Keberpihakan Tafsir Hermeneutika Alquran

Ayat Tentang Poligami dan Ragam Penafsirannya (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM – Alquran, sebagai pedoman umat muslim direspon dengan sangat variatif oleh umat manusia lintas generasi, ruang dan waktu. Respon-respon itu pada akhirnya memunculkan beragam produk yang berangkat dari Alquran.
Pun bagi akademisi dan peneliti, berbagai metode dimunculkan demi memperoleh pembacaan Alquran yang lebih segar dan sesuai dengan persoalan zaman.
Satu dekade lalu, hermeneutika sebagai metode baru dalam menafsirkan teks, mulai digunakan untuk mengkaji kitab suci Alquran. Penggunaan metode hermeneutika ini di satu sisi memang menuai banyak dukungan.
Hal ini ditengarahi karena ada harapan untuk memperoleh makna dan semangat baru dalam kajian-kajian yang berkaitan dengan Alquran.
Hassan Hanafi dibukunya yang telah dialihbahasakan, Dialog Agama dan Revolusi (1994) menerangkan bahwa hermeneutika bukan hanya sekadar ilmu interpretasi atau pemahaman semata.
Tetapi hermeneutika merupakan ilmu yang dapat mengudar penerimaan wahyu sejak dari level perkataan sampai pengejawantahannya di Bumi manusia.
Lebih jauh kata Hassan Hanafi,
“Ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.”
Dari sini menurutnya Alquran bisa digunakan sesuai dengan konteks zamannya.
Sementara itu, Farid Esack di bukunya Qur’an: Pluralism and Liberation (1997) memberi penekanan yang hampir mirip dengan Hassan Hanafi.
Bagi Farid Esack, hermeneutika telah dilakukan oleh umat muslim sejak lama terutama saat berhadapan dengan pembacaan-kajian Alquran.
Pendapat yang barangkali tidak pernah terpikirkan oleh kita sebagai umat muslim. Pendapat itu didasarkan pada bukunya yang bisa ditarik benang merahnya menjadi tiga hal yaitu sebagai berikut:
Pertama, problematika hermeneutika melulu dikaji dan dialami, kendati tidak pernah didefinisikan secara eksplisit. Menurut Farid Esack, hal ini dibuktikan dengan adanya kajian seperti asbabun-nuzul dan nasakh-mansukh.
Penanda kedua karena adanya perbedaan komentar tentang Alquran dengan berbagai teori, aturan, atau metode sejak munculnya literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir.
Terakhir, tafsir tradisional yang kerap dimasukkan kategori seperti misalnya tafsir syiah, tafsir muktazilah, tafsir hukum dan tafsir-tafsir lainnya menunjukkan tentang keberadaan kelompok tertentu.
Produk penafsiran dari kelompok-kelompok ini juga mengindikasikan adanya ideologi tertentu, periode tertentu, serta horison sosial tafsir tertentu.
Ketiga hal ini menunjukkan kesadaran umat muslim tentang historisitas pemahaman yang sifatnya cenderung pluralistik. Berbagai tafsir memiliki konteksnya masing-masing yang tidak dapat dilepaskan dari produk tafsir yang dihasilkan.
Kemudian di era modern, nama-nama seperti Ahmad Khan, Amir Ali, Ghulam Ahmad Parves, Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd menjadi figur yang berperan besar dalam perkembangan tafsir Alquran bermetode hermeneutika.
Kendati ada pola yang berbeda dalam titik berangkatnya, namun nama-nama tersebut banyak mewarnai khazanah ilmu tafsir Alquran di dunia muslim dewasa ini.
Saya rasa penggunaan metode hermeneutika dalam mengkaji Alquran dalam konteks tertentu cukup relevan. Sebab ayat-ayat yang termuat di dalamnya tidak hanya berhenti pada teks dan konteksnya saja.
Mudahnya, teks berarti kata atau redaksi dari ayat itu sendiri. Sedangkan konteks berarti bagaimana kronologi ayat tersebut turun, untuk siapa, dan orientasinya.
Hermeneutika muncul untuk mengatasi keterbatasan khazanah tafsir Alquran dengan menambahkan variabel kontekstualisasi. Variabel ini bisa menjawab tanya, “bagaimana teks yang diproduksi dan berasal dari masa silam bisa dipahami dan memiliki nilai manfaat untuk umat muslim masa kini?”. Pertanyaan ini tentu saja relevan dengan catatan Alquran shalih li kulli zaman wa makan. Bukankah begitu?