50 tahun hidup bersama, Apih (ayah) ini tidak pernah membentak atau memaki saya. Apih sayang sekali kepada kami, sabar serta penuh perhatian kepada saya atau anak-anak. Ia selalu menghargai sikap dan selalu mengayomi saya”.

Dari pernikahannya dengan Hj. Dedeh, mereka dikaruniai tiga orang anak, yaitu Acep Zamzam Noor (seorang sastrawan), Ida Nurhalida (peraih Master UPI Bandung) dan si bungsu Enung Nurasaidah Rahayu (master Pendidikan Biologi).

Kiai Ilyas sendiri dikenal sebagai ayah yang penyayang dan demokratis dalam keluarganya. Kiai Ilyas tidak keberatan saat putra pertamanya yang seorang penyair dan pelukis, Acep Zamzam Noor memilih studi Seni Rupa di Institut Teknologi Bandung yang kemudian memutuskan untuk menjadi seniman. Kiai Ilyas hanya berharap putra-putrinya menjadi orang yang bermanfaat bagi agama dan sesama. Bagi Kiai Ilyas, jalan apa pun dapat dipilih untuk menjadi sosok yang bermanfaat, yang penting tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama

Kiprahnya di NU


Kiai Ilyas memulai karirnya di NU sejak tahun 1954. Beliau memulai kiprahnya sebagai Ketua NU cabang Tasikmalaya. Pada saat itu, ia juga menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama (IPNU) Jawa Barat. Keterlibatannya di IPNU tak lepas dari perintah sang ayah, K.H Ruhiat, yang ketika itu menjabar sebagai Rais Syuriah Partai NU Tasikmalaya.
Pada masa pendirian IPNU Tasikmalaya, salah satu kegiatan utama yang diikuti ialah Muktamar I IPNU di Malang 28-5 Maret 1955. Kiai Ilyas pun menjadi perwakilan IPNU Tasikmalaya. Keberangkatannya sebagai utusan untuk mengikuti Muktamar Pertama itu pun secara tidak langsung membuat nama Ilyas Ruhiat dikenal kaum Nahdliyin di sekitar Tasikmalaya.

Karirnya semakin naik saat Kiai Ilyas kemudian terpilih sebagai Wakil Rais Syuriah NU Jawa Barat pada tahun 1985-1989. Kiai Ilyas menjadi salah seorang anggota Rais Syuriah Pengurus Besar PBNU ketika Muktamar NU di Krapyak pada tahun 1989. Kemudian Kiai Ilyas ditunjuk sebagai pelaksana Rais Aam Syuriah NU menggantikan Rais Aam K.H. Ahmad Shiddiq yang wafat sejak Munas dan konferensi besar NU di Bandar Lampung pada tahun 1992.

Pada muktamar NU ke-29 yang berlangsung di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Kiai Ilyas terilih sebagai Rais Aam PBNU pada tahun 1994. Ia mendampingi Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU.

Teladan

Kiai Ilyas mendapat pendidikan karakter spiritual yang sangat kuat langsung dari sang ayah. Kiai Ruhiat merupakan guru yang paling disegani. Dari ayahnya kemudian tumbuh pribadi yang berkarakter lembut, namun penuh semangat dalam menuntut ilmu secara tekun dan selalu bersikap sabar.

Kecerdasan dan kesabaran Kiai Ilyas membuat orang tuanya bangga. Ketika sang Ayah merasa sakitnya parah, Kiai Ilyas langsung dibaiat oleh ayahnya sebagai penerus kepemimpinan Pesantren Cipasung. Ditangan Kiai Ilyas, Pesantren Cipasung sejak tahun 1980 an sampai sekarang menjadi sebuah pesantren besar yang penuh prestasi.

Totalitas perjuangan Kiai Ilyas dalam NU sangatlah besar dan dikagumi warga NU. Tidak hanya warga NU, tetapi juga seluruh bangsa. Di Jawa Barat sendiri, Kiai Ilyas sering mempelopori dialog lintas agama dan listas sektoral. Dia selalu menggandeng Muhammadiyah dalam persoalan umat Islam. Dalam pluralitas keberagaman, dia selalu menggandeng para pemuka agama Indonesia, beliau turur masuk dan ikut berceramah di pesantrennya. Walaupun demikian, Kiai Ilyas tetap santun dan rendah diri. Menduduki posisi tertinggi di NU, dia tetap tinggal di Cipasung. Karena baginya ia bagai biji yang tumbuh ditanahnya sendiri.

Sumber : Mengenal Ulama Nusantara, Tim Baitul Mukminin, Emir Cakrawala Islam.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *