Ketika Perbedaan Itu Terbatas antara Para Ulama Saja
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta –Ketika Dairat al-Ma’arif al-Utsmaniyyah di Haidar Abad Dakin, India berencana menerbitkan Kitab Al-Jarh wa at-Ta’dil karya Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi yang ditahqiq oleh Syekh Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi al-Yamani.
Sementara naskah manuskrip yang ada masih kurang, Syekh Muhammad Zahid al-Kautsari yang saat itu berada di Mesir, mengirim surat ke penerbit dan memberitahu mereka bahwa ada naskah yang lengkap di Turki.
Berkat informasi dari Syekh Zahid al-Kautsari, kitab itu dapat diterbitkan setelah dilakukan muqabalah dengan beberapa naskah yang mu’tamad.
Sang muhaqqiq, Syekh Abdurrahman al-Mu’allimi sangat menyadari jasa Syekh Zahid al-Kautsari dalam pentahqiqan dan penerbitan kitab berharga itu.
Maka di akhir pengantarnya, ia menyampaikan terimakasih pada Syekh Zahid dan menyebutnya dengan :
فضيلة العلامة الكبير الأستاذ محمد زاهد الكوثري مد الله فى أيامه
Artinya:
“Para pelajar hadits tentu tahu bahwa antara Syekh Kautsari dan Syekh Mu’allimi terjadi perbedaan pendapat dalam banyak masalah, khususnya dalam bidang hadits dan fiqih. Hal itu tampak dalam kitab yang ditulis Syekh Mu’allimi untuk membantah Syekh Kautsari yang membantah Al Hafizh al-Khatib al-Baghdadi yang berjudul Ta`nib al-Khatib.”
Kitab ini dibantah oleh Syekh Mu’allimi dengan kitab yang berjudul At-Tankil bima fi Ta`nib al-Kautsari min al-Abathil.
Kitab At-Tankil ini baru diterbitkan Syekh Mu’allimi setelah wafatnya Syekh Kautsari.
Ketika Syekh Kautsari masih hidup, bantahan yang disampaikan oleh Syekh Mu’allimi dituangkannya dalam kitab yang diberinya judul Thali’ah at-Tankil sebagai sampel bantahan yang ia layangkan terhadap kitab Ta`nib.
Dalam pengantar kitab Thali’ah at-Tankil ini Syekh al-Mu’allimi menulis:
أما بعد ، فإني وقفت على كتاب تأنيب الخطيب للأستاذ العلامة محمد زاهد الكوثري الذي تعقب فيه ما ذكره الحافظ الخطيب البغدادي فى ترجمة الإمام أبي حنيفة من تاريخ بغداد …
Artinya:
“Perhatikan, meskipun dalam posisi membantah, namun Syekh Mu’allimi tetap memuliakan Syekh Kautsari dengan menyebutnya al-Ustadz al-‘Allamah. Padahal Syekh Mu’allimi merupakan salah satu tokoh utama kalangan Salafi masa itu, dan Syekh Kautsari adalah salah seorang yang banyak membantah tokoh-tokoh utama yang diagungkan Salafi seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim dan lain-lain. Namun demikian, Syekh Mu’allimi tetap menyadari dan mengakui keilmuan Syekh Kautsari. Tentunya tidak ada yang bisa menghargai dan menyadari keilmuan seorang alim melainkan alim juga.”
Ketika kitab Thali’ah ini sampai ke tangan Syekh Kautsari, beliau menanggapi dengan sebuah kitab berjudul:
الترحيب بنقد التأنيب
Jelas dari judul ini bahwa Syekh Kautsari menyambut baik kritikan yang ditujukan kepada kitabnya At-Ta`nib.
Tapi kemudian, menurut Dr. Hamzah al-Bakri, kitab At-Tankil diterbitkan oleh orang kaya Hijaz dan dimasukkan ke dalamnya (tadsis) celaan (شتائم) terhadap Syekh Kautsari mengatasnamakan Syekh Mu’allimi.
Ketika Syekh Mu’allimi mengetahui hal itu ia pun berlepas diri dari hal tersebut.
Andaikan perbedaan pendapat terbatas di kalangan para ulama saja tentu kita akan banyak belajar bagaimana adab dalam berbeda pendapat, bagaimana perbedaan pendapat tidak membuat kita menutup mata dari kelebihan orang lain, dan bagaimana perbedaan pendapat tidak membuat kita kehilangan adab.
والله تعالى أعلم وأحكم
[]