Kawruh Begja, Pedoman Hidup Bahagia Ala Ki Ageng Suryomentaram
HIDAYATUNA.COM – Sejatinya kebahagiaan adalah impian setiap orang. Ia yang selalu diharapkan dan menjadi tujuan. Seseorang yang bahagia cenderung ingin selalu dalam kondisi yang sama dalam jangka waktu yang lama.
Hal yang paling mendasar yang perlu kita pahami dari kebahagiaan ialah esensi kebahagiaan itu sendiri. Banyak yang mengejar bahagia sesaat namun menimbulkan penyesalan yang lama.
Adapula yang berkorban dengan kesulitan sementara, berharap mendapatkan kebahagiaan yang abadi. Namun benarkah selamanya kebahagiaan itu hadir dalam hari-hari kita?
Menurut Carl Gustav Jung, “justru kebahagiaan itu akan kehilangan makna jika tidak diimbangi dengan kesedihan.” kalau begitu bahagia seperti apa yang seharusnya kita pahami?
Dalam tradisi keilmuan di Nusantara, Indonesia memiliki banyak tokoh yang menaruh perhatian lebih terhadap aspek psikologis. Salah satunya ialah Ki Ageng Suryomentaram. Beliau merupakan tokoh pemikir yang juga merupakan seorang pangeran dari Sultan Hamengkubuwono VII yang hidup serba kecukupan dan bergelimang harta.
Kehidupan Ki Ageng Suryomentaram
Keberuntungan hidup di lingkungan keraton pada saat itu, tidak membuatnya nyaman. Sebaliknya, lingkungan tersebut malah menjadikannya seorang yang tidak merdeka.
Keprihatinannya akan kehidupan masyarakat di luar lingkungan keraton, membuatnya tak dapat tinggal diam. Oleh karenanya, ia kemudian keluar dari keraton untuk kemudian berbaur dengan masyarakat biasa.
Dalam pengembaraannya, Ki Ageng Suryomentaram selalu menemukan permasalahan-permasalahan pelik di tengah masyarakat yang tentunya membutuhkan solusi. Agar terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis. Ia banyak mengajarkan arti persatuan dengan lebih mengedepankan kesadaran dan pemahaman terhadap diri sendiri.
Kawruh begja, merupakan istilah Ki Ageng Suryomentaram yang mengajarkan agar kita menjadi tatag. Tatag dalam arti bahasa Indonesia ialah tangguh. Ia didapatkan oleh mereka yang paham akan hidup, yaitu berkembang-mengerut, senang-susah, tidak iri, tidak khawatir dan tidak menyesal.
Sesusah apapun ia, pada saatnya akan bahagia. Dan sesenang apapun ia, ada kalanya masalah menimpa dan menjadikannya susah. Maka, orang yang tatag bukanlah ia yang berharap “semoga selalu senang” atau “jangan sampai kita susah.” Akan tetapi, ia yang paham akan irama senang dan susah, lalu disitu ia bisa tabah.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran yang artinya: “Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya dan bergirang hati terhadap orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka. Bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Ali Imran : 170)
Lebih lanjut dalam sebuah hadisnya, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya: “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruh urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, ia bersabar. Itupun baik baginya.” (HR. Muslim)
Kebahagiaan Sejati
Ilmu kebahagiaan semacam itu kiranya harus menjadi kajian penting bagi generasi saat ini. Sering kita temukan bahwa banyak orang yang mengira bahwa kebahagiaan terletak di luar dirinya.
Dengan dalih mencari kebahagiaan, ia sibuk memperhatikan aspek luar dari dirinya sendiri. Alih-alih mendapat kebahagiaan, dirinya malah menjadi korban yang berakhir dengan penyesalan.
Dalam kajian filsafat, Arthur Schopenhauer menyatakan bahwa, “manusia yang paling bahagia adalah ia yang punya kecukupan diri. Dan yang tidak membutuhkan apapun dari luar demi kelangsungan hidupnya. Sebab hal tersebut memperlihatkan ketergantungan, melibatkan bahaya dan membawa masalah.”
Menurutnya, jelas sudah bahwa kebahagiaan kita banyak bergantung pada jati diri kita, pada individualitas kita. Maka dari itu marilah kita berbahagia karena kita bukanlah anak-anak budak melainkan anak-anak orang merdeka.