KH. Abdul Wahab Chasbullah, Sang “Muharrik” Nahdlatul Ulama

 KH. Abdul Wahab Chasbullah, Sang “Muharrik” Nahdlatul Ulama

Kisah Ketika Kiai Wahab Chasbullah Menhadapi Situasi Bahaya (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – KH. Abdul Wahab Chasbullah adalah seorang ulama yang berpikiran visioner dan bergagasan cemerlang. Tidak heran bersama KH M. Hasyim Asy’ari, dan KH Bisri Syansuri, KH Abdul Wahab Chasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Dari peran para ulama itulah Indonesia bisa merdeka dan menyatukan rakyatnya dalam NKRI.

Beragam pemikiran KH Abdul Wahab Chasbullah dibukukan oleh Safrizal Rambe, S.IP., M.Si dengan judul “Peletak Dasar Tradisi Berpolitik NU: Sang Penggerak Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahab Chasbullah”. Buku setebal 403 halaman ini memuat pemikiran dan sepak terjang KH Abdul Wahab Chasbullah dari Muktamar NU pertama hingga tahun 1970-an.

“Buku ini wajib dimiliki bagi warga NU, terutama kader muda NU,” kata KH. M. Hasib Wahab, anak dari KH Abdul Wahab Chasbullah mengawali sambutan dalam bedah buku tersebut di Jakarta, Kamis (16/12/2021).

KH. Hasib memaparkan, terbitnya buku “Peletak Dasar Tradisi Berpolitik NU : Sang Penggerak Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahab Chasbullah” merupakan momentum yang tepat untuk menyongsong Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 di Lampung. Apalagi dalam buku tersebut KH Abdul Wahab Chasbullah mengungkapkan Muktamar NU dari yang pertama hingga ke 25 pada tahun 1971. Sehingga tergambar peranan Nahdliyyin dari muktamar ke muktamar.

“Kiai Wahab Sebagai ulama yang yang mempunyai gagasan dan pemikiran visioner dan merupakan muharrik (penggerak) NU. Di awal pendirian,” jelas Dewan Penasihat Kiai Wahab Foundation (KWF) ini.

Gagasan Menciptakan Pesantren

Hasib mengungkapkan peran KH Abdul Wahab Chasbullah di antaranya ketika melawan penjajah Belanda dan menyatukan para petani untuk kemandirian ekonomi. Pada 1938 saat Muktamar NU di Menes, Jawa Barat, KH Abdul Wahab Chasbullah juga telah memberikan ide dan gagasan. Bagaimana adanya bank NU dan kemandirian ekonomi NU.

Ide dan gagasan lainnya dari KH Abdul Wahab Chasbullah adalah adanya gerakan untuk menciptakan pondok pesantren (ponpes) yang tersebar di berbagai pelosok daerah. Oleh karena itu secara organisasi NU sudah jalan dan bagus karena selain ada kegiatan dakwahnya juga bergerak dalam kemandirian ekonomi.

“Jadi ini yang terpenting korelasinya, Muktamar NU ke -34 ini di Lampung, kan temanya kemandirian ekonomi NU. Ini sangat tepat,” tandasnya.

Hasib mengungkapkan, tantangan NU ke depan di antaranya adalah supaya ekonomi NU dan warga-warga NU bisa kuat dan mandiri. Karena ada tiga hal yang akan dihadapi NU ke depannya.

Pertama, meningkatkan dan konsolidasi SDM NU terutama masalah tafaqquh fiddin memperdalam ilmu agama. Kemudian mencetak ulama handal yang alim dan alamah agar bisa menggantikan ulama yang sudah meninggal.

Kedua, ekonomi warga NU harus kuat karena mayoritas umat Islam di Indonesia adalah warga NU. Oleh karena itu bagaimana menciptakan NU ke depan bisa meningkatkan bisnis warga NU, baik makro dan mikro yang profesional. Ke depan, NU tidak hanya bergantung pada proposal.

Ketiga, memperbanyak SDM dengan mendirikan universitas-universitas NU dengan jurusan-jurusan sesuai perkembangan zaman.

“Alhamdulilah selama KH Said Aqil Siradj memimpin NU sudah ada 43 universitas NU di Indonesia, dan beberapa masih dalam rintisan,” jelasnya.

Abdul Wahab Chasbullah Embrio NU

Dekan Fakultas Adab & Humaniora UIN SYarif Hidayatullah Jakarta, Saiful Umam, M.A., Ph.D. menegaskan, embrio NU ini diawali dari KH Abdul Wahab Chasbullah. Ia berperan dalam kelahiran atau memisahkan NU dan Masyumi dan jadi partai politik tersendiri yang juga peran NU. Sebab jika KH Abdul Wahab Chasbullah tidak ngotot, maka NU masih jadi bagian Masyumi.

“Dan ternyata memang luar biasa. Mbah Wahab (KH Abdul Wahab Chasbullah) tahu. Keluar dari Masyumi dan masuk parpol itu pilihan yang luar biasa gimana signifikannya suara NU,” tandasnya.

Sementara itu, Sejarawan Anhar Gonggong juga mengemukakan bahwa ada peran KH Abdul Wahab Chasbullah di balik Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Pasalnya, KH Wahab Chasbullah dan Presiden Soekarno memiliki hubungan yang cukup dekat dan seringkali berdiskusi ihwal permasalahan negara. Mereka kerab berdiskusi di kediaman HOS Cokroaminoto di Jalan Peneleh Surabaya.

“Memang kemungkinan besar, di balik sikap NU terkait Dekrit 5 Juli, itu ada peran KH Wahab ya,” katanya.

Acara ini diikuti oleh peserta secara luring dan daring dari berbagai kalangan. Seperti Pengasuh Pesantren, Akademisi, PWNU, PCNU, Muslimat NU, Fatayat NU, IPNU, IPPNU, Alumni Pesantren, Santri dan mahasiswa.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *