Kembali ke Alquran dan Hadis tidak Sesederhana Itu
HIDAYATUNA.COM – Ikhwal keresahan ketika melihat sebagian kelompok yang menggaungkan secara massif jargon segala sesuatu harus sesuai dengan Alquran dan Hadis. Kemarin, diskusi menarik itu hadir di sela-sela perkuliahan yang saya dan teman-teman ikuti.
Berkembangnya beragam isu-isu kontemporer di Indonesia, seperti hak asasi manusia, sekularisasi, demokrasi, kesetaraan gender, maupun hijrah. Merupakan sebuah fakta yang harus diakui keberadaannya dalam siklus keberagamaan kita hari ini.
Tentu saja bagi kalangan muslim, dalam menghadapi beberapa isu-isu tersebut memerlukan sebuah jawaban. Ihwal bagaimana seharusnya mengambil sikap.
Dalam tataran ideal-normatif, tentu saja untuk mendapatkan jawaban atas segala permasalahan tersebut sangat dianjurkan untuk merujuk kepada teks keagamaan. Teks yang otoritatif, yakni Alquran dan Hadis.
Meskipun segala jawaban atas permasalahan tersebut ada di dalam Alquran dan Hadis. Apakah setiap muslim memiliki kemampuan yang mumpuni untuk langsung merujuk kembali ke Alquran dan Hadis?
Apakah cukup sekadar merujuk kepada terjemahan dari kedua teks keagamaan yang otoritatif tersebut? Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan kehidupan.
Tentu saja, dengan tidak merendahkan beberapa pihak, bisa dipastikan tidak. Salah sedikit dalam memahami kedua teks keagamaan yang otoritatif tersebut bisa menciptakan sebuah kegaduhan. Baik hal itu dalam tataran ideologis maupun dalam tataran praksis sekalipun.
Kembali ke Alquran dan Hadis Ada Metodologinya
Kembali kepada Alquran dan Hadis tidak dapat dianggap sederhana sebagaimana dipikirkan oleh kalangan luas. Sebagai sebuah analogi sederhana, kita yang notabene dalam sehari-hari menggunakan Bahasa Indonesia.
Ketika dihadapkan dengan karya sastra karangan Joko Pinurbo, misalnya, apakah mampu dengan segera memahami makna dan maksud yang terkandung di dalamnya? Bagi sebagian kalangan yang sudah terbiasa menggeluti dalam bidang sastra saja, belum tentu lantas memahami apa yang dimaksud di dalam karya tersebut.
Ada sebuah metodologi yang harus ditempuh dalam upaya memahami karya sastra tersebut. Misalnya, teknik dalam menulis puisi, menulis cerpen, teknik memahami kata yang bermakna kias, dan ataupun yang lainnya.
Begitupun dengan upaya dalam memahami Alquran dan Hadis. Oleh karenanya, untuk langsung “kembali ke Alquran dan Hadis” sebagai teks keagamaan yang otoritatif, setiap muslim membutuhkan seperangkat keilmuan yang cukup.
Dalam tataran upaya memahami Alquran misalnya. Setiap muslim yang ingin kembali secara langsung ke Alquran sangat dianjurkan untuk mengusai terlebih dahulu beberapa disiplin keilmuan mengenai Alquran.
Misalnya, meliputi aspek Asbab an-Nuzul, Muhkam Mutasyabihat, I’jaz, Jadal Alquran, balaghah dan seterusnya, aspek teologis. Maupun aspek keilmuan umum lainnya yang meliputi antropologi, sosiologi, hermeneutika, dan bahkan cabang keilmuan filsafat.
Sementara itu, dalam tataran upaya memahami Hadis, hal serupa juga terjadi. Untuk memahami setiap Hadis diperlukan seperangkat keilmuan yang cukup, yang diantaranya meliputi keilmuan mengenai Riwayah dan Dirayah, misalnya.
Keilmuan Riwayah, secara ringkas dapat dipahami sebagai ilmu yang berbicara mengenai bagaimana proses periwayatan, penulisan, dan pemeliharan Hadis Nabi Saw itu dilakukan.
Dengan begitu, ketika beberapa disiplin keilmuan telah dikuasi. Proses kembali ke Alquran dan Hadis akan menghasilkan sebuah pemaknaan yang lebih sesuai dengan esensi yang sejatinya diharapkan di dalam kedua teks keagamaan yang otoritatif tersebut.
Lalu Bagaimana dengan Kalangan Awam?
Melihat fakta di atas, muncul sebuah pertanyaan. Lalu bagaimana dengan kalangan awam, yang dalam hal ini tidak semuanya memahami beberapa aspek keilmuan sebagaimana tersebut di atas?
Sebagaimana pernah saya sampaikan pada tulisan sebelumnya, dengan mengutip Quraish Shihab. Ketika beragam persoalan hadir, pada saat yang bersamaan, kebutuhan akan asupan keagamaan ikut meningkat. (Baca: https://hidayatuna.com/ulama-millenial-virus-corona-dan-dilema-umat-beragama/)
Bagi sebagian kalangan yang tidak memiliki kemampuan langsung untuk kembali ke Alquran dan Hadis, sangat dianjurkan untuk belajar kepada seorang ulama atau ustaz maupun mencari lembaga pendidikan keagamaan.
Namun, sebelum kemudian memutuskan ihwal ulama atau ustaz yang akan kita ikuti. Ada sebuah kriteria yang lebih dulu harus kita pahami.
Dalam pandangan Prof. Quraish Shihab, ada empat tugas besar yang diemban oleh ulama sesuai dengan tugas Nabi dalam mengembangkan kitab suci.
Pertama, menyampaikan (tabligh) ajaran-ajarannya QS. Al-Maidah [5]: 67;
Kedua, menjelaskan ajaran-ajarannya QS. An-Nahl [16]: 44
Ketiga, memutuskan perkara atau problem dalam masyarakat QS. Al-Baqarah [2]: 216
Keempat, memberikan contoh, ini sesuai dengan Hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari, bahwa prilaku Nabi merupakan praktek dari Alquran.
Seorang ulama, lanjut Prof. Quraish Shihab, tidak diperkenankan hanya berpegang teguh pada sebuah penafsiran dari ulama tafsir tertentu. Ia harus memiliki daya pengetahuan umum yang cukup untuk mengembangkan prinsip-prinsip yang ada dalam menjawab segala persoalan masyarakat yang terus berkembang.
Tidak hanya sekedar mendalami ilmu-ilmu fiqh, tafsir atau Hadis, terlebih ketika hanya diranah hafalan statis serta literalis. Maka, dengan mempertimbangkan ihwal beberapa persoalan tersebut di atas, tentu akan menghasilkan pola keberagamaan yang lebih ramah dan tidak marah-marah.
Wallahu’alam.