Kecintaan Uwais Al-Qarni Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Pada zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, ada seorang pemuda saleh yang memiliki keistimewaan, Uwais Al-Qarni namanya.
Bukan hanya pada keshalihannya tetapi juga kerupawanan dan akhlaknya.
Pemuda itu bermata biru, berambut merah, pundaknya lapang panjang dan berpenampilan cukup tampan.
Ia adalah Uwais Al-Qarni. la ahli membaca Al-Quran dan sering merasakan keterharuan luar biasa saat membaca Al-Quran sehingga air matanya tidak pernah mengering.
Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim. Ia tak punya sanak keluarga kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh.
Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, Uwais Al-Qarni bekerja sebagai penggembala kambing.
Hasil kerjanya itu hanya cukup untuk menopang kehidupannya yang sangat sederhana. Bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu orang-orang miskin di sekitarnya.
Ya, pekerjaan sehari-hari Uwais Al-Qarni adalah menggembala kambing dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta.
Namun, semua pekerjaan itu tidak membuat Uwais Al-Qarni melalaikan ibadahnya.
Ia tetap berpuasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya. Ketika Islam datang, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam mengetuk pintu hati masyarakat Yaman untuk menyembah Allah subbanahu wa taala.
Agama yang penuh rahmat itu sangat menarik hati Uwais Al-Qarni sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman.
Ia segera memeluknya seerat mungkin. Ya, selama ini hati Uwais Al- Qarni selalu merindukan datangnya kebenaran.
Ketika orang-orang Yaman memeluk Islam, banyak di antara mereka pergi ke Madinah untuk berkhidmat kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasalam secara langsung.
Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam.
Uwais Al-Qarni sangat sedih setiap kali melihat orang-orang yang baru datang dari Madinah.
Ia merasa iri dengan keberuntungan yang telah mereka raih. Mereka diberi anugerah untuk bertemu dengan kekasih Allah subhanahu wa taala secara langsung.
Pada akhirnya, kecintaan Uwais Al-Qarni kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menumbuhkan kerinduan yang kuat.
Tapi apalah daya, ia tak punya bekal untuk ke Madinah. Pada saat perang Uhud, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam mengalami cedera pada giginya.
Gigi Rasulullah shalallahu alaihi wasalam patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya.
Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais Al-Qarni. Ia segera memukul giginya.
Dengan batu hingga patah sebagai bukti kecintaannya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasalam sekalipun ia belum pernah melihat Rasulullah shalallahu alaihi wasalam.
Setelah berbulan-bulan, kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi.
“Kapankah aku dapat menziarahi Rasulullah dan memandang wajahnya dari dekat?” kata Uwais Al-Qarni dalam hati.
“Tapi, bagaimana dengan Ibu jika aku bersikeras mengunjungi Rasulullah sbalallahu. alaihi wasalam di Madinah?”
Hatinya semakin gelisah ketika memikirkan itu. Ia tidak menahan rindu namun tidak pula tega meninggalkan ibunya sendirian.
Karena tidak tahan dengan beban dalam jiwanya, akhirnya Uwais Al-Qarni berbicara kepada ibunya.
“Ibu,” kata Uwais Al-Qarni.
“Aku sangat ingin bertemu Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dan mendengarkan sabda-sabdanya secara langsung. Tetapi, aku tidak akan tega meninggalkan engkau sendirian di sini.”
Air mata ibu tiba-tiba menetes disertai senyuman yang indah. Nampaknya ia terharu dengan permohonan anaknya.
“Pergilah, Wahai anakku!” kata Ibunya.
“Temuilah Rasulullah di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang.”
Dengan penuh kegembiraan ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan.
Ia juga menitipkan ibunya kepada salah seorang tetangannya agar menemani ibunya selama ia pergi.
Setelah melewati perjalanan kurang lebih empat ratus kilometer, tibalah Uwais Al-Qarni di kota Madinah.
Ia segera menuju ke rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam dan mengetuk pintu rumahnya.
Tetapi, waktu itu Rasulullah tidak bisa ia jumpai karena sedang berangkat berperang.
Betapa kecewa hati Uwais Al-Qarni. Ya, dari jauh ia datang ingin berjumpa dengan Rasulullah, tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Rasulullah sedang berperang.
