KH Ahmad Muwafiq Harap Warga NU Tidak terbawa Arus
HIDAYATUNA.COM, Bangkalan – Salah satu Nahdlatul Ulama (NU) yang dikenal sebagai salah satu orator zaman sekarang, KH Ahmad Muwafiq, saat menghadairi rangkaian Haul Akbar (wafatnya KH Moh Ilyas Khotib) dan Temu Alumni ke-8 Pondok Pesantren Miftahul Ulum al-Islamy di Kedundung, Modung, Bangkalan, Jawa Timur, Sabtu (28/9/2019) lalu itu, menekankan bahwa warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyin) hendaknya tetap menjaga rutinitas yang sudah menjadi ciri khasnya. Jangan terlampau panik, bahkan terbawa arus terkait keadaan mutaakhir di negeri ini.
Hal itu ditegaskan dengan maraknya sejumlah persoalan yang tengah menjadi pembicaraan di negeri ini, atau sejumlah Rancangan Undang-Undang atau RUU misalnya yang menimbulkan polemik di masyarakat, bahkan mengundang demonstrasi di mana-mana.
“Sebenarnya setelah dinyatakan ditunda oleh pemerintah, semestinya sudah tidak ada lagi pro dan kontra di masyarakat,” kata KH Ahmad Muwafiq, di Bangkalan, seperti yang diterima oleh HIDAYATUNACOM dari NU Online pada hari Rabu (02/10/2019).
“Pertanyaannya, kenapa ketika pemerintah sudah menyatakan menunda, kok mereka masih merangsek? Hal itu menimbulkan tafsir bahwa proses demokrasi di Indonesia kan juga masih ada bau-bau dan sisa-sisa pemilihan presiden,” imbuhnya
Dalam pandangannya, penyampaian aspirasi yang dilakukan lewat demontrasi tentu saja akan menimbulkan risiko, termasuk berhadapan dengan pihak keamanan.
“Ya, itu kan risiko. Mereka menyerang, polisinya bertahan. Bertahan kemudian tidak tahan, akhirnya menyerang juga. Begitu saja,” paparnya.
Saat UU Pesantren sudah disahkan, ia berpesan agar pesantren dapat menyiapkan diri dengan baik. Kemudina, UU Pesantren ada persiapan yang paling besar sebenarnya, bukan lagi semata-mata persoalan ditanggung oleh negara atau tidak.
“Pesantren mempunyai tanggung jawab besar. Karena Arab sudah kehilangan beberapa disiplin ilmunya Rasulullah. Di Arab itu yang tersisa tinggal fiqih, sedangkan tasawuf dan kalam sudah hilang. Di kawasan lain seperti Afrika, yang tersisa tinggal tasawuf, sedangkan fiqih dan kalam sudah hilang. Dan di Eropa tinggal kalam, sedangkan fiqih dan tasawuf sudah hilang. Nah, kelebihan pesantren di tanah air ternyata mampu bertahan dengan wacana dan disiplin yang lengkap, fiqih, tasawuf dan kalam masih utuh,” jelasnya.
Pesantren harus mengemban tugas berat ini, mempersiapkan diri untuk menjadi tempat pulangnya seluruh kaum Muslimin sedunia. Jika tidak siap-siap, nanti begitu mereka ke sini, tidak menemukan khazanah yang dimiliki pesantren.
Lebih jauh, ia mengutip surat al-Fathir ayat 28 dan mengingatkan agar santri harus benar-benar belajar prinsip bahwa sesungguhnya kalangan yang takut kepada Allah adalah ulama.
“Ulamanya ada, tapi mas’ulnya juga terbentuk namanya pesantren. Tujuan dirumuskannya UU Pesantren untuk membuat mekanisme agar orang itu memiliki ilmu dan punya kontrol. Ya NU tetap saja NU. Dari dulu NU begini, bahwa Nahdliyin jangan lupa kalau malam Jumat tahlilan, ziarah kubur, serta dibaan. Itulah orang NU,” tukas KH Ahmad Muwafiq.