Keikhlasan dan Kemandirian
Oleh: Dr. KH. Husein Muhammad
HIDAYATUNA.COM – Aku mulai bicara tentang nilai-nilai pesantren, di hadapan para kiyai pesantren Tambakberas, kemarin itu:
Keikhlasan adalah yang pertama dan utama. Ia bermakna bekerja dan mengabdi kepada kemanusiaan tanpa syarat apapun. Ia juga berarti bekerja dengan cinta.
Seorang bijakbesari mengatakan :
عليك ان تعود نفسك على عمل الخير لانه خير لا تريد بفعلك عوضا ولا يحملك عليه خوف فمتى فعلت طالبا المكافئة لم يكن عملك خيرا
“Biasakan dirimu melakukan kebaikan hanya karena ianya itu baik. Engkau tidak berharap imbalan untuk itu, dan tidak pula karena takut ( jika tidak melakukannya). Manakala kau melakukannya karena berharap balasan, maka perbuatanmu itu bukan kebaikan”.
Aku menekankan “bekerja untuk kemanusiaan”. Ini karena agama hadir untuk manusia dalam rangka kemanusiaan. Ini ditegaskan oleh para ulama salaf. Mereka mengatakan :
“التكاليف كلها راجعة الى مصالح العباد فى دنياهم وأخراهم. والله غني عن عبادة الكل لا تنفعه طاعة الطائعين ولا تضره معصية العاصين
“Seluruh tugas dan kewajiban agama yang diemban manusia dimaksudkan untuk memberikan kemaslahatan kepada hamba-hamba Allah di dunia dan di akhirat”.
Yang kedua, Kemandirian. Kemandirian adalah ketaktergantungan pada kepada manusia. Ketergantungan manusia hanyalah kepada Allah saja karena semua yang ada di alam semesta adalah milik-Nya dan Dia menganugerahkannya secara cuma-cuma kepada semua ciptaan-Nya, yang percaya maupun yang mengingkari-Nya, yang baik maupun yang jahat. Allah memberi mereka nikmat yang tak terhingga. Kasih Sayang Allah melampaui murka-Nya.
Syeikh Ibn ‘Athaillah, sang sufi master menyatakan :
لا تَرْفَعَنَّ إلى غَيْرِهِ حاجَةً هُوَ مُوْرِدُها عَلَيْكَ. فَكَيْفَ يَرْفَعُ غَيْرُهُ ما كانَ هُوَ لَهُ واضِعاً مَنْ لا يَسْتَطيعُ أَنْ يَرْفَعَ حاجَةً عَنْ نَفْسِهِ فَكَيْفَ يَسْتَطيعُ أنْ يَكونَ لَها عَنْ غَيْرِهِ رافِعاً.
“Tak seyogyanya kau tengadahkan tanganmu kepada selain Dia. Dialah yang akan mengantarkan kepadamu permohonanmu. Bagaimana mungkin selain Tuhan lebih unggul daripada Dia, padahal semenjak awal selain Dia menundukkan diri di hadapan-Nya. Bagaimana mungkin selain Dia lebih unggul daripada Dia?”.
Pesantren dan para kiyai “dulu” hanya menggantungkan diri kepada Tuhan, Allah Swt, dengan bekerja sungguh-sungguh dan tulus bersama masyarakat dan hidup seperti dan sebagaimana rakyat.
Gus Mus berkali-kali menyebut kata “dulu”. Ini kata yang indah, begitu halus. seyogyanya hadirin bisa menangkap maksudnya. Bukankah begitu Syeikh Kiyai Ahmad Mustofa Bisri ?