“Apakah aku harus menunggu kedatangannya?” kata Uwais Al- Qarni dalarn hati.
“Tapi, kapankah Rasulullah pulang? Sedangkan ibuku sudah menunggu kepulanganku?”
Tetapi, karena ketaatan kepada ibunya, ia akhirnya memilih pulang walaupun tanpa bertemu Rasulullah sbalallahu alaihi wasalam.
Sepulangnya dari perang, Rasulullah menanyakan kepada Siti Fatimah tentang kedatangan orang yang mencarinya.
Rasulullah menjelaskan kepada Siti Fatimah bahwa Uwais Al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya.
Ia adalah penghuni langit. Mendengar sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, Siti Fathimah dan para sahabatnya tertegun.
Belum selesai mereka tertegun, Rasulullah bersabda,
“Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah di tengah-tengah telapak tangannya, di sana ada tanda putih.”
“Suatu ketika,” Rasulullah melanjutkan sabdanya sambil memandang Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab, “Apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah dea dan istighfarnya.
Dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi.”
Pada masa setelah wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, yakni pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Umar bin Khattab teringat akan sabda Rasulullah tentang Uwais Al-Qarni sang penghuni langit.
Ia segera mengajak Ali bin Abi Thalib untuk mencari Uwais Al-Qarni.
Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, mereka selalu me nanyakan tentang Uwais Al-Qarni apakah ia turut bersama mereka.
Di antara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh dua sahabat Rasulullah yang mulia itu.
Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka.
Suatu ketika, Uwais Al-Qarni turut bersama salah satu rombongan kafilah menuju kota Madinah.
Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib mendatangi mereka.
“Apakah ada di antara kalian Uwais Al-Qarni?” tanya Umar bin Khattab.
“Benar, sahabat Rasulullah,” kata perwakilan rombongan itu.
“Uwais Al-Qarni bersama kami. Ia sedang menjaga unta-unta kami di perbatasan kota.”
Mendengar jawaban itu, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib bergegas pergi menemui Uwais Al-Qarni.
Sesampainya di kemah tempat Uwais Al-Qarni berada, Khalifah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib memberi salam.
“Assalamu’alaikum,” keduanya mengucap salam.
“Wa’alaikum salam,” jawab Uwais Al-Qarni lalu menjabat tangan Umar bin Khattab.
Sewaktu berjabat tangan, Khalifah Umar bin Khattab segera membalikkan tangan Uwais Al-Qarni untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangannya. Dan, ternyata di telapak tangannya memang ada tanda putih. “Siapa namamu?” Tanya Umar bin Khattab.
“Abdullah,” jawab Uwais Al-Qarni. “Kami juga Abdullab, yakni hamba Allah,” kata Ali bin Abi Thalib.”
“Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?”
“Nama saya Uwais Al-Qarni,” jawab Uwais Al-Qarni.
“Doakan kami berdua,” kata Umar bin Khattab. “Aku Ummar bin Khattab dan ini saudaraku, Ali bin Abi Thalib.”
Uwais Al-Qarni terkejut mendengar dua nama itu disebutkan. Tidak menyangka ia didatangi oleh dua sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasalam yang mulia.
“Hambalah yang barus meminta doa, wahai Sahabat Rasulullah yang mulia.” Kata Uwais Al-Qarni.
“Tidak. Kami datang ke sini untuk mohon doa dan istighfar darimu,” kata Umar bin Khattab dengan tegas.
Uwais Al-Qarni akhirnya mengangkat kedua tangannya setelah didesak kedua sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasalam itu. Ia ber- doa dan membacakan istighfar.
“Engkau akan mendapatkan uang negara dari Baitul Mal untuk jaminan hidupmu,” kata Umar bin Khattab.
“Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang.
Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.” Kata Uwais Al-Qarni memohon.
Setelah kejadian itu, nama Uwais Al-Qarni kembali hilang tak terdengar kabar beritanya.
Ia menjalani kehidupan yang sufi di jalan Allah Subhanabu wa ta’ala, tanpa gegap gempita ketenaran dan haus akan harta benda. []