Kedudukan Perempuan dalam Pandangan Islam
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sebagai makhluk ciptaan Tuhan sekaligus makhluk yang hidup dalam ruang sosial, perempuan memiliki beberapa hak dan kewajiban.
Hak dan kewajiban tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip keadilan yang merupakan salah satu dasar atau tiang agama dan ketetapan syariat Islam.
Prinsip keadilan di sini merupakan prinsip fundamental yang melahirkan keserasian antara pertimbangan akal dan ketetapan syariat Islam.
Dalam artian bahwa aturan agama adalah apa yang dituntut oleh akal dan keadilan.
Dalam hal antara suami istri, hak dan kewajiban di antara keduanya memiliki hubungan kemitraan.
Contohnya adalah pernah ada sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang hak istri atas suami.
Nabi menjelaskan bahwa hak istri merupakan kewajiban suami yang harus dipenuhi. Kemudian Nabi Muhammad lebih menegaskan lagi bahwa hak istri di anataranya ialah kewajiban suami untuk tidak berlaku kasar, tidak menjelekkan atau merendahkan dan tidak akan meninggalkan rumah.
Dalam Q.S. At-Taubah ayat 71 dijelaskan bahwa antara perempuan dan laki-laki menjadi penolong bagi sesamanya, berikut kutipan ayat tersebut:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ
الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah ayat 71)
Sementara dalam Q.S. Ali Imran ayat 195 dijelaskan pula bahwa dalam beribadah dan beramal saleh, tiada pembedaan antara laki-laki dan perempuan.
Semua amal perbuatan yang dilakukan baik laki-laki ataupun perempuan dinilai berdasarkan amaliyahnya, bukan jenis kelamin atau gendernya. Berikut kutipan Q.S. Ali Imran ayat 195:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ ۖ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
Artinya:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain…” (Q.S. Ali-Imran ayat 195)
Kemudian Allah Swt juga berfirman dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 19 tentang perintah bagi laki-laki agar tidak membuat perempuan kesulitan.
Dari sini juga terlihat bahwa Islam menyatakan dengan tegas dari ayat tersebut bahwa perempuan juga memiliki hak untuk diperlakukan dengan baik, tidak hanya lelaki saja yang dielu-elukan. Berikut kutipan Q.S. An-Nisa’ ayat 19:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ
بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
Terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An Nisa: 19)
Dalam pandangan Islam, laki-laki maupun perempuan dapat menjadi mitra sejajar yang harmonis.
Karena memang tidak dapat dipungkiri bahwa di antara laki-laki dan perempuan itu sendiri memiliki perbdedaan dalam tataran biologis yang mana hal tersebut terkadang memang berimplikasi terhadap peran perempuan.
Namun hal tersebut biasanya selalu terkait dengan konteks sosial-antropologis. Secara garis besar, perempuan memiliki dua kedudukan utama yakni sebagai anggota keluarga dan sebagai anggota masyarakat.
Perempuan sebagai anggota keluarga dapat berperan sebagai anak, ibu, serta istri. Perempuan sebagai ibu tentunya menjadi peran yang paling utama dan tidak perlu diperdebatkan lagi.
Dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga, perempuan memiliki hak untuk memilih, hak untuk mengajukan cerai kepada suami, hak untuk mengatur urusan rumah tangga.
Di samping hal tersebut, perempuan juga memiliki kewajiban untuk mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak, serta menaati suaminya.
Perempuan sebagai anggota dari masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Perempuan juga dapat menjadi pemimpin.
Hal tersebut berakar dari status manusia sebagai khalifah di muka bumi. Maka dalam konteks sosialnya nanti, tinggal dilihat saja manakah yang lebih kompeten untuk menjadi pemimpin, apakah perempuan atau laki-laki.
Jadi yang lebih dititikberatkan adalah pada kompetensi individunya, bukan pada jenis kelaminnya. Hal tersebut mungkin masih sulit diwujudkan mengingat budaya yang sudah mendarah daging dari dahulu adalah budaya yang cenderung patriarkis.
Namun hal tersebut bukan berarti menjadi hal yang mustahil apabila semua pihak berusaha untuk mewujudkannya.
Menurut Nasarudin Al-Qur’an justru mengisyaratkan adanya kesetaraan gender dengan argumentasi sebagai berikut:
1). Al-Qur’an menyebut Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba (Q.S. Al-Dzariyat ayat 56)
2). Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di Bumi (Q.S. Al-Baqarah ayat 30)
3) Laki-laki dan perempuan menerima janji primordial (Q.S. Al-A’raf ayat 172), dan lain sebagainya.
Atas dasar argumentasi-argumentasi itu, pencitraan ideal Al-Qur’an tentang perempuan menurut Nasarudin, ternyata agak jauh dari pemahaman mainstream atau tradisional Islam selama ini yang seringkali membagi peran laki-laki dan perempuan secara dikotomis; publik adalah ranah kekuasaan laki-laki sementara perempuan cukuplah di ranah domestik dan menjadi kanca wingking.
Justru perempuan ideal dalam dideskripsikan Al-Qur’an memiliki profil dan tipologi yang beragam; seperti Ratu Bilqis, perempuan super yang memiliki kekuasaan politik yang otonom dan madiri; perempuan yang memiliki kemandirian ekonomi seperti di wilayah Nabi Syuaib Madyan; Asiyah perempuan yang berani mengambil peran sebagai oposisi yang kritis dan berani untuk suaminya sendiri Fir’aun; Maryam, single mother dan perempuan yang berani menantang opini publik dan lainnya.
Menurut Nasarudin, Al-Qur’an ternyata tidak tegas menyatakan dukungan terhadap kedua paradigma gender baik nature maupun nurture.
Al-Qur’an hanya mengakomodir unsur-unsur tertentu yang terdapat dalam dua teori yang sejalan dengan prinsip-prinsip universal Islam.
Secara umum Al-Qur’an mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan tetapi perbedaan itu bukanlah diskriminasi yang menguntungkan salah satu pihak dan memarjinalkan pihak yang lain.
Perbedaan itu diperlukan justru untuk mendukung obsesi Al-Qur’an tentang kehidupan harmonis, seimbang (ekuivalen), adil, aman, tentram serta penuh kebajikan. []