Kesabaran dalam Menuntut Ilmu
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Satu perkara yang banyak tidak dimiliki oleh para penuntut ilmu ketika menuntut ilmu pada masa sekarang adalah kesabaran.
Yang mana ketika mereka melihat sebuah ilmu itu susah banyak dari mereka yang langsung mundur alon-alon karena merasa bahwa diri mereka tidak mampu untuk memahami ilmu tersebut.
Padahal kurang paham atau kesulitan ketika pertama kali bersentuhan dengan ilmu baru adalah sesuatu yang normal dan akan menjadi mudah serta terbiasa seiring dengan waktu, perlu dihadapi penuh dengan kesabaran.
Di antara contoh ketidaksabaran dalam menuntut ilmu adalah ketika seseorang sudah mengkhatamkan sebuah kitab maka dia tidak mau mengulanginya lagi dengan dalil “saya sudah khatam.”
Padahal banyak orang khatam kitab tapi masih belum paham kitab secara sempurna karena pemahaman itu sendiri Maqulun A’la Tasyakuk atau berlevel-level.
Begitu pula tidak ada talazum antara khatam dan paham, bahwa orang yang khatam tidak selalu paham.
Makna inilah yang dipahami oleh banyak ulama sampai sebagian dari pada ulama digelari sebagai “Minhaji.”
Karena terlalu sering menghatamkan Minhaj Tholibin karangan Imam Nawawi, begitu pula guru saya Syekh Muhammad bin Ali al-Khotib Mufti Tarem dulu ketika beliau belajar beliau tidak naik dari kitab Safinatun Najah kecuali sudah menghatamkannya sebanyak sepuluh kali.
Maka semua masail kitab tersebut sudah akan mendarah daging pada jiwanya dan akan membuat kitab-kitab yang di atasnya jauh lebih mudah.
Saya sendri secara pribadi tidak membaca kitab Syarah Nasafiyah dengan Syekh Saeed Foda kecuali sudah menghatamkan kitab Iqtishod fil ‘itiqod karangan al-Imam al-Ghozali yang dijadikan kitab Muqorror sebelum Syarah Nasafiyah di madrasah Syekh Saeed Fodah sebanyak lebih dari tiga kali.
Hal-Hal semacam ini saya kira mesti di biasakan lagi antara para penuntut ilmu agar kepahaman para pelajar didalam islam kembali kuat seperti pada zaman dahulu. Wallahu A’lam. []