Kehebatan Gerakan Shalat Menurut Jalaluddin Rumi
HIDAYATUNA.COM – Dalam ajaran Islam, shalat merupakan ibadah yang paling utama serta merupakan Rukun Islam yang kedua. Shalat lima waktu merupakan ibadah paling pertama yang akan dihisap di akhirat kelak.
Shalat juga menjadi salah satu aspek utama yang dapat mengukur ketetakwaan seorang hamba di hadapan Allah Ta’ala. Perintah sholat diturunkan secara mutlaq karena langsung Allah perintahkan ketika Rasulullah Saw. melaksanakan Isra’ dan Mi’raj.
Sebagaimana dalam Qur’an surat Thaha ayat 132:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقاً نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
Artinya: Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.
Shalat sebagai ibadah tidak hanya sebuah kewajiban yang telah diatur sesuai dengan syari’ah, tetapi sholat merupakan sebuah kebutuhan bathiniyah bagi setiap Mu’min karena esensi spiritual yang mampu menjadi sebuah healing yang dapat mengobati kegundahan hati.
Jalaluddin Rumi melalui kitab Matsnawi Ma’nawi menjelaskan bahwa jika seorang hamba memahami dan merenungi hakikat shalat, maka ia akan merindukan shalat itu sebagai sebuah safar menuju perjumpaan dengan Rabb Azza wa Jalla.
Secara panjang Rumi menjelaskan bahwa ketika seorang hamba melafadzkan takbiratul ihram, ia sedang berikrar seperti Nabi Ismail AS. yang telah menyembelih ego dalam hatinya. Takbir merupakan esensi dari menjadi seorang hamba adalah menjadi rendah hati.
Ketika seorang hamba melaksanakan shalat dalam keadaan berdiri, itu seperti mengimajinasikan kondisi ketika di Padang Mahsyar. Di Padang Mahsyar Allah akan meminta pertanggung jawaban seorang hamba terhadap semua perbuatan yang mereka lakukan seluruh anggota tubuhnya.
Maka disaat itu juga karena rasa malu, hamba tersebut akan malu dan tertunduk yang diesensikan dengan gerakan rukuk dan bertasbih. Setelah itu Allah memerintahkan kembali hambanya untuk menjawab, tapi karena ia tidak mampu menjawab ia pun kembali tertunduk dan malu yang diesensikan dengan gerakan sujud, duduk ifthirasy, hingga tahiyat.
Seorang hamba dalam sholat memberikan salam dan bertawasshul kepada Nabi dan orang-orang saleh agar mendapatkan syafaa’at. Karena ia sadar bahwa segala perkataan dan perbuatan tidak berarti tanpa syafa’at orang-orang yang menjadi kekasih Allah.
Makna transendensi dalam filosofi shalat dalam pemikiran Rumi adalah bagaimana seorang hamba dapat menyadari bahwa ia memiliki banyak kekurangan dan harus mengevaluasinya agar menjadi seorang hamba lebih baik lagi. Pemikiran ini selaras dengan apa yang terkandung dalam QS. Al-Ankabut ayat 45:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
Artinya: Dan dirikanlah shalat, karena sesungguhnya shalat dapat mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.
Kemudian Rumi juga mengibaratkan bahwa seorang hamba yang shalat seperti seorang gembala yang sedang menjaga gembalanya dari bahaya ancaman serigala. Serigala disini diartikan sebagai nafsu dan amarah seorang manusia yang selalu mengganggu dan menghalagi kestabilan batin seorang hamba.
Nafsu merupakan suatu fitrah sekaligus ujian agar seorang hamba dapat dikatakan lulus dan telah berhasil meningkatkan kualitas keimanannya. Oleh sebab itu Rumi menuturkan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai seorang hamba sejati dan akan meraih kebahagiaan yang hakiki apabila ia berhasil mengalahkan nafsu dan keegoisan dalam benak dirinya sendiri.
Rumi juga menjelaskan bahwa seseorang yang dapat menjaga shalatnya akan terhindar dari kemarahan yang tidak terkontrol, nafsu syahwat yang mudah memuncak serta ketamakan dan kesombongan dalam hatinya.
Dalam hal ini Rumi berusaha menyampaikan bahwa menjaga shalat merupakan aspek utama yang dapat membantu seseorang mengenali dan memperbaiki diri. Shalat sebagai sebuah ibadah ritual memberikan kontribusi dalam dimensi sosial dan spiritual sebagaimana misi utama ajaran Islam yaitu Rahmatan lil ‘Alamin.