Kekerasan Seksual adalah Musuh Bersama
HIDAYATUNA.COM – Perdebatan ihwal kehadiran Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) tentang kekerasan seksual di perguruan tinggi mencuat akhir-akhir ini. Peraturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2021 yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Siapa sangka, sejak kemunculannya beragam riuh-sorai pro-kontra berdatangan. Di satu pihak menyatakan keberatan dengan ketidaksetujuannya karena dianggap bermasalah.
Guru besar Sosiologi Agama Universitas Ibrahimy (UNIB) Jawa Timur, Prof. Muhammad Baharun yang sekaligus sebagai ketua komisi hukum MUI (2010-2020) turut buka suara. Muhammadiyah juga cukup vokal, Hidayat Nur Wahid selaku Wakil Ketua MPR ikut bersuara.
Demikian juga atas nama Majelis Ormas Islam, kesemuanya menolak, dan inti dari penolakan yang diajukan adalah lantaran dianggap melegalkan zina. Gejolak polemik yang terjadi tersebut didasarkan pada pasal 5 ayat 2 dengan frase “tanpa persetujuan korban”.
Sebut saja misalnya “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban atau menunjukkan kelamin tanpa persetujuan korban.” Hal tersebut dianggap sebagai legalisasi terhadap tindakan asusila atau perzinaan atas nama persetujuan.
Menghadapi Stigma Masyarakat bagi Penyitas
Padahal konteks kemunculan Permendikbudristek ini dipicu karena kasus pelecehan seksual yang mengemuka di jagat maya yang terjadi di perguruan tinggi. Sebagai langkah awal untuk pencegahan dan penanganan kekerasan yang kerap kali mengabaikan hak korban.
Ini pun yang dipertanyakan Kalis Mardiasih melalui akun Instagramnya: mengapa sexual consent (persetujuan korban: hanya dari korban dan untuk korban). Setidaknya ada 4 kasus yang tersuguhkan di feed slidenya. Salah satunya kisah seorang siswi SMP yang menjadi korban perbudakan seksual pamannya sendiri selama bertahun-tahun.
Selama lima tahun tersebut korban bukan saja diperkosa di hari libur, bahkan juga menjual penyintas pada orang lain untuk modal berjudi. Kejadian ini terungkap lantaran si korban hamil.
Apa yang terjadi dengan komentar masyarakat terhadapnya? “Kalau kejadiannya terjadi selama bertahun-tahun, itu bukan pemerkosaan, tapi si X keenakan juga alias setuju buat digauli,” begitu mereka menanggapi.
Diakui atau tidak, perempuan yang jelas-jelas sebagai korban seringkali mendapat perlakuan menyudutkan tanpa pembelaan. Seolah-olah perempuan tidak menjadi korban dan setuju akan hal itu.
Padahal sangat jelas diperkosa dan menjadi korban, terkadang juga muncul pertanyaan dari masyarakat, “pakai baju apa ketika itu?” “apakah Anda menikmati kejadian tersebut?” atau “suruh siapa juga keluar atau pulang malam sendirian!”
Kekerasan Pada Wanita dan Anak-anak Sejak Zaman Jahiliyah
Kehadiran Permendikbudristek ini diharapkan dapat menjadi langkah awal meminimalisir kekerasan seksual yang seringkali terjadi di lingkungan perguruan tinggi.
Tidak berlebihan jika saya memandang intisari dari permendikbudristek sama halnya dengan spirit Islam yang memuliakan dan menghormati kehormatan perempuan sebagai mahlukNya juga.
Bayangkan coba, bagaimana nasib perempuan sebelum Islam datang? Bangsa Arab, khususnya suku Quraisy sangat lekat dengan konstruk patriarki, pengabaian terhadap hak-hak perempuan, bahkan tidak sedikit yang menganggap perempuan sebagai bukan manusia.
Hal ini dibuktikan dengan kasus penguburan bayi perempuan yang baru saja lahir karena dianggap sebagai beban dan kesialan. Bahkan jual-beli perempuan juga marak terjadi, perempuan seperti halnya barang dagangan yang bisa dipertukarkan bukan lagi anggapan namun jatuh pada tindakan.
Negara Tidak Melegalkan Zina
Islam hadir untuk membunuh momok-momok patriarki yang menghantui perempuan. Pembebasan dari kezaliman, hingga praktik ketidakadilan merupakan visi Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin.
Mengangkat perempuan dari yang tersubordinat, terdomestikasi pada ruang prokreasi dan menjadi warga kelas dua. Untuk dijadikan setara yang sama-sama berstatus sebagai hambaNya.
Dalam konteks ini, Permendikbudristek pun hadir sebagai bentuk penanganan dan pencegahan terhadap kekerasan seksual. Terkait dengan redaksi “tanpa persetujuan” bukan lantas melegalkan tindakan asusila atau seks bebas.
Secara sederhana “tanpa persetujuan” di sini berarti ada unsur paksaan dari salah satu pihak. Bagaimana jika hal itu dilakukan atas dasar suka sama suka dan saling setuju?
Hal tersebut tidak juga bisa dianggap sebagai bentuk legalitas atas zina, dan tidak juga disebut sebagai pelecehan seksual. Toh juga sama-sama suka, saling setuju, dan tidak ada yang dirugikan. Meski demikian bukan lantas negara/pemerintah mendukung seks bebas dengan dalih suka sama suka.
Menegakkan Spirit Islam
Perlawanan terhadap kekerasan seksual adalah kewajiban yang harus ditegakkan bersama dan merupakan bagian dari spirit Islam dalam rangka mengentas ketidakadilan. Anti-kekerasan seksual (dengan beragam bentuknya) itu selaras dengan spirit Islam.
Demikian juga dengan upaya perlindungan terhadap hak-hak perempuan juga sejalan dengan pesan-pesan Alquran yang dipraktikkan rasul. Hal tersebut banyak terekam dalam sirah an-nabawiyah bagaimana pembelaan nabi terhadap perempuan.
Khususnya yang mengalami pendiskreditan dan penghormatan Rasul yang berupaya mengangkat kehormatan perempuan yang terpinggirkan. Mari lawan beragam tindakan kekerasan seksual dan dukung upaya perlindungan yang dilakukan negara untuk hak-hak korban yang sering diabaikan.
Apa pun bentuk kekerasan seksualnya yang jelas sangat bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di masyrakat. Baik dalam norma negara itu sendiri maupun norma agama tidak ditemukan legalitas kebenarannya. Wallahu a’lam bi al-shawab