Mengenal Ki Bagus Hadi Kusumo

 Mengenal Ki Bagus Hadi Kusumo

Ki Bagus Hadikusumo merupakan tokoh penting yang namanya sudah tak asing bagi masyrakat Indonesia, khususnya bagi mereka yang tinggal di Yogyakarta. Ki Bagus Hadikusumo lahir pada 24 November 1890 di kampung Kauman, Yogyakarta dengan nama R. Hidayat. Ki bagus adalah putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan agama Islam di Kraton Yogyakarta.  

Ki Bagus mendapat pendidikan di sekolah rakyat dan pendidikan agama di ponsok pesantren traditional Wonokromo di Yogyakarta. Ki Bagus sangat mahir dalam sastra Jawa, Melayu dan Belanda, kemahiran ini ia dapat dari seseorang yang bernama Ngabehi Sasrasoeganda. Ki Bagus juga mahir dalam Bahasa Inggris yang ia pelajari dari seorang tokoh Ahmadiyah bernama Mirza Wali Ahmad Baig. 

Dalam perjalanan karirnya, ia pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, Anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926)  dan terakhir menjabat sebagai Ketua Umum Muhammadiyah ke-5 selama 10 tahun sejak 1944-1953. Kiprah Ki Bagus di Muhammadiyah semakin besar saat Mas Mansoer mengajaknya menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah pada 1937.  

Dalam menjalankan tugasnya di Muhammadiyah, ia didampingi oleh Haji Ahmad Badawi. Ia menggantikan Mas Mansoer karena menjadi salah satu Pimpinan Poesat Rakjat (Poetera) di Jakarta. Sebagai salah satu tokoh terkemuka di Jawa, pada Februari 1945, Ki Bagus diundang ke Jepang untuk bertemu dengan Kaisar Hirohito. Belakangan, Ki Bagus menjadi anggota BPUPKI yang bertugas merumuskan undang-undang dasar. Beliau adalah tokoh yang paling bersemangat yang menginginkan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam sila satu Piagam Jakarta, atau Pancasila.

Kala itu, ketegangan terjadi di antara pemuka-pemuka agama dalam perumusan dasar negara. Titik krusial terjadi saat bunyi sila di atas dinilai hanya mengakomodasi kepentingan golongan Islam semata. Sehingga, masyarakat di wilayah Indonesia Timur yang notabene adalah pemeluk agama kristen meminta poin tersebut diganti. Potensi perpecahan pun muncul bila sila ini tetap ada, padahal saat itu umat Islam sedang gigih mengusung konsep Negara Islam sebagai dasar negara. 

Dalam sidang BPUPKI yang dilaksanakan pada 31 Mei 1945, Ki Bagus melontarkan konsep “membangun negara di atas ajaran Islam”. Bagi Ki Bagus, konsep tersebut merupakan konsep terbaik bagi Indonesia, apalagi jika melihat kultur dan histori pada saat itu, dimana Islam telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat.

Sesudah Piagam Jakarta ditetapkan, Ki Bagus mengusulkan frasa “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus dan hanya menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.” Namun usul ini ditolak oleh Soekarno dengan cangung yang saat itu menyadari ancaman perpecahan bila sila tersebut tetap di adakan. 

Presiden Soekarno kemudian meminta Mr. Muhammad Hasan untuk berbicara dengan Ki Bagus sehari setelah Proklamasi dan sebelum sidang PPKI. Dalam pembicaraan tersebut, Hasan memberikan tekanan pada pentingnya kesatuan Nasional kala itu. Adalah sangat mutlak untuk tidak memaksa minoritas-minoritas kristen masuk dalam lingkaran Belanda yang sedang mencoba kembali masuk ke Indonesia. 

Ki Bagus kemudian mempertimbangkan kembali apa yang akan menjadi keputusannya, dan demi kemaslahatan yang lebih besar, dengan berbesar hati, mau tak mau Ki Bagus menerima usulan untuk mengubah poin tersebut. Dan pada akhirnya, tujuh kata yang menyerukan tentang syariat Islam pun dihapus dan diganti dengan redaksi yang kita sekarang “ Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Sebagai tokoh, Ki Bagus menerbitkan beberapa buku dalam bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan Ki Bagus seorang ahli dalam bahasa Jawa, dan karena banyak dari muridnya dari golongan priyai dan pensiunan pegawai yang meminta agar dapat meresapi ketika membaca karya-karya Ki Bagus.

Beberapa karya beliau adalah :

  1. Tafsir Juz Amma
  2. Ruhul Bayan
  3. Katresnan Jati
  4. Pustaka Hadi
  5. Pustaka Islam
  6. Pustaka Ihsan

Ki Bagus Hadikusumo meninggal pada 4 November 1954 di Jakarta pada umur 63 tahun. Beliau meninggal dan dinobatkan sebagai pahlawan nasional pada 5 November 2015. 

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *