Keliru Dalam Redaksi Doa

 Keliru Dalam Redaksi Doa

Redaksi Doa (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Dalam sebuah ceramah, seorang ustaz bercerita bahwa ia pernah diminta untuk memimpin doa bersama di sebuah acara. Ia enggan mengabulkan permintaan itu karena menurutnya Nabi tidak pernah mencontohkan hal tersebut.

Akhirnya doa dipimpin oleh salah seorang yang hadir. Tapi menurut ustaz tadi, doa orang ini salah. Doa yang seharusnya dibacanya adalah seperti ini :

اللهم اقْسِمْنِي مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ

Tapi yang ia baca malah seperti ini :

اللهم اقْسِمْنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تُحَوِّلُنَا بِهِ جَنَّتَكَ …

Menurut ustaz tadi, doa yang dibaca orang tersebut artinya menjadi seperti ini : “Ya Allah, berikan kami rasa takut pada-Mu yang memindahkan kami dari surga-Mu…”

Kemudian ia menimpali, “Pindah dari surga mau kemana? Tentu ke neraka! Tapi para jemaah yang tidak mengerti bahasa Arab itu hanya berkata, “Amiin…”.

Lalu sang ustaz pun berpesan, “Makanya jangan mau doa-doa kita dipimpin…”.

Salah Redaksi Doa, Fatal

Sebenarnya kalau kita lihat, pesan yang ingin disampaikan sang ustaz adalah agar lebih berhati-hati dalam berdoa; atau sebaiknya kita memahami lafaz doa yang kita ucapkan; atau ini sebagai motivasi untuk belajar bahasa Arab; tentu ini sesuatu yang baik.

Tapi dari konteks pembicaraannya, ia ingin menegaskan bahwa kesalahan dalam redaksi doa sangat fatal akibatnya. Untuk itu ia berpesan, “Jangan mau doa kita dipimpin.”

Poin pertama yang perlu kita koreksi adalah kalau betul-betul mengikuti sunnah seperti yang sering digembar-gemborkan oleh sang ustaz dan orang-orang yang se-manhaj dengannya. Maka redaksi doa tersebut bukan seperti yang ia katakan di awal. Menurutnya mesti dibaca oleh orang yang didaulat untuk memimpin doa tersebut.

Redaksi doa ini terdapat di dalam Sunan Tirmidzi, dan tidak menggunakan kalimat :

اللهم اقْسِمْنِي مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ

Sebagaimana yang disampaikan sang ustaz, melainkan dengan redaksi :

اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ

“Ya Allah, berikan kami rasa takut pada-Mu yang dapat menghalangi kami dari bermaksiat kepada-Mu.”’

Beda Kata Beda Makna

Perbedaannya tidak hanya terletak pada penggunaan objek (maf’ul) dari kata اقْسِمْ yang menurut sang ustaz adalah ya mutakallim yang dibantu oleh nun wiqayah. Sehingga menjadi اقْسِمْنِي sementara di dalam hadis menggunakan huruf jar lam sehingga menjadi اقْسِمْ لَنَا , tapi juga terletak pada dhamir yang digunakan.

Sang ustaz menggunakan “ya mutakallim” yang berarti ‘saya’. Artinya doa ini untuk diri sendiri.

Sementara hadis menggunakan nun jamak yang berarti ‘kita’. Artinya doa ini untuk bersama, bukan untuk sendiri.

Ditambah lagi, kalau sang ustaz lebih teliti, di awal hadis disebutkan bahwa doa ini Nabi ucapkan untuk para sahabat. Artinya doa ini memang untuk bersama. Perhatikan redaksi hadis berikut :

عَنْ خَالِدِ بْنِ أَبِي عِمْرَانَ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، قَالَ: قَلَّمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ مِنْ مَجْلِسٍ حَتَّى يَدْعُوَ بِهَؤُلَاءِ الدَّعَوَاتِ لِأَصْحَابِهِ: «اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ اليَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا … (رواه الترمذي)

Dari Khalid bin Abi Imran, Ibnu Umar berkata, “Jarang sekali Rasulullah Saw bangkit dari sebuah majlis melainkan beliau berdoa dengan doa berikut untuk para sahabatnya: “Ya Allah, karuniakanlah pada kami rasa takut pada-Mu yang bisa menghalangi kami dari maksiat pada-Mu, dan (karuniakan pada kami) rasa takut pada-Mu yang dapat menyampaikan kami pada surga-Mu, dan rasa yakin yang dapat meringankan kami menerima berbagai musibah di dunia ini…”

Allah Mengabulkan Doa dari Redaksi atau Melihat yang Tersembunyi?

Poin berikutnya adalah mengenai ‘kesalahan fatal’ dalam redaksi doa yang digunakan orang tersebut menurut sang ustaz. Redaksi yang ia baca adalah :

اللهم اقْسِمْنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تُحَوِّلُنَا بِهِ جَنَّتَكَ

Redaksi ini oleh sang ustaz diterjemahkan seperti ini: “Ya Allah, berikanlah kami rasa takut pada-Mu yang memindahkan kami dari surga-Mu.”

Sebenarnya, terjemahan ini baru pas kalau orang tersebut menambahkan kata مِنْ ‘dari’ sebelum kata جَنَّتَكَ ‘surga-Mu’. Tanpa kata مِنْ ‘dari’ maka artinya tidak mutlak seperti yang diklaim sang ustaz. Sebab kata جَنَّتَكَ ‘surga-Mu’ dalam hal ini menjadi objek kedua (maf’ul bih tsani) dari kata تُحَوِّلُنَا “memindahkan kami’.

Artinya bisa saja menjadi: “Ya Allah, karuniakan kami rasa takut pada-Mu, yang dengan rasa takut itu bisa memindahkan kami akan (kepada) surga-Mu”. Jadi ‘surga-Mu’ dalam hal ini bisa dipahami sebagai tujuan dipindahkan.

Tapi anggaplah terjemahan yang disampaikan sang ustaz terhadap redaksi orang tersebut benar. Lalu apakah ini berarti orang yang memimpin doa benar-benar meminta kepada Allah untuk dipindahkan dari surga?

Apakah orang-orang yang mengaminkannya juga berkeinginan seperti itu? Serta yang paling penting, apakah Allah SWT. akan mengabulkan sebuah doa sesuai dengan redaksi yang terucap dari mulut atau melihat kepada apa yang ada di dalam hati?

Kesalahan Redaksi dan Substansi Doa

Mari perhatikan hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ، مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا، قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ

“Sungguh Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat, daripada seseorang yang berada di atas hewan tunggangannya di sebuah padang lepas, lalu hewan itu lepas darinya, sementara di atasnya ada makanan dan minumannya. Ia pun merasa putus asa (hewan tunggangannya itu kembali lagi). Akhirnya ia berteduh di sebuah pohon dalam keadaan pasrah. Tiba-tiba hewan tunggagannya sudah berada di depannya. Ia segera meraih tali kekangnya. Saking gembiranya ia berkata, “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku tuhan-Mu.” Ia keliru karena sangat bergembira.”

Kesalahan orang ini tidak hanya dari segi qawa’id atau kaidah bahasa seperti yang terjadi pada orang yang diceritakan sang ustaz di atas. Kesalahannya tidak hanya pada masalah redaksi, melainkan pada makna dan substansi. Ia sampai mengatakan, “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku tuhan-Mu…”. Bukankah ini adalah kalimat kafir?

Tapi apakah memang itu yang ia maksudkan? Tentu tidak. Ungkapan itu muncul karena ia berada dalam kondisi yang sangat bahagia sehingga kalimat yang keluar dari mulutnya tidak terkontrol lagi. Berarti bukan sebuah kesengajaan.

Kesalahan sebagai Kekhilafan

Terkadang kita perlu mengingat kembali pelajaran-pelajaran dasar yang mungkin telah kita lupakan. Bukankah diantara hadis pokok yang hampir setiap muslim mengetahuinya adalah:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya setiap amal tergantung kepada niatnya.”

Maka, saya sangat respect membaca respon banyak orang terhadap video ceramah sang ustaz, “Yang penting, kan niatnya, Ustaz…”.

Ya, adakalanya seorang ustaz yang kajiannya sudah kesana-kemari perlu diingatkan oleh jemaahnya. Notabene yang ilmunya mungkin sangat terbatas tapi memiliki fitrah yang bersih dan rasa kemanusiaan yang tinggi.

Jangan Abaikan Kesalahan Doa

Kita tidak boleh meremehkan kesalahan redaksi dalam bacaan doa. Tapi kita juga tidak boleh menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat fatal, apalagi kalau berangkat dari ketidaktahuan, bukan kesengajaan.

Hal lain yang perlu diingatkan kepada masyarakat tentang doa adalah konteks sebuah doa. Syekh Mustafa al-Buhyawi menceritakan, suatu ketika beliau sedang thawaf.

Tiba-tiba ada serombongan jemaah haji yang dari pakaiannya terlihat berasal dari Asia. Mereka berdoa bersama secara serentak dengan suara yang keras dan dipimpin oleh seseorang yang sepertinya menjadi ketua rombongan. Diantara doa yang mereka ucapkan adalah:

اللهم كَمَا اسْتَجَبْتَ لِإِبْلِيْسَ فَاسْتَجِبْ لَنَا

“Ya Allah, sebagaimana Engkau telah mengabulkan doa Iblis maka kabulkanlah doa kami.”

Maksud mereka adalah Allah mengabulkan doa Iblis yang minta diberikan tenggat waktu sampai hari kiamat untuk bisa menyesatkan anak cucu Adam, dan Allah mengabulkan permintaan itu. Tapi pengabulan doa disini adalah dalam konteks kemurkaan bukan keridhaan.

Sementara yang kita mohon kepada Allah adalah pengabulan doa dalam keridhaan. Ini jelas dua hal yang sangat berbeda.

اللهم فقهنا فى الدين واجعلنا دعاة لا قضاة

 

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *