Kencan Buta
“Hai. Aku Iqbal.” aku memperkenalkan diriku pada gadis cantik berambut hitam legam sebahu yang sedang duduk di hadapanku. Gaun cokelat gelap bermotif bunga-bunganya tampak kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Dia menengadah menatapku dan tersenyum, menampakkan kedua lesung pipit yang semakin menonjolkan fitur-fitur wajahnya yang nyaris simetris. Aku sudah sering menemui banyak wanita seperti dirinya. Tapi harus ku akui, ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Saat aku pertama kali melihatnya sedang duduk seorang diri di samping jendela dengan helai-helai rambutnya yang dibiarkan jatuh terurai di bahunya beberapa saat yang lalu, aku sudah tahu bahwa dia adalah gadis yang spesial. Bukan hanya wajahnya yang benar-benar menawan, tapi juga aura misterius yang mengelilinginya yang membuatku ingin mengenalnya lebih jauh lagi.
“Hai, Iqbal. Aku Firda.” suaranya terdengar terlalu dalam dan berat untuk usianya yang ku perkirakan masih sekitar dua puluh lima tahun. Kedua matanya tampak berbinar-binar saat dia menatapku dengan ekspresi aneh yang membuatku kesulitan untuk membaca apa yang sedang dipikirkan atau dirasakannya.
“Senang bertemu denganmu.” kataku sambil menjulurkan tangan untuk menjabat tangannya.
“Maaf. Aku tidak bisa berjabat tangan dengan pria yang belum terlalu ku kenal. Ini mungkin terdengar aneh. Tapi ibuku berasal dari desa kecil yang masih memegang adat dan tradisi dengan sangat kental dan wanita dan pria biasanya tidak saling bersentuhan kalau mereka tidak saling mengenal.” jelasnya, masih menatapku dengan ekspresi aneh di wajahnya, walaupun sebuah senyuman misterius masih tersungging di bibirnya yang merah dan penuh.
“Oh tidak apa-apa. Keluargaku juga punya banyak tradisi aneh. Jadi aku bisa mengerti.” ujarku sambil membalas senyumnya. “Ibuku berasal dari sebuah kota kecil di Jawa timur dan mereka mempercayai segudang mitos dan hal-hal tabu lainnya yang tidak boleh kami langgar waktu aku dan saudaraku masih kecil.”
“Benarkah? Seperti apa misalnya?” dia menyibakkan beberapa jumput rambutnya ke balik bahu dengan kegesitan dan keluwesan yang hanya bisa dilakukan oleh wanita anggun dan feminim seperti dirinya. Aku harus mengakui bahwa lehernya yang jenjang membuatku tak mampu mengalihkan pandangan dari setiap lekuk dan cekungan yang tampak menghiasi setiap sudut tubuhnya yang walaupun terlindung di balik gaunnya, tapi tak mampu menyembunyikan keindahan yang seolah-olah mengusik rasa ingin tahuku.
“Hmmm…” aku bergumam pelan sambil menerawang keluar jendela. “Dulu ibuku pernah bilang padaku, setiap kali kami pulang ke rumah sehabis bermain di luar, kami harus menengok ke belakang dan mengentakkan kaki kanan ke tanah keras-keras sebanyak tiga kali supaya kesialan tidak mengikuti kami dan masuk ke dalam rumah.”
“Oh ibuku juga seperti itu. Dia memaksa kami untuk membaca doa setiap kali kami akan masuk ke dalam rumah.” Dia melipat tangannya di depan dada dan melemparkan pandangan ke luar jendela, seolah-olah sedang mengingat-ingat masa kecilnya yang sudah lama berlalu. Cahaya buram dari luar yang menembus tirai jendela yang tipis menimpa wajahnya dan menimbulkan bayang-bayang halus di permukaan kulitnya yang halus dan sempurna. Dia tampak seperti sebuah lukisan dengan rambutnya yang gelap cemerlang dan postur tubuhnya yang tegap.
“Kebiasaan lama susah dihilangkan. Terkadang aku masih melakukannya kalau aku pulang ke apartemenku. Bukan karena aku mempercayainya sih, tapi lebih karena aku belakangan hanya merasa kangen saja pada ibuku. Dia meninggal beberapa tahun yang lalu.” kataku.
Dia menoleh dan menatapku lagi. “Aku turut berduka cita, Iqbal.”
“Terima Kasih.”
“Apa kau berasal dari kota ini?” tanyanya lagi, tiba-tiba kembali tampak ingin tahu. Dia mengatupkan kedua tangannya dan menempelkannya ke pipi sambil bertumpu pada sikunya di atas meja.
“Oh tidak. Aku hanya sedang berkunjung dan menyelesaikan beberapa urusan.” Aku meneguk segelas anggur di hadapanku dan menarik napas dalam-dalam. “Bagaimana denganmu Firda?” tanyaku. “Apa kau berasal dari sini?”
Dia mengangkat bahu dan mengetuk-ngetuk meja dengan pelan, seolah-olah merasa tidak nyaman mendengar pertanyaanku barusan.
“Lahir dan besar disini. Ayahku berasal dari utara. Dia dan ibuku bertemu karena ibuku berteman dengan eko, sepupu ayahku, yang menjodohkan mereka berdua.” dia mendengus pelan. “Tak ada adegan pertemuan super romantis dan konyol tak terduga seperti di film-film. Mereka bertemu dan langsung jatuh cinta. Sesederhana itu. Lalu kemudian memutuskan untuk segera menikah.”
“Hei! Jangan tertawa! Tapi aku suka menonton film-film komedi romantis.” protesku. Dia mengerutkan keningnya sambil menatapku selama beberapa saat sebelum tawanya meledak.
