Keberagaman Dalam Indahnya Masjid Raya Ganting Padang

 Keberagaman Dalam Indahnya Masjid Raya Ganting Padang

HIDAYATUNA.COM – Masjid Raya Ganting, terletak di kelurahan Ganting, Kecamatan Padang Timur, Sumatra Barat, Indonesia.

Sejarah

Lokasi masjid ini pada awalnya berada di tepi batang (sungai) Harau di kaki Gunung Padang yang berjarak empat kilometer dari lokasi saat ini. Saat itu, bangunan masjid di lokasi lama dihancurkan Belanda pada 1790 karena mau membuat jalan menuju pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur). Itulah yang menjadi alasan kepindahan masjid ini ke lokasi yang sekarang.

Pembangunan masjid ini diprakarsai oleh tiga orang tokoh Kampung Gantiang dari suku Chaniago yang bernama Angku Gapuak seorang saudagar, Angku Syeikh H.Uma yang merupakan kepala kampung Ganting dan Angku Syeikh Kapalo Koto seorang ulama. Selanjutnya, ketiga tokoh tersebut itu menghubungi para saudagar untuk meminta bantuan dana. Dengan maksud yang sama, mereka juga menghubungi teman-teman mereka di Sibolga, Medan dan Aceh serta melibatkan unsur ulama di Minagkabau. Dengan perjuangan panjang dan didorong oelh semangat masyarakat, maka berdirilah masjid yang diidam-idamkan.

Dengan ukuran 30×30 m, pembangunan masjid ini penuh dengan lika-liku, keringat dan air mata. Betapa tidak, pembangunan masjid ini dilakukan di tengah desingan peluru senjata kolonial Belanda. Inilah salah satu hal yang menghambat pembangunannya. Lahannya yang ditempati saat ini pun adalah wakaf dari tujuh suku yang diserahkan melalui Gubernur Jenderal Ragen Bakh, penguasa Hindia Belanda di Sumatera Barat pada saat itu.

Pembangunan

Masjid ini pada awal pembangunannya hanya bangunan berupa dinding kayu dengan atap berbahan rumbia, namun kemudian setelah pindah ke lokasi baru pada 1805, masjid ini dibangun kembali dengan pondasi yang lebih baik. Masjid ini awalnya dikenal dengan Masjid Kampung Gantiang dengan bangunan berupa surau berlantaikan batu dengan dinding berplester tanah dan atap berundak-undak.

Usai pembangunan tersebut, sekitar 28 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1833 terjadi gempa bumi di Padang yang menimbulkan Tsunami. Masjid ini menjadi salah satu bangunan yang selamat saat gempa bumi dan tsunami menerjang Sumatera Barat. Beberapa pilar dan dindingnya retak namun tidak menghancurkan bangunan masjid ini, hanya saja lantai masjid ini banyak mengalami kerusakan, sehingga kemudian lantai batu masjid ini diganti dengan lantai campuran kapur dan kulit kerang.

Bangunan masjid pun bertahan seperti ini hingga memasuki tahun 1900. Pada tahun 1900, pembangunan masjid ini mendapat perhatian dari Komandan Corps Genie Belanda berpangkat kapten wilayah Gouvenement Sumatra’s Westkust. Kapten ini membantu pemasangan tegel (marmer) dan juga mendatangkan tukang dari pihaknya. Pemasangan tegel ini pun baru selesai pada 1910.

Pada tahun 1910, Belanda membangun pabrik semen di Indarung, Padang. Untuk mentraspor semen ke Pelabuhan Teluk Bayur, Belanda membuka jalan batu melewati tanah Masjid Raya Ganting. Hampir sepertiga dari luas tanah wakaf untuk masjid ini digunakan untuk membuka jalan. Maka, sebagai kompensasi dari penggunaan tanah masjid, Belanda membantu mengembangkan masjid ini melalui Komandan Corps Genie. Pengembangan yang dilakukan berupa perpanjangan bilik muka sepanjang 20 meter dan pembuatan bagian depan masjid bergaya Portugis.

Sementara itu, etnis Cina dibawah komando kapten Lau Chuan-ko ikut mengerahkan tukang-tukangnya untuk mengerjakan pembuatan kubha masjid yang berbentuk persegi delapan seperti vihara. Begitu pula dengan mimbar masjid ini dibuat ukiran kayu mirip ukiran Cina. Di bagian tengah masjid juga dibangun sebuah muzawir, yang berfungsi sebagai tempat mwngumandangkan adzan dan menyambungkan suara imam, sehingga makmum dapat mengikuti gerakan imam. Muzawir ini berbentuk panggung kayu dan berukiran Cina.

Setelah itu pembangunan masjid dilanjutkan pada tahun 1960 dengan pemasangan keramik pada 25 tiang utama yang aslinya terbuat dari bata. Kemudian menara pada bagian kiri dan kanan masjid selesai dibangun pada 1967. Dan kemudian pada 1995 dilakukan pemasangan keramik pada seluruh dinding masjid.


Arsitektur

Masjid ini dibangun di atas tanah seluas 102 x 92,5 meter persegi dengan bangunan persegi seluas 42 x 39 meter persegi. Bangunan terdiri dari serambi muka, serambi samping, mihrab, dan ruang utama. Luas bangunan yang kurang dari seperlima lahan masjid menyisakan halaman yang sangat luas yang dapat menampung banyak jamaah saat sholat Ied. Halaman tersebut dibatasi dengan pagar besi dan berbatasan langsung dengan jalan raya di sebelah timur dan utara, sedangkan di sebelah selatan masjid terdapat beberapa makam, salah satunya adalah makam salah satu inisaiator masjid ini, Angku Syeikh H. Uma.

