Kepemimpinan dalam Islam

 Kepemimpinan dalam Islam

Dalam kepemimpinan di dalam Islam, kepemimpinan Rasulullah SAW setidaknya bisa dijadikan rujukan dalam memimpin.

Khuthbah Pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

إِنّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا و مِنْ َسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْرًا.. أَمّا بَعْدُ.

فَيَا عِبَادَ اللهِ. اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِى بِتَقْوَ ى اللهِ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَ لاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَ اَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ . فَقَالَ اللهُ تَعَالىَ فىِ الْقُرْآن ِالْكَرِ يْمِ: اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ، فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.

Jamaah jum’at yang dirahmati Allah

Pertama, pada Jum’at yang insyaallah berkah ini, khatib berwasiat kepada pribadi khatib sendiri dan juga kepada seluruh jama’ah untuk senantiasa meningkatkan kualitas taqwa kita kepada Allah SWT. Yakni dengan cara melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, dengan tujuan semata-mata mengharap Ridha Allah SWT.

Selanjutnya, dalam kesempatan khutbah kali ini akan disampaikan sebuah tema tentang kepemimpinan dalam Islam. Hal ini terkait dengan akan diselenggarakannya PILKADA di 101 daerah secara serentak pada 15 Februari 2017. Sebagai muslim, tentu kita berharap, seseorang yang akan memimpin kita nanti adalah sosok yang baik, amanah, adil, dan berpihak kepada umat Islam. Tujuannya adalah agar dalam kepemimpinannya dapat mewujudkan nilai-nilai Islam di tengah-tengah masyarakat.

Lantas bagaimana pandangan Islam tentang kepemimpinan?. Dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa istilah yang sepadan dengan makna pemimpin, diantaranya adalah: imam (QS. Al-Baqarah:124), ulil amri (QS. An-Nisa:59), wali (QS. Al-Mai’dah:55), khalifah (QS. Al-Baqarah:30), dan lainnya. Dari beberapa istilah yang bermakna pemimpin tersebut, yang sedang ramai dibicarakan saat ini adalah pemimpin yang diistilahkan dengan kata wali. Dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 51 Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ.

Artinya: “Wahai orang-orang beriman, janganlah engkau menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali, sesungguhnya sebagian mereka menjadi wali-wali bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim.

Ayat ini sedang ramai diperbincangkan. Ada yang berasumsi bahwa penafsiran kata ‘auliya (wali) dengan makna pemimpin adalah penafsiran yang salah, sehingga digunakan untuk melegitimasi bolehnya memilih pemimpin non muslim. Asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Sebab, sesuai keterangan Dr Miftah el-Banjari, dalam Mu’jam al-Wasith kata ‘aulia merupakan jamak dari kata wali. Salah satu makna wali adalah wali al-amr yang berarti pemimpin. Para mufasir sepakat bahwa kata ‘aulia bermakna pemimpin. Baik itu dalam Tafsir Jalalain, tafsir Baghawi, maupun tafsir kontemporer semisal Imam as-Sa’adi yang juga menafsirkan bahwa kata ‘aulia adalah mengangkat pemimpin dalam pengertian yang umum dan luas. Dan, mufasir pun menggunakan ayat-ayat yang mengandung makna wali sebagai landasan ketidakbolehan menguasakan urusan kepemimpinan (apalagi kalau mayoritas rakyat muslim) kepada non muslim. Contohnya adalah Ibnu Katsir.

Jama’ah jum’at yang dirahmati Allah

Dalam penjelasannya, Ibnu Katsir dalam kitabnya tafsir Ibnu Katsir menukil riwayat tentang Umar bin Khattab r.a: “Suatu hari Umar bin Khathab r.a memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari r.a untuk segera menunjuk pemimpin kepercayaan untuk pencatat pengeluaran dan pemasukan pemerintah Islam di Syam”. Abu Musa lalu menunjuk seorang yang beragama Nasrani dan Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin Khathab r.a. pun kagum dengan hasil pekerjaannya.

Lalu Umar berkata: ‘Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk rapat melaporkan laporan di depan kami?’.

Abu Musa menjawab: ‘Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram (Mekkah dan Madinah)’.

Umar bertanya: ‘Kenapa? Apa karena ia junub?’.  

Abu Musa menjawab: ‘Bukan, karena ia seorang Nasrani’.

Umar pun langsung marah, menegur keras Abu Musa dan memukul pahanya dan berkata: ‘Pecat dia! cari dan angkat seorang muslim”. (maksud Umar; ‘apa tidak ada muslim lain yang lebih baik, pasti Allah SWT telah menyediakan banyak calon pemimpin muslim yang lebih baik untuk umat’, cari sampai ketemu). Jadi, jelas sekali bahwa ayat ini melarang kita (muslim) menjadikan non muslim sebagai pemimpin atau orang yang memegang posisi-posisi strategis yang bersangkutan dengan kepentingan muslimin.

Dari riwayat Umar bin Khattab r.a. tentang ketegasannya menolak pemimpin muslim, apakah ada yang mau bilang Umar bodoh? atau Umar membodohi umat Islam?. Sungguh Ironi memang, ternyata masih ada upaya justifikasi yang menyatakan bahwa pada masa daulah Islamiyah Utsmaniyah Turki pernah diangkat seorang gubernur kristen. Argumentasi ini seolah menjadi pembenaran atas dibolehkannya mengangkat pemimpin non muslim di tengah mayoritas muslim. Padahal jika dikaji, latar belakang pengangkatannya adalah untuk memimpin wilayah non muslim. Karena itu kita harus cermat memfilter upaya-upaya pemaksaan pembenaran agama.

Jama’ah jum’at yang dirahmati Allah

Masih ada beberapa ayat dalam Al-Quran yang menegaskan larangan memilih non muslim (kafir) sebagai pemimpin bagi muslimin yang juga menggunakan pilihan kata “wali” sebagaimana Al Maidah:51. Diantaranya adalah: Al-Maidah:80-81, Al-Mumtahanah:1, Ali Imron: 8, An-Nisa:44, Al-Ma’idah:57, At-Taubah:23, dan sebagainya. Maka jelas bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan memilih pemimpin non Muslim.

Ketidakbolehan memilih non muslim sebagai pemimpin ini juga didukung oleh MUI. Pada Munas IX MUI di Surabaya tanggal 24-27 Agustus 2015, MUI mengeluarkan 15 rekomendasi, diantaranya fatwa tentang wajibnya umat Islam memilih Presiden dan Wakil Presiden dan Kepala Daerah yang Muslim. Begitu juga dengan hasil Muktamar NU ke-30 di Lirboyo-Kediri pada 21-27 November 1999, yang menyatakan orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non-Islam, kecuali jika memang tidak ada orang Islam yang mampu memimpin dan selama tokoh non muslim dianggap tidak jadi ancaman bagi umat Islam. Nah, halini masih belum relevan diterapkan di daerah-daerah mayoritas Islam. Bahkan berdasarkan hasil Bahtsul Masa’il PCNU Surabaya pada bulan September 2016 di Surabaya, PCNU Surabaya menyatakan haram hukumnya memilih pemimpin non muslim, dan menjadi tim suksesnya pun juga haram. Begitu juga Muhammadiyah yang menganjurkan lebih baik tidak memilih pemimpin non muslim.

 Maka menjadi heran di zaman modern ini ada yang mengatakan bahwa Al-Qur’an  telah membohongi umat Islam. Pernyataan seperti itu sama dengan pernyataan orang kafir Quraisy masa awal Islam. Saat itu untuk menghalangi dakwah Islamiyah mereka (kafir Quraisy) melakukan propaganda agar orang-orang tidak percaya dengan Nabi Muhammad SAW yang membawa risalah Al-Qur’an. Pernyataan kafir Quraisy ini telah diabadikan Allah SWT dalam surat Al-Furqon ayat 4:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلا إِفْكٌ افْتَرَاهُ وَأَعَانَهُ عَلَيْهِ قَوْمٌ آخَرُونَ فَقَدْ جَاءُوا ظُلْمًا وَزُورًا.

Artinya: Dan orang-orang kafir berkata, “(Al Quran) ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh dia (Muhammad), dibantu oleh orang-orang lain.” Sungguh, mereka telah berbuat zalim dan dusta yang besar.

          Jadi, kalau sekarang ada yang mengatakan bahwa kita (muslim) dibodohi Al-Qur’an berarti dia termasuk golongan yang disebutkan Allah dalam surat Al-furqon tadi. Fenomena tersebut masih wajar karena mereka bukan golongan kita. Mereka adalah orang-orang yang tidak pantas kita jadikan pemimpin karena hanya akan menjadikan Islam sebagai bahan ejekan dan permainan mereka, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Ma’idah ayat 57-58:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِّنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ وَٱلْكُفَّارَ أَوْلِيَآءَ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ. وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ ٱتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُونَ.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang kafir (orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang beriman. Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (melaksanakan) salat, mereka (kafir) menjadikannya bahan ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka orang-orang yang tidak mengerti. 

Yang lebih mengherankan adalah ketika yang mengaku “muslim” dan mengaku beriman kepada Al-Qur’an kemudian malah mendukungnya. Mereka (muslim yang mendukung kafir) ini diistilahkan sebagai orang-orang munafiq, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Ma’idah ayat 52:

فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ..

Artinya: “Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana…”

          Selain orang yang mendukung kafir oleh Allah SWT disebut orang munafiq karena ada penyakit dalam hatinya, Nabi Muhammad SAW juga menyebut mereka punya penyakit “wahn”. Yaitu cinta dunia dan takut mati. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring”. Kemudian seseorang bertanya,”Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata,”Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’. Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah berkata,”Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Al-Baihaqi).

Ayyuhal Muslimun

Maka dari itu dalam memilih pemimpin, selain muslim (karena kita mayoritas muslim) seharusnya juga melihat kriteria-kriteria berikut: Pertama, seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat Siddiq (jujur). Menunjukkan sosok yang layak ditunjuk sebagai calon pemimpin, karena telah melewati beraneka macam tantangan dan rintangan, bahkan menunjukkan sikap pengorbanan serta dedikasi yang tinggi terhadap profesinya. Ia harus berani memperjuangkan kebenaran dan tidak gentar terhadap berbagai tekanan.

Kedua, seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat Amanah (dapat dipercaya). Karena kepemimpinan adalah amanah dan pengabdian, bukan untuk mencari ketenaran serta menumpuk kekayaan. Untuk itu pemimpin haruslah sosok yang kuat dan tidak khianat, dan berani berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Allah SWT berfirman:

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ    

Artinya: “sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al Qashash: 26)

Ketiga, seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat tabligh (loyal) terhadap rakyatnya. Pemimpin harus lebih mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi. Pemimpin harus lebih mementingkan program-program pro-rakyat. Karena kepemimpinannya kelak akan dipertanggungjawabkan baik kepada yang dipimpinnya maupun kepada Allah SWT di akhirat, mengingat kepemimpinan dalam Islam tidaklah sekedar kontrak sosial melainkan amanat dari Allah SWT.

Keempat, seorang pemimpin juga harus memiliki kecerdasan akal (Fathanah), kekuatan berfikir, ahli strategi dan mimiliki kemampuan diplomasi politik yang bagus. Karena kebijakan yang baik tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak didukung dengan kemampuan strategi dan dimplomasi yang baik agar kebijakan yang dibuatnya bisa terlaksana dengan baik. Allah SWT berfirman:

 قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ..

Artinya: Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan” (QS. Yusuf: 55)

Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah

Kepemimpinan adalah sarana menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu untuk mencapai kualitas kepemimpinan yang tinggi maka contohlah Nabi Muhammad SAW.Rasul SAW telah meletakkan kepentingan umat Islam mengatasi segala kepentingan diri dan keluarga. Sifat-sifat kepemimpinan yang dihayati dan ditonjolkan beliau telah menjadi rujukan para pengikut beliau di sepanjang zaman dan setiap generasi.