“Ya ampun. Kau tidak tampak seperti seseorang yang suka menonton film-film seperti itu.” dia terkekeh-kekeh geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat helai-helai rambutnya kembali berjatuhan dan berayunan bebas membingkai wajahnya.
“Memangnya kenapa?” tanyaku.
“Oh yang benar saja, Iqbal. Pria tinggi besar dan atletis sepertimu? Bukannya kau seharusnya suka pada film-film action yang penuh adegan tembak-tembakkan dan duel maut?”
“Hei memangnya kenapa kalau aku suka film-film romantis? Apa salahnya?”
“Tidak ada yang salah, sih. Hanya saja, kau tidak kelihatan seperti tipe pria yang suka pada sentimen berlebihan pada hal-hal yang berbau romantis.” dia kembali menggodaku.
“Memangnya kenapa kalau laki-laki menunjukkan emosinya? Tahu tidak aku menangis waktu menonton Finding Nemo.” lalu aku tertawa terbahak-bahak.
“Finding Nemo? Hmmm… Aku belum pernah dengar. Film tentang apa itu?” dia mengernyitkan keningnya.
“Oh yang benar saja? Kau tidak tahu film Finding Nemo sama sekali? Ikan Clownfish yang diculik dan terpisah dari ayahnya, Marlin? Film itu kan terkenal se –“ kata-kataku terputus saat aku menyadari sesuatu. “Oh lupakan saja kalau begitu. Maksudku adalah, jangan menilai sebuah buku dari sampulnya.”
“Nyatanya, belakangan ini, kita sering sudah bisa menebak isi sebuah buku hanya dari melihat judul dan sampulnya saja.” tiba-tiba ekspresinya sedikit berubah. Dia tersenyum kecut dan kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela, dimana cahaya matahari sore mulai menyelinap masuk, menimbulkan riak cahaya kemerahan di wajahnya.
“Jadi, Firda… apa ini pertama kalinya kau berkencan buta dengan seseorang melalui pihak ketiga?” tanyaku, berusaha mengalihkan pembicaraan dan suasana yang canggung.
“Oh, tidak juga. Aku sudah pernah bertemu dengan beberapa orang sebelumnya.” jawabnya cepat-cepat, ekspresi di wajahnya berubah.
“Apa yang terjadi? Apa yang salah dengan mereka?”
Dia mengangkat bahu dan tersenyum.
“Tidak ada, sih. Mereka…. lumayan, sebenarnya.”
“Lalu?”
“Lalu apa?”
“Kenapa kau ada di sini sekarang kalau memang mereka lumayan?”
Dia langsung tertawa tergelak sambil bertopang dagu, matanya tampak berbinar-binar seakan-akan aku baru saja menanyakan sesuatu yang teramat lucu.
“Iqbal, kencan buta itu sama saja dengan berjudi, kau mengerti? Kau tidak tahu seperti apa karakter orang yang akan kau temui. Apakah kau akan menyukai mereka atau tidak. Dan harus ku bilang, pria-pria yang ku temui itu, mereka… mereka sedikit bodoh.” dia mendengus, tapi rona wajahnya masih tampak geli.
“Oh ya? Bodoh seperti apa memangnya?”
“Bagaimana ya… Hmmm… mereka terlalu… mudah ditebak. Aku sudah bisa langsung membaca karakter mereka saat mereka mulai berbicara.”
“Apa kau bisa membacaku?”
Senyumannya langsung hilang mendengar pertanyaanku yang tidak diduga-duganya sama sekali.
“Kau susah dibaca, jujur saja.” dia mengernyitkan kening menatapku selama beberapa saat. “Kau sudah 3 kali menikah. 5 orang anak yang hak asuh mereka jatuh ke tangan ibu mereka. Kau membenci pekerjaanmu dan tidak ingin memulai hubungan yang terlalu serius untuk saat ini.” suara dan ekspresinya begitu serius, tapi aku bisa melihat dari sorot matanya kalau dia sedang mengerjaiku.
“Hmmm…” gumamku. “Kenapa sih aku harus sampai menikah 3 kali segala?”
“Apa tebakanku benar?” dia menatapku dengan bersemangat.
“Kau benar tentang pekerjaanku. Aku membencinya. Tapi aku harus melakukannya. Untuk menolong orang lain.”
“Jadi… kau masih sendirian?”
“Kalau aku sudah menikah tentu aku tidak akan ada disini sekarang bercakap-cakap denganmu, kan?”
“Kau kan seorang laki-laki. Kalian hanya mengucapkan apa yang kami para wanita ingin dengarkan dari kalian.”
“Apa maksudnya itu?”
“Kalian pandai bersandiwara di depan wanita.”
“Hei, sayang. Kau tidak boleh menyamaratakan seperti itu. Jangan tembak semua anjing yang kau temui hanya karena satu ekor dari mereka punya kutu.”
Dia langsung tertawa terbahak-bahak lagi mendengar kata-kataku. Aku juga ikut tertawa melihatnya. Dia begitu ekspresif dan tidak peduli apakah dia akan kelihatan mengerikan kalau tertawa dengan mulut terbuka lebar seperti itu.
“Ya, tapi kenyataannya memang seperti itu. Di zaman sekarang ini, jarang sekali ada laki-laki yang tulus dan menyukaimu karena kepribadianmu.”
“Tapi bukannya memang selalu seperti itu? Dari mata turun ke hati?” tanyaku.
“Oh omong kosong. Rasa suka tidak akan turun ke hati kalau gadis itu ternyata dungu seperti kambing.” protesnya.
“Ha ha ha.”
“Ya kenyataannya banyak perempuan yang sering pura-pura bersikap bodoh supaya para pria menyukai mereka. Kau tahu, kan? Masalah ego…” dia memberi tekanan pada kata ‘ego’. “Pria biasanya tidak suka kalau perempuan jauh lebih cerdas atau berhasil dari mereka.”
“Aku tidak masalah, kok.” kataku cepat-cepat.
“Ya itu kan katamu. Tapi aku yakin kau hanya mewakili satu persen dari populasi seluruh pria di bumi ini.” dia memutar-mutar bola mata. “Lagi pula, kenapa sih kami perempuan harus hidup menurut aturan-aturan yang dibuat masyarakat untuk kami? Kenapa kami tidak boleh lebih pintar dari kalian? Kenapa kami tidak boleh punya karir yang bagus? Kenapa kami tidak boleh punya gaji yang lebih tinggi dari kalian? Kenapa kami tidak boleh menikah saat kami memang ingin menikah, bukan karena usia kami sudah hampir tiga puluh atau semacamnya? Kenapa kalian para pria bisa berusia 30 tahun dan masih lajang dan tak ada orang yang mencibiri kalian dan mengatai kalian tidak laku? Kenapa para laki-laki bisa berselingkuh dan kami wanita diharapkan harus memaafkan kalian? Sedangkan kalau kami yang berselingkuh, maka kami adalah perempuan sundal yang harus dilempari batu sampai mati? Bukankah semua orang punya kecenderungan yang sama untuk berbuat salah lepas dari jenis kelamin mereka? Kenapa duda sering dianggap sebagai calon suami idaman karena mereka lebih dewasa dan berpengalaman? Sedangkan janda dianggap sebagai ancaman bagi rumah tangga orang lain?”
Aku terdiam mendengar semua pertanyaan-pertanyaannya. Wow. Gadis ini benar-benar luar biasa dalam mengutarakan pendapatnya secara lugas. Dia menatapku sambil memicingkan mata, seakan-akan aku adalah perwakilan dari para lelaki yang telah memperlakukannya secara tidak adil.
“Aku, mewakili sesamaku para lelaki, meminta maaf padamu kalau kami sudah memperlakukanmu dengan tidak baik.” ujarku pelan.
Dia mendelik menatapku selama beberapa saat, tapi kemudian dia menggelengkan kepala lagi dan tampak malu sendiri karena telah bersikap sedikit berlebihan.
“Oh ya ampun. Maafkan aku. Entah apa yang merasuki pikiranku malam ini.” dia tampak canggung.
“Tidak apa-apa, Firda.” aku meyakinkannya. “Aku lahir di dalam keluarga yang dimana peranan perempuan jauh lebih dominan dari pada laki-laki. Jadi aku mengerti apa maksudmu. Ibuku memiliki 7 orang saudara perempuan. Dan kakak laki-lakinya, pamanku, adalah orang brengsek yang selalu memukuli istri dan anaknya sendiri kalau dia sedang mabuk. Ayahku sendiri meninggal saat aku masih remaja, jadi ibukulah beserta saudari-saudarinya yang membesarkanku bersama adik-adikku. Jadi tak akan pernah terjadi yang namanya aku melecehkan perempuan. Karena aku sudah melihat sendiri kekuatan dan ketekunan ibuku dalam membesarkanku.”
Dia tersenyum. Mata kami bertemu dan kami beradu pandang selama beberapa saat.
“Kau dan saudara-saudaramu pasti adalah lelaki-lelaki yang luar biasa.” ujarnya tersipu-sipu.
“Ku harap begitu.”
“Karena selama ini aku masih belum bertemu dengan satu pun pria yang seperti kalian.”
“Aku tahu.” ujarku penuh simpati. “Apa sebegitu parahnya dia melukaimu, Firda?”
Dia kembali menatapku dengan tajam. Ada berbagai macam emosi yang tampak berkecamuk di wajahnya yang pucat.
“Apa maksudmu?” tanyanya, tampak curiga padaku.
“Pria itu. Siapa pun dia yang telah menyakitimu.”
“Kenapa kau bisa menyimpulkan bahwa ada seorang pria?” tuntutnya.
“Bukankah memang selalu ada seorang pria? Tak ada yang bisa membuat seorang wanita cantik seperti dirimu menampakkan ekspresi merana seperti tadi selain seorang pria.”
Dia membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu tapi selama beberapa saat dia tampak ragu dan akhirnya hanya menghela napas dengan letih dan menyandarkan tubuhnya ke kursi yang sedang didudukinya. Wajahnya sekarang tampak jauh lebih tua dan sedih. Seakan-akan sebuah kenangan akan cinta masa lalu yang teramat menyakitkan tiba-tiba datang menyerang benaknya lagi dan hanya dalam sekejap menenggelamkan gadis cantik penuh pesona yang tadi sedang duduk di hadapanku.
“Laki-laki itu memang semuanya brengsek, Firda. Makanya aku tidak mau berkencan dengan laki-laki.” ujarku pelan.
Dia tak kuasa untuk tidak tertawa mendengar leluconku. Walaupun ekspresi wajahnya masih tetap menyorotkan kepedihan dan kepahitan.
“Kau cowok yang lucu, Iqbal. Terima Kasih sudah membuatku tertawa. Ya ampun aku sudah lupa kapan aku terakhir kali tertawa mendengar sebuah lelucon.” dia mengusap kedua matanya yang tampak berkaca-kaca.
“Ini karena aku suka menonton film-film komedi romantis yang kau anggap hina itu,” sambarku. “Kau lihat? Jangan pernah menilai sebuah buku dari sampulnya!”
Dia tertawa lebih keras lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Sayangnya aku tidak beruntung. Pria yang ku kencani adalah orang yang sangat kasar. Dia selalu memukuli dan memperlakukanku seperti sampah.”
“Oh jadi benar kalau ada seorang pria disini?”
“Ya, benar. Namanya… uhm… namanya… oh entahlah. Aku sudah lupa. Kami bertemu beberapa tahun yang lalu melalui biro jodoh yang mempertemukan kami. Dia begitu sopan. Begitu ramah. Aku tidak kuasa menahan diri. Aku terlalu bodoh. Terlalu naif.” dia menundukkan kepala dan kedua bahunya bergetar pelan.
Aku menunggu dengan sabar. Dia sudah mulai membuka diri padaku dan aku tidak mau mengacaukan semuanya. Aku perlu tahu rahasia apa yang disimpannya selama ini yang membuatnya masih tidak mampu melupakan masa lalu.
“Dia lalu menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Dan sejak saat itu kami tak pernah terpisahkan lagi. Kami mulai berkencan selama beberapa saat dan tidak butuh waktu lama bagiku untuk memutuskan pindah ke apartemennya dan tinggal bersamanya.” dia menyeka air mata yang mulai menetes membasahi kedua pipinya. Ingin rasanya aku memeluk dan menghiburnya. Aku tidak sanggup melihat seorang wanita cantik seperti dirinya meneteskan air mata kesedihan seperti itu. Tapi aku tahu bahwa aku harus tetap bersabar dan menunggu sampai dia selesai.
“Kedua orang tuaku tidak menyetujui hubungan kami. Entah kenapa, mereka tidak menyukainya. Terutama ayahku. Perbedaan usia sebanyak sepuluh tahun di antara kami hanyalah satu dari sekian banyak hal yang membuatnya tidak menyukai dirinya. Lagi pula menurut ayahku, aku masih harus menyelesaikan kuliahku. Dan aku masih terlalu muda untuk memulai hubungan yang terlalu serius dengan pria mana pun juga. Dia hanya ingin melindungiku. Dia terlalu sayang padaku. Seharusnya aku mendengarkan kata-katanya.”
Firda tidak berusaha menahan emosinya lagi. Air matanya mengalir semakin deras dan dia mulai terisak-isak pelan sambil menyembunyikan wajah di balik kedua telapak tangannya. Aku membiarkannya tenggelam dalam kepahitannya sendiri selama beberapa saat. Aku tidak ingin mendesaknya dan membuatnya pergi. Aku sudah hampir berhasil mengorek informasi yang kuperlukan dari dirinya.
“Dan peringatan-peringatan dari ayahku ternyata benar. Dia bukanlah pria yang baik. Beberapa bulan setelah kami tinggal bersama, dia mulai merasa bosan padaku dan akhirnya aku membongkar kedoknya yang sebenarnya. Dia adalah pria hidung belang yang suka menggodai gadis-gadis muda dan lugu seperti diriku dan memaksa mereka untuk melakukan hal-hal tidak pantas.” Firda menarik napas dan menengadah menatapku. Ada ekspresi penuh kebencian di wajahnya sekarang.
“Suatu malam, sepulang dari pesta ulang tahun temanku, aku memergokinya sedang bermesraan dengan seorang gadis remaja di dalam kamar tidur kami. Aku langsung menyemprot mereka berdua dan menyeret gadis jalang itu keluar. Tapi bukannya meminta maaf padaku karena sudah menghancurkan hatiku. Dia malah menghardik dan memarahiku. Dia langsung memukuliku habis-habisan sampai seluruh tubuhku memar. Aku tidak percaya. Ku kira dia mencintaiku dengan sepenuh hatinya. Tapi aku salah besar.”
Seluruh tubuhnya bergetar karena emosi tak terbendung. Marah, bingung, kecewa dan hancur semua bercampur menjadi satu.
“Aku berlari pulang ke rumahku malam itu juga. Aku merasa sangat sedih dan bingung. Aku tahu aku telah mengecewakan kedua orang tua dan keluargaku. Aku tahu bahwa aku harus menanggung risiko akan pilihan yang telah ku ambil. Tapi aku tak tahu apa yang harus ku lakukan. Aku terus berlari dan berlari sampai aku tiba di rumah orang tuaku. Tapi seisi rumah itu tampak gelap dan kosong. Aku tidak melihat mereka sama sekali. Mereka sudah pergi, entah ke mana. Dan aku tidak tahu dimana mereka. Mereka telah meninggalkanku seorang diri karena aku sudah mengecewakan mereka.” dia terisak-isak lagi. Dia tampak begitu rapuh dan jauh lebih pucat sekarang setelah dia akhirnya meluapkan segala emosi yang telah di tahannya selama ini.
“Aku berusaha mencari mereka selama bertahun-tahun tapi aku tidak berhasil menemukan mereka. Dan aku sangat merindukan kedua orang tuaku dan adikku, bunga. Aku ingin tahu apa kabar mereka sekarang”
Aku menghela napas dan kemudian mengambil gelas kopiku dan meneguknya sampai habis. Langit di luar sudah tampak gelap dan ruangan ini hanya diterangi oleh cahaya kekuningan muram berpendar dari lilin-lilin pendek besar yang telah ku atur rapi di atas meja.
“Firda…” ucapku pelan, merasa kuatir aku akan membuatnya takut. Dia menatapku dengan air mata yang masih bercucuran membasahi kedua pipinya. “Aku tahu ini sangat berat bagimu. Tapi aku hanya berniat untuk menolongmu saja. Aku tidak punya maksud apa pun juga. Ku harap kau bisa mengerti tujuanku datang kesini hari ini untuk menemuimu.”
“Apa maksudmu?” tanyanya bingung, masih sesenggukan.
“Firda…” ujarku dengan berat. “Aku telah melacak keberadaan keluargamu selama berbulan-bulan dan berhasil menemukan informasi mengenai mereka. Mereka pindah ke kota lain di timur beberapa bulan setelah kau pindah ke rumah pria itu. Sayangnya, maafkan aku… kedua orang tuamu sudah meninggal dunia bertahun-tahun yang lalu. Semoga arwah mereka beristirahat dengan tenang.”
“Apa? Kau….kau serius?” bibirnya gemetar saat kata-kataku mulai meresap dalam kepalanya. “Ayah dan ibuku…mereka…. mereka…” dia lalu menundukkan tubuhnya dan mulai menangis terisak-isak selama beberapa saat sambil memanggil-manggil nama kedua orang tuanya yang telah tiada. Dia menangis dengan nyaring tak kuasa lagi menahan segala gejolak emosi yang sedari tadi telah menguasai dirinya. Cahaya dari lilin-lilin di hadapan kami mulai bergoyang seperti mau padam karena tertiup angin.
Aku membiarkannya melampiaskan segala kesedihannya. Aku tahu ini adalah kenyataan yang terlalu pedih untuk diberitahukan kepada dirinya. Tapi aku harus melakukannya. Dia perlu tahu. Dia harus tahu. Dia perlu dibebaskan dari berbagai macam pertanyaan yang selama ini telah mengusik keberadaannya dan membuatnya terjebak di dalam masa lalu.
Aku sudah sering melakukan hal seperti ini sebelumnya. Membebaskan seseorang
dari rantai masa lalu yang menjerat mereka dan melihat mereka melampiaskan
emosi mereka dengan cara mereka sendiri. Ada yang tampak tenang dan mampu
menguasai diri. Ada yang mengamuk dan bahkan melemparkan segala macam benda
yang berada dalam jangkauan tangan mereka dengan marah. Dan ada juga yang
menangis meraung-raung seperti Firda karena tidak mampu menerima kenyataan
sebenarnya yang dengan tanpa niat buruk ku sodorkan kepada mereka di saat
mereka tidak menduga-duganya sama sekali. Namun tak peduli apa pun reaksi
mereka, menjadi seseorang yang harus menyampaikan sebuah kabar buruk bukanlah
hal yang mudah untuk dilakukan. Walaupun aku sudah sering melakukannya. Ini
adalah bagian paling sulit dari pekerjaanku.
“Firda…” kataku lagi dengan lembut, saat tangisannya mulai mereda. Wajahnya masih tersembunyi di balik kedua tangannya. Tapi aku tidak menunggu lagi sampai dia kembali menatapku untuk mengatakan hal selanjutnya yang harus kusampaikan padanya. Dia menurunkan kedua tangannya dan menatapku dengan ekspresi merana dan sorot mata hancur.
“Sudah terlambat… sudah terlambat. Aku tidak sempat meminta maaf pada mereka. Dan sekarang mereka sudah tiada. Aku telah mengecewakan mereka semua.” isaknya.
“Kau jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, Firda. Kau mungkin membuat mereka kecewa. Tapi itu tidak berarti mereka telah berhenti mencintaimu juga. Setidaknya dengarkan dulu apa yang harus kau dengarkan sekarang.” kataku tenang. “Untuk mengakui kesalahanmu dan meminta maaf adalah hal yang sangat berani untuk dilakukan. Dan tak pernah ada yang namanya waktu yang tidak tepat atau terlambat untuk mengakui sebuah kesalahan.”
“Tapi aku sekarang tidak memiliki kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya dengan orang tuaku.” tukasnya.
“Tenanglah. Kuasai dirimu dan dengarkan aku.” aku berusaha menenangkannya. “Orang tuamu mungkin sudah meninggal, Firda. Tapi bukan berarti kau tidak bisa tahu apa yang mereka rasakan.
Firda tidak menjawab. Dia kembali menatap ke sampingku selama beberapa saat tampak bingung luar biasa.
“Apa maksudmu? Bagaimana kau bisa yakin apa yang dirasakan oleh orang tuaku? Memangnya kau pikir kau ini siapa?” ekspresi di wajahnya berubah menjadi dingin.
“Tenanglah, Firda… Aku tidak berniat jahat. Aku hanya ingin membantumu saja. Percayalah padaku.”
“Siapa kau??!” hardiknya lagi, membuat seluruh meja bergetar dan cahaya lilin berkerlap-kerlip, mengancam akan padam. Aku menghela napas dengan letih. Aku sudah menduga dia akan bereaksi keras seperti ini. Mereka selalu begitu.
“Aku… bagaimana caranya menjelaskan hal ini padamu supaya kau tidak menganggapku aneh. Oh baiklah. Aku adalah seorang medium. Paranormal. Cenayang. Atau apalah itu namanya. Tapi tidak! Aku bukan seperti penipu-penipu itu yang berpura-pura memiliki kemampuan khusus hanya untuk menipu orang-orang. Aku benar-benar bisa berkomunikasi dengan arwah-arwah penasaran.”
Ekspresi di wajah Firda membuatku yakin bahwa kata-kataku terdengar sangat tidak masuk akal baginya. Dia memelototiku selama beberapa saat, masih berusaha memastikan apakah aku sedang bercanda atau tidak.
“Kau menipuku ya? Kau berusaha memancingku untuk membuka diri padamu supaya aku merasa terkesan dan mau berkencan dengan pria aneh seperti dirimu???” hardiknya marah. “Jadi maksudmu kau mau bilang kalau kau sudah berkomunikasi dengan arwah kedua orang tuaku dan mereka bilang padamu kalau mereka sudah memaafkanku, begitu? Omong kosong apa ini?”
“Firda, tenanglah.” Aku berdiri dan mengangkat kedua tanganku, memberi kode padanya untuk duduk lagi. Tapi dia malah menatapku dengan sengit sambil memicingkan kedua matanya dengan dingin.
“Pergi. Keluar dari rumahku sekarang juga!” usirnya.
“Aku bisa membuktikannya padamu.”
“Membuktikan apa? Bahwa kau bisa berkomunikasi dengan orang-orang mati? ” cemoohnya.
“Firda… duduklah.” ucapku pelan. Dia menyeka air matanya dan menatapku tanpa suara selama beberapa saat. Tapi kemudian dia menarik kursinya dan dengan ragu kembali mengambil posisi duduk tepat di hadapanku. “Sudah kukatakan padamu, aku datang kesini malam ini untuk menolongmu. Aku ingin menolongmu.”
“Aku tidak mengerti maksudmu. Menolongku?” Firda kembali memandang sekeliling seolah-olah sedang menantikan seseorang masuk tiba-tiba ke dalam ruangan ini dan bergabung dengan kami.
“Kau hanya melihat apa yang ingin kau lihat. Aku bisa mengerti. Makanya aku akan membantu.”
Firda menatap ke samping kiri dan kanannya dengan bingung. Dan aku memutuskan sudah waktunya bagiku untuk mengungkapkan fakta sebenarnya pada dirinya.
“Apa kau ingat dengan rahman?” tanyaku pelan, takut dia akan mengamuk lagi dan mengusirku.
“Siapa?” timpalnya dengan galak. Helai-helai rambutnya berjatuhan menutupi wajahnya, tapi dia tidak repot-repot lagi merapikannya.
“abdur rahman. Orang-orang memanggilnya rahman.”
“Aku… aku tidak kenal. Memangnya siapa dia?”
“Tentu saja kau mengenalnya. Paling tidak, dulu kau mengenalnya.”
“Bagaimana mungkin aku bisa mengenal seseorang dan tidak mengingatnya sama sekali?”
“Seperti yang ku bilang sebelumnya. Kau hanya
melihat apa yang ingin kau lihat saja.” ujarku dengan kesabaran seseorang yang
sedang berusaha menenangkan seorang anak kecil yang sedang mengamuk. Aku
terdiam selama beberapa saat dan hanya menatap wajahnya saja yang masih tampak
sengit dan seolah-olah ingin melayangkan tangan untuk menamparku. Tapi karena
dia tidak berbicara apa-apa lagi, aku memutuskan untuk melanjutkan kata-kataku.
“Abdur rahman. Kalian bertemu di biro jodoh. Pria yang kau ceritakan tadi, yang
tidak bisa kau ingat namanya? Yang selalu memukulimu…ya… dia adalah rahman.
Kalian ber –“
“Tapi bagaimana mungkin….”
“Tolong dengarkan aku dulu. Aku belum selesai.” kataku. Dia tidak menjawab tapi masih tampak marah dan bingung.
“Suatu malam setelah kau bertengkar hebat dengan Rahman karena kau memergokinya
sedang bermesraan dengan perempuan lain di kamar tidur kalian, kau pulang ke
rumah orang tuamu dan mendapati rumah itu sudah kosong dan gelap.” aku berhenti
selama beberapa saat, karena dia masih tampak seakan-akan dia ingin
menginterupsiku kapan saja. Tapi dia tidak berkata apa-apa lagi.
“Kau berpikir bahwa mereka sudah pergi dan meninggalkanmu seorang diri. Pertengkaran besar yang terjadi antara kau dan ayahmu telah membuat ayahmu marah dan sangat kecewa padamu. Kau mungkin masih ingat kata-katanya hari itu padamu.”
“Ayahku bilang, kalau aku tidak memutuskan hubunganku dengannya, maka dia tidak akan pernah menganggapku anaknya lagi. Dia akan menganggapku sudah mati.” isak Firda.
“Kau tahu bahwa Rahman adalah pria yang kasar
dan suka memukulimu. Tapi cintamu padanya telah membutakan matamu sendiri. Kau
selalu mencari alasan dan pembenaran untuk setiap perlakuannya yang tidak
pantas padamu. Kau selalu menyalahkan dirimu sendiri. Dan bukannya melihat Rahman
sebagai pria brengsek yang tidak bertanggung jawab, kau malah menyalahkan
dirimu sendiri. Kau merasa bahwa ada yang salah pada dirimu sehingga kau
berusaha untuk menjadi lebih baik supaya Rahman tidak terus-terusan memarahimu.
Kau membela pria kurang ajar yang sama sekali tidak pernah memperlakukan dirimu
dengan baik dan malah mempertanyakan kekuranganmu sendiri. Benar begitu?”
tanyaku pelan.
Firda tidak menjawab. Tapi dari sorot matanya aku tahu bahwa kata-kataku tidak
sepenuhnya menyimpang dari fakta sebenarnya.
“Kau pernah dengar istilah Stockholm Syndrome, Firda? Itu adalah gangguan kejiwaan yang menjelaskan sebuah keadaan mental seseorang yang malah menjadi dekat dan erat secara emosi kepada orang yang memperlakukan mereka dengan buruk. Kau pernah dengar tentang kasus penculikan yang terjadi pada seorang wanita yang malah jatuh cinta dan membela pria yang telah menculiknya? Itulah yang terjadi padamu. Rahman mungkin tidak menculikmu. Kau sendiri yang datang padanya dengan suka rela. Tapi kau juga tetap bertahan dan mencintainya bahkan saat dia terus-terusan menghajarmu habis-habisan. Di matamu, dia adalah pria yang paling sempurna. Dan kau merasa pantas untuk dihukum karena tidak bisa menjadi seperti apa yang diharapkannya darimu.”
Keheningan berat menggantung di udara saat aku berhenti sejenak. Tapi aku masih belum selesai. Firda masih harus mengetahui seluruh kenyataan sebenarnya dengan utuh supaya aku bisa menolongnya.
“Keluargamu tidak pernah pindah dari rumah itu, Firda. Mereka masih tetap tinggal di sana sampai ibumu meninggal beberapa tahun yang lalu. Ayahmu sendiri meninggal enam tahun setelah kau pindah ke rumah Rahman. “ jelasku, kembali menuangkan kopi ke dalam gelasku yang kosong. Suhu udara dingin di dalam ruangan itu membuat embun keluar dari hidung dan mulutku setiap kali aku menghembuskan napas atau berbicara.
“Apa? Bagaimana mungkin? Aku sudah sering ke sana tapi rumah itu selalu kosong dan gelap. Itu tidak masuk akal.”
“Kau hanya melihat apa yang ingin kau lihat, Firda. Sekarang adikmu yang menempati rumah itu seorang diri setelah suaminya meninggal dunia.”
“Adikku? Bunga? Menikah? Bagaimana mungkin? Dia masih berumur lima belas tahun. Omong kosong apa lagi ini?” semprotnya, menatapku dengan bingung. Jelas dia masih belum mengerti maksud dari kata-kataku.
“Kemarin aku mengunjungi rumah orang tuamu dan bertemu dengan Bunga. Dia menceritakan semuanya padaku.” ujarku, lalu terdiam selama beberapa saat supaya dia dapat memahami arah pembicaraanku.
“Firda, kau tidak pernah meninggalkan rumah Rahman malam itu setelah kau memergokinya bersama perempuan lain.” jelasku sambil menggelengkan kepala dengan sedih. “Sepertinya dalam kemarahannya yang membabi buta, dia telah bertindak terlalu jauh. Dia kehilangan kendali dan menghajarmu habis-habisan. Dia baru berhenti setelah menyadari tubuhmu telah terbaring kaku di lantai penuh bersimbah darah di bawahnya. Saat itu dia baru sadar apa yang telah dilakukannya. Tapi semua sudah terlambat. Dia membawa tubuhmu dan menguburkannya jauh di tengah hutan dimana dia berharap tak akan ada yang pernah menemukannya lagi.”
Firda menatapku tanpa suara. Wajah cantiknya yang sempurna telah berubah. Luka-luka lebam dan memar telah memenuhi seluruh tubuhnya. Dan ada noda-noda gelap di bagian depan gaun cokelatnya. Tetesan-tetesan darah mengalir deras di dahinya dan turun sampai ke lehernya yang jenjang. Wujud aslinya perlahan-lahan mulai terungkap. Ini adalah bagian tersulit dari pekerjaanku. Saat mereka mulai bertransformasi dan menampakkan wujud mereka yang sebenarnya. Dan bukan ilusi dari eksistensi mereka sebelum kematian tragis dan tiba-tiba datang menjemput dengan paksa.
“Rahman melarikan diri entah ke mana malam itu dan sampai sekarang polisi masih belum berhasil melacak keberadaannya. Tapi bukan urusanmu dengannya yang masih menahanmu disini. Tapi urusanmu dengan keluargamu. Selama bertahun-tahun kau masih terjebak di rumah ini. Di mana Rahman membunuhmu. Dan selama itu juga kau bergentayangan berusaha mencari pria yang telah merebut kebahagiaanmu. Tapi kau tidak akan pernah menemukannya disini. Dia sudah menghilang entah ke mana. Sekarang pergilah. Biarkan penghuni rumah ini hidup dengan tenang. Mereka tidak bersalah. Bukan mereka yang telah menyakitimu. Jangan hukum mereka atas sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan.”
Sosoknya tubuhnya mulai memudar, transparan, membuatku dapat melihat dinding kayu di belakangnya dengan jelas.
“Keluargamu tidak pernah pindah dari rumah itu. Lalu kenapa setiap kali kau datang ke sana kau selalu melihat rumah itu kosong dan gelap? Karena sebelum kau mati, hubunganmu dengan keluargamu telah renggang. Dan ini menciptakan sebuah dinding di antara kalian. Ayahmu sudah memaafkanmu, Firda. Dia tidak pernah bersungguh-sungguh mengatakan bahwa dia tidak akan menganggapmu anak lagi.” kataku. “Beristirahatlah dengan tenang. Mereka semua merindukanmu dan menyayangimu.”
Arwah Firda mulai menangis meraung-raung lagi, membuat seluruh meja bergetar dengan hebat.
“Beristirahatlah dengan tenang, sekarang. Keluargamu sudah memaafkanmu dan mereka menyayangimu. Berhentilah bergentayangan. Kau sudah menakut-nakuti orang-orang yang tinggal di rumah ini selama lebih dari 40 puluh tahun. Biarkan mereka hidup dengan tenang.”
“Dimana Bunga sekarang?” tuntutnya, dan suaranya terdengar seperti versi lain dari dirinya yang memilukan, terdistorsi dan bergema menyeramkan di seluruh ruangan.
“Adikmu baik-baik saja. Dia telah merindukanmu selama ini. Hidupnya bahagia. Dia sekarang adalah seorang wanita lanjut usia. Anak-anaknya menyayanginya dan mereka merawat ibu mereka dengan sangat baik.”
Dia langsung melolong menyedihkan, menyadari bahwa kehidupan terus berjalan setelah dia mati. Bahwa adik yang sangat disayanginya telah tumbuh dewasa dan melanjutkan kehidupan tanpa dirinya. Aku menatap sosoknya yang sekarang hanya berupa garis-garis buram transparan hampir tak berbentuk di kursi di hadapanku. Bagaimanapun juga dia pernah hidup. Dia pernah ada di bumi ini. Dan dia sama sekali tak pernah dilupakan. Keluarganya masih terus merindukan dirinya selama ini. Terutama Bunga yang begitu dekat dengan dirinya.
“Sudah tidak ada lagi yang menahanmu disini sekarang, Firda. Pergi dan beristirahatlah dengan tenang untuk selamanya…” aku memelankan suaraku, seperti sedang membujuk seorang anak kecil yang sedang sedih karena mainannya telah direbut dengan paksa darinya.
Arwah Firda menjerit nyaring memekakkan telinga, membuat seluruh ruangan bergetar dan tiba-tiba embusan angin kencang menyeruak masuk dan mendorong bingkai jendela sampai terbuka dan kacanya langsung pecah berhamburan di lantai saat menghantam dinding. Lilin-lilin langsung padam seketika itu juga, meninggalkan kegelapan pekat yang menyelubungi seluruh ruangan. Lalu hening.
“Pak Nofri?” pintu kamar tersebut mengayun terbuka dan wajah Pak Nofri muncul di ambangnya. Wajah tampak sangat prihatin dan ketakutan.
“Tidak apa-apa.” Aku menenangkannya sambil mengeluarkan korek api dari saku bajuku dan menyalakan lilin-lilinnya kembali.
“Apa dia sudah pergi?”
“Ya, sepertinya begitu. Aku sudah tidak bisa merasakan kehadirannya lagi. Kurasa dia sudah pergi.” jawabku sambil bangkit dari kursiku dan berjalan berkeliling ruangan memeriksa sisa-sisa eksistensi arwah Firda yang mungkin masih tertinggal di dalam ruangan itu. Tapi aku tidak merasakan apa pun juga. Suhu udaranya juga mulai kembali terasa hangat. “Dia sudah pergi. Kalian tidak perlu menguatirkannya lagi.”
Pak Nofri menarik napas dengan lega. Arwah Firda sudah menghantui rumah ini selama berpuluh-puluh tahun. Meneror setiap malam dan menakut-nakuti dengan menampakkan dirinya di dalam ruang perpustakaan ini yang dulunya adalah kamar tidur Firda dan Rahman. Kamar dimana Rahman menghabisi Firda karena dia sudah gelap mata malam itu. Setelah kematian Firda, rumah ini kembali dijual namun tak pernah ada yang betah tinggal disini selama lebih dari setahun. Keluarga terakhir yang menempatinya, hanya bertahan selama beberapa bulan sebelum memutuskan untuk menjualnya kembali enam tahun yang lalu. Dan sejak saat itu, rumah tersebut masih kosong dan tak seorang pun tertarik untuk membelinya. Pak Nofri adalah pria yang disewa untuk membersihkan dan memastikan rumah ini tetap dalam keadaan bersih terawat dan siap untuk dijual kembali.
“Arwah-arwah penasaran masing-masing punya urusan yang belum selesai di dunia ini. Dan itulah yang menahan mereka disini. Mereka perlu dibebaskan dari jerat masa lalu. Dan mereka memerlukan bantuan untuk terbebas. Mereka tidak bisa melakukannya sendiri karena mereka sudah mati.” kataku padanya, yang menatap berkeliling dengan waspada, seolah-olah takut arwah Firda akan muncul lagi kapan saja.
Pak Nofri mengantarku ke pintu depan menjelang pukul delapan malam saat aku hendak pamit untuk pulang. Wajah pria tua itu tampak letih dan tidak sehat.
“Terima Kasih atas bantuan Anda.” ucapnya sambil menyalamiku. “Anda yakin kan kalau… dia… dia sudah pergi?” dia masih kedengaran tidak yakin dan enggan menyebutkan nama Firda.
“Anda tidak usah kuatir, Pak Nofri. Saya sudah memeriksa seluruh rumah lagi untuk memastikan dan saya yakin kalau arwah Firda sudah pergi untuk selamanya. Saya juga sudah melakukan ritual penyucian untuk mencegah roh-roh jahat lainnya masuk ke dalam rumah ini.” aku menenangkannya. “ Jangan ragu untuk menghubungi saya lagi kalau Anda masih mengalami gangguan-gangguan makhluk supranatural atau semacamnya di rumah ini.”
Dia tersenyum lega dan mengulurkan tangan untuk menyalamiku. Wajahnya tampak begitu pucat dan lelah, dan ada lingkaran-lingkaran gelap di sekitar kedua matanya.
“Terima Kasih banyak sekali lagi.” katanya.
“Sama-sama.”
Dia menganggukkan kepala dan tersenyum lemah sambil menepuk bahuku. Aku berjalan mendekati mobilku yang diparkir di halaman depan rumah tersebut dan butuh waktu beberapa menit bagiku untuk menyalakan dan memanaskan mesin barang rongsokan tua itu. Aku baru saja akan membawa mobilku keluar dan menempuh perjalanan sejauh lima kilo meter menuju hotel tempatku menginap saat telepon selulerku tiba-tiba berbunyi.
“Halo?”
“Terima Kasih. Pak Nofri baru saja mengirimkan pesan pada saya. Anda melakukan pekerjaan Anda dengan baik sekali.”
“Terima Kasih.”
“Saya yang harusnya mengucapkan Terima Kasih. Saya akan mengirim uangnya ke rekening Anda malam ini juga.”
“Terima Kasih lagi, kalau begitu.”
“Sama-sama. Bonus yang telah kita bicarakan akan saya kirim begitu rumah itu sudah terjual lagi.”
“Tentu saja.”
“Baiklah. Sekali lagi Terima Kasih, Pak Kusrudianto. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan kalau tidak ada Anda.”
“Saya yang berterima kasih. Belakangan ini saya sudah semakin jarang mendapat pekerjaan. Anda tahu, kan? Dengan kemajuan teknologi di zaman modern seperti sekarang ini, orang-orang sudah tidak lagi mempercayai hal-hal mistis. Dan saya perlu uang untuk memenuhi kebutuhan saya dan membayar tagihan-tagihan.””
“Saya mengerti. Baiklah kalau begitu, Selamat Malam.”
“Selamat Malam…”