Perpaduan arsitektur dari berbagai etnis terlihat jelas di masjid ini, seperti Eropa, Cina, Timur Tengah dan Minangkabau. Masjid ini memiliki bentuk atap dengan lima susunan yang berundak-undak dengan puncak kubah berhiaskan mustaka. Terdapat celah untuk pencahayaan di setiap susunan atapnya. Tingkat pertama berbentuk persegi, sedangkan tingkat dua hingga empat berbentuk persegi delapan.

Bangunan masjid ini memiliki dua serambi, yakni serambi samping dan serambi muka, masing-masing serambi berukuran 30 x 4,5 meter persegi dan memiliki dua pintu masuk, yang salah satunya langsung menuju ke tempat wudhu yang terdapat di sisi utara dan selatan. Pada bagian barat terdapat sekatan yang membentuk ribath atau tempat tinggal pengurus masjid yang berukuran 4,5 x 3 m.

Serambi muka berbetuk persegi panjang memiliki enam pintu dari arah timur dan dua pintu dari arah utara dan selatan, yang masing-masing berdaun pintu dan jeruji besi. Terdapat hiasan ganda semu pada enam pintu dan arah timur, kecuali pada bagian tengah yang merupakan mimbar yang menjorok ke depan dengan daun pintu dan jeruji pula. Mimbar berukuran 220 cm x 120 cm ini hanya digunakan pada saat shalat Ied.

Di dinding timur serambi muka, terdapat hiasan ukuran geometri berupa panil-panil berbentuk persegi panjang dan bujur sangkar. Terdapat pula hiasan lengkung yang ditutupi tembok dengan motif cincin dan mata kapak. Tebal dinding sekitar 34 cm dengan tinggi 320 cm. Runagan serambi ini juga dilengkapi dengan tujuh tiang ganda berbentuk silinder dari beton dengan diameter 45 cm. Tiang ini berdiri diatas umpak beton dengan lebar 113 cm, tinggi 70 cm, dan tebal 67 cm.

Ruang utama masjid berbentuk persegi berukuran 30×30 meter persegi dengan empat pintu masuk dan masing-masing dua pintu di sisi utara dan selatan. Pintu berukuran 160 cm x 240 cm tersebut memiliki dua daun pintu dari kayu dengan hiasan lengkung kipas pada ambang atas. Terdapat pula dua daun jendela yang terbuat dari kayu di sisi timur mengapit pintu masuk, dan masing-masing tiga jendela di sisi utara dan selatan. Jendela-jendela tersebut memiliki tinggi 160 cm x 2 m. Seperti pada pintu, di ambang atas jendela juga terdapat lengkungan kipas.

Dinding pada ruang utama terbuat dari beton yang dilapisi keramik, sedangkan lantainya bertegel putih berhias bunga. Di ruang utama terdpat soko guru atau tiang utama yang berjumlah 25, yakni sesuai dengan jumlah nabi dan rasul. Tiang-tiang ini berbentuk segienam dengan diameter 40 sampai 50 cm, dengan tinggi mencapai 420 cm. Tiang-tiang ini terbuat dari bata merah yang dicampur dengan bahan perekat kapur dan putih telur. Semua tiang ini tidak menggunakan tulang besi. Tiang-tiang ini berlapir marmer putih yang berukir kaligrafi nama-nama nabi dan rasul.

Masjid dari Waktu ke Waktu

Masjid Raya Ganting memiliki peran penting dalam sejarah kota Padang. Terutama dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan di Padang. Sejak awal berdirinya, masjid ini difungsikan sebagai tempat bimbingan manasik calon haji. Masjid ini juga menjadi tempat embarkasi haji pertama di Sumatera Barat melalui Pelabuhan Teluk Bayur yang dibuka pada 1895. Semasa Perang Padri, pada tahun 1918 masjid ini sering digunakan para ulama Minangkabau untuk mengadakan pertemuan demi membahas langkah-langkah pemurnian agama Islam dari mistik dan khufarat.

Pada tahun 1921, Abdul Karim Malik Amrullah atau Buya Hamka mendirikan sekolah Thawalib di dalam pekarangan masjid sebagai sarana pendidikan agama bagi masyarakat Padang saat itu, yang alumninya kemudian mendirikan Persatuan Muslim Indonesia (Permi) yang menjadi cikal bakal Partai Masyumi.

Ketika pendudukan Jepang pada tahun 1942, masjid ini pernah dikunjungi oleh Presiden Soeharto yang sata itu ditahan Belanda di Bengkulu yang kemudian diungsikan ke Kutacene. Selanjutnya, Hizbul Wathon yang saat itu bermarkas di masjid ini menjemput Presiden Soeharto untuk dibawa ke Padang dengan menggunakan pedati. Beberapa hari kemudian Presiden Soeharto tiba di masjid ini dan menginap selama beberapa hari di rumah salah satu pengurus masjid. Presiden juga sempat memberikan pidatonya di masjid ini.

Sejak tahun 1950, Masjid Raya Ganting mulai banyak dikunjungi oleh tokoh-tokoh penting, pejabat negara dalam negeri maupun luar negeri. Diantaranya Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX, Wakil Ketua DPR-GR Achmad Syaichu dan Ketua MPRS Abdul Haris Nasution. Sementara itu, tokoh luar negeri yang pernah mengunjungi masjid ini antara lain, Sekretaris negara Malaysia, Pejabat dari Arab Saudi dan Mesir.

Masjid ini dinobatkan sebagai salah satu masjid terindah di Indonesia yang diterbitkan dalam buku 100 Masjid Terindah di Indonesia terbitan PT Andalan Media.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *