Kategori dan Batasan Bertetangga dalam Hadis
HIDAYATUNA.COM – Sesuai dengan pengertian tetangga yang telah diuraikan, terdapat beberapa kategori dan batasan tetangga yang dijelaskan oleh para penulis yang berseumber kapada Al-Qur’an dan Hadis. Menurut Muhsin, dalam Islam, tetangga itu hanya ada dua kategori, yakni tetangga dekat dan tetangga jauh. Hal tersebut sebagaimana firman Allah Swt.
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan seseatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tentangga yang dekat, dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Q.S. An Nisa/4:36)
Imam al Qurthubi sebagaimana dikemukakan oleh Yusuf Mahmud, mengatakan bahwa berkaitan dengan tetangga, Allah Swt. telah memerintahkan untuk menjaganya, melaksanakan haknya, dan berpesan untuk menjaga keamanannya. Hal ini sebagaimana dalam kitab-Nya dan melalui lisan nabi-Nya. Tidaklah engkau melihat Allah Swt menegaskan penyebutan tetangga setelah orantua dan kerabat.
Nauf asy Syami berkata, “dan tetangga dekat” orang muslim “dan tetangga jauh” Yahudi dan Nashrani. Dari penjelasan tersebut, kategorisasi tetangga dibatasi oleh hubungan keyakinan atau akidah. Meskipun secara fisik berdekatan, jika berbeda agama termasuk dalam kategori tetangga jauh, dan sebaliknya, meskipun secara zhahir berjauhan tetapi dalam satu keyakinan, maka digolongkan dalam kategori tetangga dekat.
Jauh dekatnya tetangga berdasarkan kategori keyakinan tidak bermakna bahwa seseorang boleh mengabaikan tetangga dekat yang berbeda agama dan lebih mementingkan tetangga jauh karena kesamaan agama. Hak-hak bertetangga sebagaimana dalam ajaran Islam tetap menjadi landasan utamanya.
Dilihat dari haknya, tetangga digolongkan dalam 3 kategori, sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Jabir r.a.,
“Tetangga itu ada tiga macam, tetangga yang mempunyai satu hak saja, dan ia tetangga yang haknya paling ringan. Ada tetangga yang mempunyai dua hak da nada tetangga yang mempunyai tiga hak, inilah tetangga yang paling utama haknya. Ada pun tetangga yang mempunyai satu hak saja, ialah tetangga musyrik, tidak ada hubungan darah dengan dia, dia mempunyai hak betetangga. Adapun tetangga yang mempunyai dua hak, ialah tetangga muslim, baginya ada hak sebagai muslim da nada hak sebagai tetangga. Tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga muslim yang ada hubungan darahnya. Baginya ada hak sebabagai tetangga, hak sebagai muslim dan hak sebagai family.” (H.R. Abu Bakar Al Bazzar).
Ketiga kategorisasi tetangga sebagaimana dalam hadis dari Jabir tersebut, memberikan penjelasan kepada kita bahwa ada batasan-batasa dalam bertetangga yang akan berimplikasi terhadap hak bertetangga. Hal tersebut semata-mata bertujuan untuk membedakan dan mengambil posisi yang tegas posisi agama dalam konteks beribadah dan posisi agama dalam konteks bermuamalah.
Dalam konteks ibadah, ada batasan hak bertetangga yang dibatasi, seperti mengikuti praktik ritual agama, mendoakan atas ampunan dosa, dan semisalnya, maupun hak-hak terkait dengan waris-mewarisi sebagaimana hak bertetangga karena kesamaan agama dan keturunan (nasab).
Lalu bagaimana dengan batasan dalam bertetangga sehingga tetangga digolongkan dalam kategori tetangga jauh dan tetangga dekat dengan adanya dua pendekatan terminology di atas? Al Auza’i berpendapat bahwa batasan tetangga adalah empat puluh rumah dari setiap arah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa bertetangga secara geografis ditentukan oleh bayaknya tetangga yang ada di sekeliling kita hingga sebanyak empat puluh rumah dari setiap sisi agar memudahkan dalam menjalankan hak dan kewajiban. Sedangkan batasan karena aspek psikologis agar tidak terjadi pencampuradukan ajaran agama yang memiliki nilai-nilai ritual.