Kemendikbud Luruskan Pengertian Radikalisme Agama dan Manipulator Agama

 Kemendikbud Luruskan Pengertian Radikalisme Agama dan Manipulator Agama

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Usai Presiden Joko Widodo mengeluarkan statemen ‘Radikalisme Agama’ menjadi ‘Manipulator Agama’ pada Kamis (31/10/2019) kemaren, mendapat tanggapan baik dari Ahli bahasa di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

“Sah-sah saja jika Presiden ingin mengganti kata ‘radikalisme’ ke ‘manipulator agama’ yang maknanya lebih mengerucut dan lebih jelas. Jadi, ‘manipulator agama’ mungkin itu kriterianya lebih mengerucut, lebih jelas daripada pengertian radikalisme yang beredar di masyarakat saat ini,” ungkap Kemendikbud Sriyanto, di Jakarta, Jumat (01/11/2019).

Selain itu, ia mengatakan bahwa pengertian radikal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki tiga pengertian. Dalam pengertian pertama radikal berarti amat mendasar, prinsip-prinsip tentang politik, termasuk juga agama.

“Itu kan sebenarnya positif. Kalau orang beragama mempelajari agamanya sampai pada hal-hal yang prinsip kan itu positif. Kemudian, makna kedua kata radikal dalam kamus adalah amat keras, menginginkan adanya perubahan dalam undang-undang pemerintahan. Pengertian kata itu memang bermakna negatif. Sementara makna ketiga dari kata radikal adalah berpikir maju. Itu positif, kecuali (pengertian) yang nomor dua,” jelasnya.

Kata ‘radikalisme’, lanjutnya, memang bermakna negatif menurut kamus, yaitu keinginan untuk mengubah undang-undang pemerintah secara kekerasan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa kata radikalisme yang berkembang di dalam masyarakat cenderung ditujukan pada agama tertentu.

“Makna negatif radikalisme itu mestinya bukan hanya ditujukan pada agama tertentu. Bahkan orang yang tidak ada kaitannya dengan agamapun kalau ingin mengubah pemerintahan atau undang-undang dengan kekerasan itu radikal, radikalisme,” tuturnya.

Pengertian yang berkembang di media massa ‘radikalisme’, katanya, dimaknai secara bias dan sering tidak tepat. Kalau masyarakat dan media berpegang pada makna yang ada di kamus, tidak memberikan stempel radikalisme pada agama tertentu, lalu dengan makna yang seperti itu (yang sesuai KBBI), yaitu mengubah undang-undang atau pemerintahan dengan kekerasan, itu sebenarnya sudah tepat.

Selama ini ia melihat pemberitaan media massa atau di media sosial (medsos), cenderung memaknai radikalisme dengan makna yang bias sehingga terkesan merujuk pada agama tertentu. Dengan demikian, ia mengatakan tampaknya Presiden menangkap kesan tersebut berupaya untuk mencari istilah lain.

“Kalau dari sisi itu positif saja. Jadi, kalau manipulator agama mungkin itu kriterianya lebih mengerucut, lebih jelas,” paparnya.

Seandainya kata ‘radikalisme’, lebih lanjut, tidak diubah dengan tetap merujukkan maknanya sesuai KBBI, pertimbangan tersebut juga sama-sama tepat. Presiden mungkin menangkap adanya pengertian radikal yang di media sekarang ini lebih banyak (mengarah ke) agama tertentu.

“Misalnya, kalau tidak sesuai aliran laku dicap radikal, itu kan jadi bias maknanya. Presiden tampaknya menangkap perkembangan makna radikalisme yang sangat luas atau dapat menimbulkan keresahan masyarakat tertentu yang tidak mengenakkan, lalu dicari istilah lain. Menurut saya sah-sah saja,” pungkasnya.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *