Kematian Novia : Wahai, Netizen! Pintarlah Merasa, Bukan Merasa Pintar
HIDAYATUNA.COM – Dunia maya digemparkan fenomena kematian Novia Widyasari korban kekerasan seksual yang memilih mengakhiri hidupnya di pusara ayahnya. Lantaran pemerkosaan yang dilakukan sang pacar dengan modus obat-obatan hingga akhirnya membuatnya hamil.
Penyitas sempat meminta pada sang pacar untuk bertanggung jawab atas semua yang dilakukan. Namun nihil, yang didapatkan malah pemaksaan yang menuntutnya agar meneguk pil aborsi.
Saya tidak ingin menilik tragedi ini dengan prespektif kesetaraan gender, atau teori fafifu yang teramat jelimet untuk dipahami dan dipetik benang merahnya. Tidak pula ingin berkomentar ihwal keadilan, karena sepantasnya dan seharusnya bagi korban mendapatkan hak keadilan sebagaimana harusnya.
Hingga muncul beragam anggapan miring nan negatif pada institusi kepolisian. Mereka dianggap lamban menegakkan keadilan dan menegaskan hukum sebagaimana harusnya.
Terdapat fenomena menarik yang perlu kita bahas, mungkin untuk beberapa orang pembahasan ini akan terkesan remeh. Betapapun demikian ada poin yang tidak kalah penting untuk diketahui dan ditelaah bersama, apa dan bagaimana seharusnya kita bertindak.
Ketika isu ini semakin mencuat, Kalis Mardiasih yang secara khusus membuat feed Instagram yang memuat tentang Novia Widyasari, terdapat salah satu komentar. Dengan gagahnya komentar tersebut menukil hadis sebagai argumen teologisnya;
”Barang siapa terjun dari sebuah bukit untuk menewaskan dirinya. Maka kelak ia akan masuk neraka dalam keadaan terlempar jasadnya. Ia kekal dalam neraka selama-lamanya.”
“Barang siapa yang meneguk racun dan racun itu menewaskan dirinya. Maka racun itu akan tetap dalam genggaman tangannya sambil meneguknya di dalam neraka jahanam. la juga kekal di dalamnya selama-lamanya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Saya tidak menyalahkan dia yang mungkin hafal banyak hadis dengan beberapa rawi dan sanadnya. Barangkali itu hingga membuatnya gelisah jika tidak segera menyampaikan apa yang telah tertancap kuat di kepalanya.
Saya akui bahwa hadis tersebut memang termuat dalam kitab masyhur yang fenomenal “Shahih al-Bukhari dan Shahih al-Muslim”. Sering dijadikan rujukan umat muslim hingga kini.
Pertanyaan yang menghinggapi saya adalah apa pantas di tengah duka yang melanda, melontarkan hal demikian? Sekalipun dengan modus menyuguhkan sabda Rasul?
Saya pun mengetahui dan saya rasa publik luas pun mengetahui larangan keras Islam terhadap bunuh diri. Saya sitir dari Alquran untuk kelengkapan dalil di atas, yang memiliki arti begini; “Janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (lihat, QS. An-Nisa ayat 29)
Saya mengakui dalil tersebut sangatlah benar, tepi benar saja tidaklah cukup. Kata orang jawa “bener nanging ora pener.” Apa pun pernyataan atau komentar yang ingin diungkapkan semestinya menjungjung tinggi prinsip ini; empan papan, bener lan pener.
Intinya secara sederhana dapat dipahami sebagai “paham situasi yang ada”. Bahasa santrinya ‘Muqtadla al-hal’.
Bukankah sebaiknya kita renungi diktum Jawa yang mengingatkan begini: “Aja dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya uwong sing bisa lan pinter rumangsa.”
Orang yang merasa pintar banyak, tapi hanya sedikit yang pintar merasa. Baik itu, turut merasa terketuk hatinya atas apa yang menimpa Novia hingga ingin bersuara lantang menegakkan keadilan; turut merasa bagaimana seandainya jika dirinya berada di posisi korban.
Bunuh diri memang tidak baik, saya juga turut mengamini hal tersebut. Namun di sisi yang berbeda, saya pun turut merasakan bagaimana yang dirasakan novia sebagai korban ketidakadilan. Perlu diketahui si Novia ini tidaklah diam, dia menjalani perawatan ke RS sendirian, sang kekasih dan ibu lelaki itu tak sedikitpun peduli dengan nasibnya.
Aduan terhadap PPA telah dilakukan namun memperoleh respon yang lamban. Ayahnya yang telah tiada hingga memutuskan untuk meminta bantuan kepada pamannya. Bukannya mendapat pembelaan, ia justru mendapat kecaman dan tudingan-tudingan menyudutkan korban karena dianggap mencoreng nama baik keluarga.
Sebelum Novia memutuskan bunuh diri dengan meneguk racun di atas pusara ayahnya, ia mengirimkan surat-surat yang merekam kisah perjuangan melawan ketidakadilan yang menerpanya. Bahkan bagi saya tidak berlebihan seorang Kalis menyejajarkannya dengan deretan pejuang keadilan sekaligus korban ketidakdilan seperti halnya Marsinah, Yuyun, Eno Parinah dan semua pahlawan keadilan lainnya.
Hal ini harus digarisbawahi, benar saja tidaklah cukup, merasa pintar dengan lihai nukil dalil sana-sini pun demikian. Alangkah lebih baiknya jika pintar merasa daripada merasa pintar.
Jika turut merasa saja tidak mampu dilakukan, mungkin adagium ‘diam adalah emas’ menemukan momentumnya di sini. Mari bersama-sama lawan ketidakadilan dan melindungi hak korban, bukan malah menyudutkan hingga menyalahkan korban.
Ihwal penetapan seorang hamba sebagai ahli neraka maupun surga (ahl al-nar atau ahl al-jannah) adalah hak prerogatif Allah sebagai Sang Pencipta dan Pemilik Kuasa. Tiada satu pun mahlukNya yang mengetahui apa dan bagaimana nasib kita di hari kemudian nanti.
Wallahu a’lam bi al-shawab.