Kertas Daluang, Media Tulis Santri di Masa Silam
HIDAYATUNA.COM – Ada banyak naskah yang tersebar di negeri ini. Naskah-naskah tersebut terbilang awet, kendati kertas yang menjadi alas aksara sudah kusam atau sobek karena udara lembab yang kurang memadai.
Barangkali kertas yang jadi media aksara di naskah itu nanti, juga masih bisa terbaca oleh generasi yang datang kemudian. Utamanya yang menaruh minat pada kajian naskah-naskah lama.
Agus Permana pernah mengamat-neliti jenis kertas yang digunakan sebagai media tulis tempo dulu. Kertas yang jadi pengabar ilmu pengetahuan, kondisi di masa silam, sampai pada catatan-catatan dari peristiwa penting yang dapat dijadikan rujukan di masa sekarang.
Hasilnya, ia menemukan beberapa kertas yang digunakan di masa lalu adalah jenis daluang. Daluang sendiri merupakan kertas yang terbuat dari kulit pohon saeh.
Di beberapa tempat, pohon saeh ini memiliki beberapa nama seperti pohon glugu, endong, mendongan, perjalinan (Jawa), rumput kerucut (Sumatera Barat), dan dhalubang (Madura). Pohon ini dapat mencapai ketinggian 35 meter dengan diameter batang pohon antara 10-15 meter. Pohon saeh yang dapat diproduksi menjadi kertas berusia antara 2-3 tahun.
***
Dalam artikel Daluang Sebagai Alat Tulis Dalam Proses Penyebaran Islam di Nusantara (2017), ada dua catatan menarik. Dua catatan ini menjadi indikasi bahwa, ajaran Islam itu terdistribusi dengan melibatkan budaya-budaya yang ada sebelumnya.
Pertama, pohon saeh yang menjadi cikal dari daluang bukan pohon asli dari hutan di Indonesia. Pohon itu berasal dari Cina. Barangkali ekspansi Cina ke berbagai daerah, termasuk datangnya orang-orang Cina ke nusantara tempo dulu, jadi salah satu faktor adanya pohon saeh ini.
Kedua, pada mulanya daluang diproduksi menjadi kain sebagai dasar untuk membuat pakaian, khususnya bagi para pendeta Hindu. Dari sini, daluang dinilai sebagai bahan dasar yang sakral karena yang memakai pakaian berbahan dasar daluang adalah mereka yang memiliki strata sosial tinggi.
Peralihan daluang dari kain ke kertas ditengarahi oleh sulitnya kalangan pesantren untuk mengakses kertas yang datang dari Eropa. Sikap oposisi yang ditunjukkan oleh pesantren membuat kolonial membatasi ruang geraknya, termasuk gerak distribusi pengetahuan.
Dari situ, daluang oleh kalangan pesantren utamanya, diproses-produksi menjadi kertas yang digunakan sebagai media pengabar pengetahuan. Maka lumrah ketika hari ini, banyak naskah-naskah lama milik pesantren yang memuat ajaran keislaman ditulis di daluang.
Meskipun dari sketsa historisnya, pohon saeh yang jadi bakal kertas daluang malah didapati dari peradaban di daerah luar kemunculan ajaran Islam.
***
Beberapa naskah yang ditulis menggunakan daluang tersimpan di beberapa museum. Di Museum Situs Cangkuang, 15 naskah dari 16 naskah berbahan kertas daluang memuat ajaran keislaman.
Ajaran yang terdiri dari naskah Alquran, teks khutbah berbahasa Arab, 5 naskah tauhid, 3 naskah fikih, 3 naskah nahwu sharaf, dan dua naskah berisi doa-doa. Kemudian di Museum Geusan Ulun hanya didapati 4 naskah berbahan daluang dari 38 koleksi naskah.
Ketiga naskah adalah naskah Alquran, sedangkan yang satu naskah berisi tentang jampi-jampi. Sementara koleksi naskah di Museum Sri Baduga dengan kertas daluang, memiliki muatan yang lebih variatif.
Di antaranya ada naskah kisah Kanjeng Nabi Muhammad dengan bahasa Jawa kuna beraksara pegon. Dua naskah yang memuat ajaran tasawuf, dua buah naskah fikih, tiga buah naskah zikir, dan satu buah naskah Tafsir Jalalain.
Tafsir yang diperkirakan disalin pada abad 18 M dengan terjemahan beraksara pegon berbahasa Sunda. Saya rasa kertas daluang juga banyak ditemukan di daerah-daerah lain. Kertas yang jadi penghantar dan indikasi keislaman berwajah ramah pada budaya lama.