Rasulullah SAW mencontohkan model kepemimpinan yang pengaruhnya tidak lapuk dimakan zaman dengan beberapa kriteria berikut: Pertama, Memulai dari diri sendiri (ibda’ binafsik). Sebelum memimpin orang lain, Rasulullah SAW selalu mengawali dengan memimpin diri sendiri. Beliau pimpin matanya sehingga tidak melihat apa pun yang akan membusukkan hatinya. Rasulullah SAW memimpin tutur katanya sehingga tidak pernah berbicara kecuali kata-kata benar, indah, dan penuh akan makna. Rasulullah SAW pun memimpin nafsunya, keinginannya, dan memimpin keluarganya dengan cara terbaik sehingga Beliau mampu memimpin umat dengan cara dan hasil yang terbaik pula.

Kedua, keteladanan. Rasulullah SAW memperlihatkan kepemimpinannya tidak dengan banyak menyuruh atau melarang. Beliau memimpin dengan suri teladan yang baik. Pantaslah kalau keteladannya diabadikan dalam AlQuran surat Al-Ahzab ayat 21:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا.

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Q.S. Al-Ahzab: 21).

Dalam kehidupannya, Rasulullah SAW senantiasa melakukan terlebih dahulu apa yang ia perintahkan kepada orang lain (dakwah bil hal). Keteladanan ini sangat penting karena sehebat apa pun yang kita katakan tidak akan berharga kecuali kalau perbuatan kita seimbang dengan kata-kata.

Ketiga, dengan hati. Kepemimpinan Rasulullah SAW tidak hanya menggunakan akal dan fisik, tetapi Beliau memimpin dengan qalbu-nya. Rasulullah SAW menabur cinta kasih kepada sahabatnya sehingga setiap orang bisa merasakan kasih sayangnya, tutur katanya yang rahmatan lil alaamiin, dan perilakunya yang amat menawan. Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kalian ialah yang kalian mencintainya dan dia mencintai kalian. Dia mendoakan kebaikan kalian dan kalian mendoakannya kebaikan. Sejelek-jelek pemimpin kalian ialah yang kalian membencinya dan ia membenci kalian. Kalian mengutuknya dan ia mengutuk kalian.”

Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah

Akhirnya, khatib mengajak kepada kita semua untuk menjadikan akhlak mulia dan keteladanan serta tanggungjawab dalam setiap kepemimpinan kita dimanapun kita berada, apakah di rumah, kantor, kampus atau sekolah, maupun dalam pergaulan di tengah masyarakat. Karena pada hakikatnya kita semua adalah pemimpin. Sabda Nabi Muhammad SAW:

كُلُّكُمْ رَاعٍ. وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ..

Artinya: “Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin.” (HR. Bukhari)

Dengan tanggung jawab kepemimpinan di berbagai situasi dan kondisi berarti kita telah ikut berperan membangun keluarga, masyarakat dan bangsa. Dengan kita menjaga nilai-nilai kepemimpinan yang baik dan profesional tersebut berarti kita sebagai umat Islam telah ikut ambil bagian dalam membangun umat dan bangsa yang positif, bermartabat, dan berkemajuan.

أعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطنِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلْ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ. فَاسْتَغْفِرُوْا اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

 
Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ ذِيْ العَرْشِ المَجِيْدِ، الفَعَّالُ لِمَا يُرِيْدُ، أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ نَاشِرُ أَعْلَامِ التَوْحِيْدِ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ. أَمَّا بَعْدُ

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ.  كَمَا صَلَّيْتَ وَبَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ .رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ .اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِيْ أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْ مَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَّ أَمْرِنَا لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِيْ رِضَاكَ، وَارْزُقْهُ الْبِطَانَةَ الصَّالِحَةَ النَاصِحَةَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ .وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّناَ مُـحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *