Kenapa Harus Bermazhab?

 Kenapa Harus Bermazhab?

Masih menjadi hal yang selalu dipertanyakan dan tidak jarang menjadi bahan perdebatan yaitu tentang persoalan bermazhab. Ada yang menyatakan bermazhab itu tidak perlu, kerena Nabi tidak melakukannya. Sebagian besar lainnya mengatakan bermazhab menjadi sebuah keharusan bagi orang awam, dulu zaman Nabi tidak bermazhab karena masih ada Nabi yang menjadi rujukan bertanya atas segala persoalan. Demi menengahi dan mencari kebenaran mengenai persolan ini, mari kita tarik dalam satu garis lurus pertanyaan “kenapa harus bermazhab?’.

Sebebelum jauh menjawab haruskah bermazhab, mari kita uraikan dulu apa yang dinamakan mazhab itu. Secara maknawi dapat kita jelaskan sebagai jalan atau cara yang terdiri dari 3 usur yakni al-mu’taqad (yang diyakini), at-thariqah (jalan atau metode) dan yang ketiga adalah ma dzahaba ilayhil imam minal aimmah minal ahkam al-ijtihadiyah (Sesuatu yang menjadi pendapat imam atau ahli agama tentang hukum-hukum yang ijtihadiyah yang digali dari sumbernya).

Lebih lanjut mengenai pengertian mazhab oleh Al-Syaikh Ramadlan al-Buthi dalam kitab berjudul Alla Mazhabiyyah Akhtharu Bid’atin Tuhaddid al-Syari’ah al-Islamiyyah, halaman 11 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bermazhab (al-tamadzhub) adalah:

أن يقلد العامي أو من لم يبلغ رتبة الإجتهاد مذهب إمام مجتهد سواء التزم واحد بعينه أو عاش يتحول من واحد على آخر

Artinya: “Bertaklidnya orang awam atau orang yang belum mencapai peringkat mampu berijtihad kepada mazhab imam mujtahid, baik ia terikat pada satu mazhab tertentu atau ia hidup berpindah dari satu mazhab ke mazhab yang lainnya.”

Meskipun dalam definisi diatas memasukkan orang awam dalam bermazhab, akan tetapi masih menjadi kilafiyah atau ada perbedaan pendapat. Lantas mengenai hukum bermazhab Abdul Wahhab Al-Sya’rani dalam al-Mizan al-Kubra menyatakan sebagai berikut:

كَانَ سَيِّدِيْ عَلِيٌّ الْخَوَّاصُ رَحِمَهُ اللهُ إِذَا سَأَلَهُ اِنْسَانٌ عَنِ التَّقَيُّدِ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ اْلآنَ هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوْ لاَ. يَقُوْلُ لَهُ يَجِبُ عَلَيْكَ التَّقَيُّدُ بِمَذْهَبٍ مَا دُمْتَ لَمْ تَصِلْ إِلَى شُهُوْدِ عَيْنِ الشَّرِيْعَةِ اْلأُوْلَى خَوْفًا مِنَ الْوُقُوْعِ فِى الضَّلاَلِ وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْيَوْمَ

Artinya: “Jika tuanku yang mulia Ali al-Khawash r.h. ditanya oleh seseorang tentang mengikuti mazhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata: “Anda harus mengikuti suatu mazhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan”. Dan begitulah yang harus diamalkan oleh orang zaman sekarang ini.”

Bermazhab menjadi penting agar pemahaman orang dalam bergama dan menjalankan perintah agama tidak tersesat. Jika orang mengatakan berhujjah langsung kepada Al-Qur’an dan Hadits lebih utama dan lebih kuat. Pendapat demikian memang benar tetapi untuk melakukan itu dibutuhkan penguasaan banyak ilmu, baik Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayanu dan Badi’). Selain itu juga harus menguasai Ulum Al Qur’an (Asbab An Nuzul, Nasakh wa All Mansukh, Al Bayan wa Al Mujmal dan Qaidah Tafsir dll). Selain itu juga harus menguasai Ushul Fiqh, dengan begitu baru dapat melakukan memahan secara komprehensif. Namun jika tidak mampu melakukannya, bermazhab menjadi jalan terbaik.

وَبِأَنَّ التَّقْلِيْدَ مُتَعَيَّنٌ لِلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ. وَقَالَ لِأَنَّ مَذَاهِبَهُمْ اِنْتَشَرَتْ حَتَّى ظَهَرَ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهَا وَتَخْصِيْصُ عَامِّهَا بِخِلاَفِ غَيْرِهِمْ

Artinya: “Sesungguhnya bertaklid (mengikuti suatu mazhab) itu tertentu kepada imam yang empat (Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hanbali), karena mazhab-mazhab mereka telah tersebar luas sehingga nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan pengkhususan hukum yang bersifat umum, berbeda dengan mazhab-mazhab yang lain”.

Sebenarnya mazhab bukan hanya Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hanbali akan tetapi yang mashur dan diikuti oleh 95% umat Islam di dunia adalah mazhab empat imam tersebut. Lebih lagi para imam dari empat mazhab tersebut dari kalangan tabi’in yang telah diikuti setelah abad 4 .

Berdasarkan uraian di atas penting sekali untuk bermazhab, karena tidak semua orang bisa ijtihad. Ulama-ulama mazhab itu adalah orang-orang yang diberi legitimasi oleh Nabi untuk diikuti. Karena Nabi memerintahkan umat untuk mengikuti pendapatnya ulama, dan ulama tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits. Mereka inilah orang-orang yang diberi kewenangan oleh Nabi untuk memahami dan menjelaskan maksud dari al-Qur’an dan Sunnah, lahir kemudian Ijma’, kemudian al-Qiyas sebagai penafsiran terhadap ajaran agama. Allah dan Nabi sendirilah yang memerintahkan ulama itu untuk diikuti. Jadi perintah untuk mengikuti ulama itu langsung bersumber dari Nabi sendiri.

Semoga dapat dipahami dan menjadi sumber kebaikan dalam upaya menjalankan agama dan beribadah kepada Allah secara lebih baik lagi.  Wallahu a’lam.

Sumber:

  • Abdul Wahhab Al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Maktabah Musthafa al-Halabi, t.th), Cet I, Juz 1, h. 34.
  • Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M), Jilid IV, h. 307.
  • Al-Syaikh Ramadlan al-Buthi, Alla Mazhabiyyah Akhtharu Bid’atin Tuhaddid al-Syari’ah al-Islamiyyah, halaman 11
  • NU Online

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *