Kepedulian Imam al-Ghozali terhadap Politik 

 Kepedulian Imam al-Ghozali terhadap Politik 

Tingkatan Orang Berpuasa Menurut Imam Ghazali: Berpuasa Secara Lahiriyah dan Bathiniyah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Membicarakan Imam al-Ghozali, ingatan kita akan segera tertuju pada ahli tasawuf atau pada magnum opusnya yang fenomenal Ikhya’ Ulumuddin. Ia memiliki gelar yang disematkan padanya yakni Hujjatul Islamkarena kealimannya dan ketajaman dalam membela Islam.  

Upaya pembelaan yang beliau lakukan adalah terhadap beberapa ajaran yang dibawakan oleh kaum batiniyyah. Di antara dari pandangan batiniyyah yang diserang dengan gencar olehnya adalah ajaran akidah mereka, yanga salah satu ajarannya menyatakan bahwasanya imam bersifat maksum (terpelihara dari berbuat dosa).

Dengan begitu gencar pandangan ajaran akidah ini diserang olehnya. Lebih jauh lagi Imam Al-Ghozali menunjukkan kesesatan terhadap pandangan ini yang ia tuangkan dalam karyanya Fadaa’ih al-Batiniyyah (kesesatan-kesesatan kaum batiniah) 

Tak hanya serangan pada ajaran yang dibawakan kaum batiniyyah, Imam Al-Ghozali juga memberikan kritikannya pada pandangan-pandangan yang disampaikan kaum filsuf (cendekiawan muslim). Para cendekiawan muslim yang pada saat itu begitu terkagum-kagum pada filsafat yunani dengan kemudian mentransfernya kedalam peradaban Islam saat itu dipandangya telah menggoncang keimanan.

Kritik Filsafat

Para cendekiawan muslim yang begitu kagum terhadap filsafat, dipandang al-Ghazali telah berlebihan, bahkan telah sampai pada tingkat keingkaran atau kekufuran. Kritiknya yang begitu keras terhadap kaum filosof ia tuangkan dalam karyanya Tahafut al- Falasifah (kerancuan pemikiran para filsuf)  

Namun selain ia mengkritik habis-habissan secara keras pemikiran para kaum filsuf, ia juga menuliskan tentang pemikiran para filsuf dalam karyanya Makhoshid al Falasifah (tujuan pemikiran para filsuf). Sebelum menuliskan karyanya yang satu ini Imam Al-Ghozali telah terlebih dahulu mempelajari filsafat secara seksama, hingga menghabiskan waktu dua tahun.

Dengan karyanya ini ada beberapa yang menyatakan bahwa Imam Al-Ghozali benar-benar menguasai argumentasi yang dilontarkan oleh para filsuf. Dengan karyanya ini semakin menguatkan gelar Hujjatul Islam yang disematkan padanya.

Seperti yang pernah dikatakan olehnya bahwa menolak sebuah madzab sebelum memahaminya dan menelannya secara seksama dan sedalam-dalamnya berarti menolak dalam kebutaan. Selain karyanya yang telah disebutkan diatas Imam Al-Ghozali masih mempunyai segudang karya lain yang meliputi berbagai keilmuan diantaranya Teologi Islam, Hukum Islam, Tasawuf, Tafsir, Akhlaq, dan Adab Kesopanan.

Bahkan ia juga memberikan perhatian terhadap permasalahan politik pula karena baginya seorang ulama atau ilmuwan semestinya melakukan reformasi konstruktif untuk kebaikan politik di negara. Mereka tidak boleh diam karena ini juga merupakan bentuk Amar Ma’ruf Nahi Munkar. 

Nasihat Politik Imam al-Ghozali 

Meskipun keberadaan Imam Al-Ghozali yang jauh dari kehidupan Ibu Kota Bagdad dan menuliskan banyak hal tentang tasawuf, ia juga tetap memberikan perhatiannya pada kehidupan perpolitikan di negaranya yang berada di ibu kota bagdad. Dengan semangatnya, ia tetap memberikan nasihat terhadap berjalannya kekuasaan. Agar para pemegang kekuasaan tetap pada jalan kekuasaannya.  

