Kegalauan Gus Ulil Atas Derasnya Kajian Islam Oleh Para Sarjana Barat

 Kegalauan Gus Ulil Atas Derasnya Kajian Islam Oleh Para Sarjana Barat

Gus Ulil Bersyukur Pro Kontra Perayaan Maulid Sudah di Tahap Saling Menghargai (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Cendekiawan muslim Indonesia, Ulil Abshar Abdalla tampak tak bisa menutupi kegalauannya terhadap semakin produktifnya para sarjana Barat dalam memproduksi mereka terhadap kajian Islam dewasa ini. Dalam utasnya, Gus Ulil sapaan akrabnya mengajukan pertanyaan besar apakah kesarjanaan Barat tentang Islam patut disambut dengan gembira?

“Hampir setiap bulan terbit buku baru tentang tema Islam oleh sarjana Barat, dengan kualitas yang umumnya keren dan kerap ‘thought provoking’. Tetap saya tak bisa menyembunyikan perasaan ambigu dan ‘galau’ menghadapi hal ini,” tulis Gus Ulil di akun twitter pribadinya @ulil, dikutip Senin (1/3/2021).

Di satu pihak, dirinya mengaku sangat menikmati buku-buku baru tentang Islam oleh sarjana Barat yang sering disebut Islamicist atau Arabist ini (sebutan “orientalis” sudah ditinggalkan saat ini). Bahkan saking banyaknya, ia mengaku sampai kerepotan untuk mengikuti derasnya publikasi hasil kajian Islam mereka.

“Setiap membaca karya-karya baru ini, saya kerap “mengumpat” dalam hati, “Jancuk, kok sarjana2 bule ini selalu bisa menemukan hal-hal baru dalam kajian Islam ya? Kenapa hal seperti ini tidak bisa dilakukan sarjana muslim sendiri?”,” ungkap Gus Ulil.

Kalau sudah begini lanjut dia, “Timbullah kejengkelan pada diri saya,” sambungnya.

Kesedihan Gus Ulil

Sementara di sisi lain, dirinya juga sedih. Di mana dunia Islam, dengan seluruh kompleksitas sejarah dan situasi sosialnya, saat ini seperti menjadi “ladang eksploitasi” baru bagi para sarjana Barat.

“Mereka dengan “seenaknya” melakukan riset di dunia Islam, memberikan tafsiran atasnya, dan sebagainya,” jelasnya.

Para sarjana Barat itu menikmati fasilitas dana yang amat besar untuk melakukan penelaahan atas tanah-tanah Islam dan masyarakatnya. Privilege ini sama sekali tidak dimiliki oleh sarjana Muslim sendiri di “rumah” mereka.

“Sedih banget kan?” ungkapnya.

“Pada titik tertentu, saya merasa: bahkan untuk memahami diri sendiri, kadang kita, orang Muslim, butuh tulisan sarjana-sarjana Barat tentang dunia Islam. Saya langsung ingat esai lama Gayatri Spivak yg membuat “terbelalak” banyak orang: “Can the Subaltern Speak?”,” sambungnya.

Baru-baru ini, Gus Ulil membaca artikel dari David Shivanoff, seorang sarjana ahli ushul fiqh (Islamic hermeneutic) tentang kitab kecil yang banyak diajarkan di pesantren: Matn al-Waraqat, karya guru Imam Ghazali, yaitu Imam al-Haramain. Kitab tipis ini adalah tentang ushul fiqh.

“Tentu saja, saya menikmati artikel Shivanoff itu (ia lulusan Emory University, Atlanta, tempat mengajar Abdullagi Ahmed An-Naim). Tetapi saya juga bertanya-tanya: kenapa sarjana Muslim tidak menulis artikel keren seperti ini tentang kitab Waraqat?” jelasnya.

Apalah sarjana Barat lebih paham Waraqat? Gus Ulil mengaku tak bisa mengelak dari perasaannya tersebut. Bahkan dalam kajian Islam pun, umat Islam tak bisa “berdaulat”.
“Mereka tampaknya harus “diajari” dulu oleh para sarjana bule tentang bagaimana membaca masa lalu mereka sendiri. Saya, jika sudah sampai di sini, langsung sedih dan mellow,” jelasnya.

Romandhon MK

Peminat Sejarah Pengelola @podcasttanyasejarah

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *