Kemerdekaan dan Kaum Bersarung; Refleksi HUT RI
Oleh: Tika Fitriyah (Dosen UIN Yogyakarta, Alumni Ponpes. Krapyak Yogyakarta )
Bendera merah putih kini berkibar di sepanjang Sabang sampai Merauke. Tepat 74 tahun yang lalu, para founding father Indonesia menyatakan bahwa Indonesia lepas dari segala bentuk Penjajahan. Namun tidak banyak yang tahu kalau kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kaum bersarung atau santri. Sejarah mencatat banyak pahlawan yang berasal dari ulama dan kaum santri. Sebut saja pahlawan Dipenegoro, Ki Hajar Dewantara, Imam Bonjol, Kiyai Haji (KH) Zainal Musthafa dan Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy’ari, bahkan Bung Hatta yang merupakan salah satu dari pendiri Bangsa pun merupakan kalangan santri.
Perlawanan terhadap penjajah banyak dilakukan oleh kalangan santri. Satu hal unik yang menjadi identitas satri adalah ketaatannya kepada kiyai, seolah titah kiyai adalah seruan Tuhan. Ketika kiyai mengajak santrinya untuk bersama-sama menolak dan melawan penjajahan, maka bangkit lah santri melawan penjajahan tanpa proses berpikir panjang. Di antara perlawanan yang banyak melibatkankan para santri adalah perlawanan yang dilakukan oleh KH. Zainal Musthafa bersama santri-santrinya di Pondok Pesantren Sukamanah–Tasikmalaya, dan perlawanan yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari bersama santri-santrinya di Pondok Pesantren yang sampai saat ini dikenal dengan Pesantren Tebu Ireng. Dari rahim pesantren ini lah lahir jargon hubbul wathan minal iman ataumencintai tanah air sebagian dari pada iman, yang merupakan pengobar semangat mereka untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan.
Hubbul wathan minal iman adalah salah satu jargon yang sangat familiar sekali. Bahkan beberapa orang awam menganggap bahwa itu adalah sebuah hadis. Padahal itu hanya jargon yang diucapkan oleh KH. Hasyim Asy’ari guna mengobarkan semangat persatuan dan kecintaan kaum muslim kepada tanah airnya. Jargon tersebut tentu sangat nasionalisme dan memberikan pengaruh luar biasa terhadap pejuang muslim yang tinggal di tanah air. Jargon itu pun hanya ada di Indonesia, di tanah Arab yang merupakan tempat Islam lahir dan berkembang pun tidak ditemukan istilah tersebut. Hal tersebut menunjukan bahwa kedekatan antara Islam dan tanah air sudah lahir sejak lama dan mengakar, sehingga Islam Nusantara pada realitanya bukan lah hal yang baru.
Keterlibatan santri dalam mempertahan kemerdekaan Indonesia seyogyanya dilakukan sampai saat ini. Apalagi serangan-serangan terhadap keutuhan NKRI justru banyak dilakukan oleh orang Islam yang memiliki paham radikalisme. Pesantren sebagai salah satu lumbung keilmuan yang berbasis Agama, harusnya menyisipkan nilai-nilai nasionalisme dan nilai-nilai Islam moderat di dalam kesehariannya membentuk pribadi santri. Hal tersebut sebagai salah satu pengejawantahan dari Islam Nusantara dan Nasionalisasi di lingkungan Pesantren.
Jika kita cermati lebih dalam, kecenderungan untuk mendirikan Negara Islam masih tumbuh dan berkembang di beberapa pesantren tradisional. Padahal pancasila sebagai landasan Negara tentu sudah sangat sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Hanya saja pembicaraan tentang negara dan nasionalisme masih sangat tabu di dunia pesantren, sehingga perlu adanya diskusi-diskusi rutin atau bahkan kuliah umum terkait tema-tema tersebut.
Peranan santri di masa milenial ini seharusnya semakin dominan. Apalagi saat ini bermunculan ustadz-ustadz karbitan yang bukan berasal dari pondok pesantren, namun memiliki pengaruh yang besar bagi generasi milenial. Hal tersebut menjadi masalah ketika paham yang mereka yakini tidak senafas dengan kedaulatan NKRI dan Islam sebagai Agama yang rahmatan lil alamim. Maka santri di masa digital ini juga perlu andil dengan menerbitkan konten-konten islami yang moderat dan tentu saja pro NKRI.
Eksistensi Santri mau tidak mau harus merambat dalam jejaring dunia maya. Jika pada zaman penjajahan santri dibekali dengan ilmu bela diri sebagai upaya untuk melawan penjajahan, maka di masa sekarang, santri haruslah dibekali keterampilan IT sebagai upaya meminimalisir terhadap penyalahgunaan media sosial juga teknologi yang sering sekali terjadi. Penyebaran hoax adalah salah satu bentuk kejahatan dalam dunia digital yang sangat sulit dihindari. Maka dengan literasi digital ini, santri diharapkan berada di gardu terdepan pemutus rantai hoax dan menggantinya dengan konten-konten islami yang menyejukan tanpa adanya propaganda.
Santri sebagai pewaris para Nabi yang bertugas untuk menyebarkan nilai-nilai keislaman, tentunya harus menjaga kedaulatan NKRI dalam hal apapun. Karena tanpa adanya NKRI, semangat keislaman tidak akan tersebar dan menjadi nadi dari NKRI. Dalam hal ini, NKRI bertugas sebagai mangkuk yang mewadahi nilai-nilai keislaman. Sehingga masyarakat muslim yang ada di Indonesia merasa aman dan bebas melakukan tradisi keagamaan di Negara ini. Mengenang sejarah kemerdekaan tentu mengingatkan kita pada sosok santri yang tanpa imbalan ikut andil dalam kemerdekaan. Namun, masihkan peranan santri ini mewarnai tegaknya kemerdekaan sampai saat ini? Santri yang memiliki basis keilmuan agama yang mumpuni juga berdedikasi penuh terhadap Bangsa tentu menjadi tumpuan harapan Indonesia. Jika dahulu santri mampu menjadi pasukan yang berada di barisan pertama untuk meraih kemerdekaan Indonesia, maka kini, seharusnya santri pun bisa terlibat secara aktif dalam mempertahankan NKRI, dengan membumikan nilai-nilai keislaman di Tanah Air Indonesia dengan penuh kecintaan terhadap NKRI. Merdeka !!!