Ia memberikan nasihat agar para penguasa tidak mudah terpengaruh oleh berbagai akidah-akidah sesat yang saat itu berkembang di zamannya yang ia tuangkan dalam karyanya fada’ih al-batinniyyah. Nasihat-nasihatnya tentang politik pada zaman itu juga ia tuangkan dalam kitab Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk.

Dalam karyanya ini menasihatkan bahwa khalifah (pemimpin) adalah pelindung terhadap pelaksanaan syariat dalam suatu negara, hukum ilahi menjadi tanggung jawab seorang penguasa. Ia menasihatkan bahwa seorang pemimpin haruslah tau hakikat kepemimpinannya serta bahaya-bahaya apa yang akan ditimbulkannya jika seorang pemimpin tidak mengetahui kepemimpinannya. 

Kepemimpinan dalam pandangan ghozali adalah kenikmatan yang diberikan Tuhan, jika masih dijalankan untuk kemaslahatan umat. Maka jika seseorang yang diberikan kenikmatan dalam arti kekuasaan namun tidak mengetahui hakikat nikmat tersebut bahkan berbuat zalim dengan kekuasaannya, mengikuti hawa nafsunya. Maka pemimpin yang demikian adalah pemimpin yang menempatkan posisinya sebagai musuh tuhan. 

Iman Ghozzali juga mengingatkan Sultan tentang peringatan Rasullullah Saw bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan tiga perkara. Pertama, apabila rakyat meminta atau membutuhkan belas kasih, maka sang kholifah harus berbagi adil terhadap mereka.

Kedua, apabila menghukumi mereka maka berbuatlah adil. Ketiga, laksanakan apa yang telah kamu katakan, dalam arti tidak menyalahi janjinya. Ia menegaskan bahwasanya jika tiga hal tersebut ditinggalkan oleh khalifah (pemimpin) maka bahaya negara akan mengancam.  

Pandangan Politik Imam al-Ghozali 

Pandangan politik Imam ghozali antara negara dan agama tidak bisa dipisahkan. Baginya tidak ada sekularisasi ajaran agama karena antara agama dan negara seperti halnya saudara kembar.

Sebab di dalam agama sendiri juga tidak hanya mengatur persoalan kehidupan individual, melainkan juga kehidupan kolektif. Di mana di dalamnya mencakup tentang hubungan antar anggota masyarakat, administrasi pemerintahan, hak dan kewajiban kepada negara, sistem peradilan, hingga masalah sosial ekonomi.

Hal ini memberikan arti bahwa antara negara dan agama ada hubungan yang erat yang mampu menopang diantara keduanya. Dalam hal ini seorang ulama mempunya tanggung jawab pula terhadap kehidupan politik dalam suatu negara.  

Dalam magnum opusnya ihya’ulumuddin beliau menyampaikan bahwasanya “sesungguhnya kerusakan rakyat disebabkan kerusakan penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan para ulama’, dan kerusakan ulama disebabkan pada cinta harta dan kedudukan; dan barangsiapa dikuasai ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya, allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (ikhya” ulumuddin II hal 381)  

Perhatian al-Ghozzali kepada perpolitikan negara ia lakukan dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Tahapan usahanya adalah dengan melakukan peringatan, kemudian memberikan nasihat.

Ia memberikan perhatian yang besar pada factor perbaikan dan pembaharuan. Kepedulian ulama atau pun ilmuan terhadap politik negaranya adalah bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar.

Selain itu pemikiran politiknya berpandangan bahwa pemimpin negaranya dan pejabatnya mesti membina hubungan yang baik denga ulama atau ilmuan. Sebab dari mereka akan tercipta suatu tatanan yang baik, begitu juga sebaliknya ulama juga harus memberikan kontribusi dengan nasihat dan peringatan, terutama dalam hal akidah dan moral.

Umar Alix Nasuka

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *