Kasus ‘Penistaan Agama’ Islam Membelah Prancis Menjadi Dua
Kasus ‘Penistaan Agama’ Islam Membelah Prancis Menjadi Dua. Seperti Apa Kronologinya. Simak Selengkapnya di Bawah Ini
HIDAYATUNA.COM – Beberapa politisi top di Prancis, termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron, telah membela seorang gadis remaja yang menerima ancaman pembunuhan pada bulan lalu setelah gadis itu memposting sebuah siaran langsung di media sosial yang menyerang agama Islam. Postingan itu secara tidak langsung telah menyalakan kembali debat nasional tentang hukum penistaan agama, yang telah berlaku di Prancis selama berabad-abad.
“Hukumnya (di Prancis) sudah jelas, kita memiliki hak untuk menghujat, mengkritik, membuat sindiran karikatur tentang sebuah agama,” kata Macron dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Le Dauphine Libere.
“Peraturan republik bukanlah peraturan moral, yang dilarang adalah menyebar kebencian dan menyerang martabat seseorang,” tambahnya.
Kontroversi ini dimulai pada akhir bulan Januari lalu, ketika seorang remaja berusia 16 tahun, yang hanya dikenal sebagai Mila, mulai berbicara tentang status homoseksualitasnya selama memberikan tutorial makeup dalam siaran langsung di akun Instagram-nya.
Menceritakan kembali apa yang telah diputar di sebuah televisi di Prancis, Mila mengatakan bahwa seorang komentator mulai memukulnya secara verbal selama siaran langsung di akun Instagram-nya. Setelah menjawab bahwa dia adalah seorang lesbian dan bahwa ‘orang berkulit hitam dan warga Arab’ bukanlah tipenya, Mila langsung menerima banyak penghinaan, dengan seorang komentator Muslim menyebutnya sebagai seorang ‘lesbian yang kotor’.
Sebagai tanggapan, Mila meluncurkan balasan omelan verbalnya terhadap Islam, dengan menyatakan, “Aku benci agama. Alquran adalah agama kebencian.”
Ledakan amarahnya tersebut memicu debat yang memecah belah platform media sosial, dengan para pendukung Mila menggunakan tagar ‘#JeSuisMila (#SayaMila)’ yang sedang tren di Prancis.
Entah dengan Mila mencarinya atau tidak, satu pilar dukungan untuknya datang dari tokoh sayap kanan partai National Rally, Marine Le Pen, yang mengatakan bahwa Mila ‘lebih berani daripada seluruh kelas politik yang pernah berkuasa selama 30 tahun terakhir’.
Bruno Retailleau, dari partai Les Republicains, juga ikut memuji remaja itu (Mila) karena telah berbicara menentang ‘politik Islam yang sedang menginjak-injak martabat kita’.
Di sisi lain, para kritikus telah mengecam komentar dari remaja yang tinggal di Grenoble itu, dan beberapa akun di media sosial pun mulai berbagi informasi pribadi Mila, termasuk nama sekolahnya. Setelah dia mendapatkan ancaman pembunuhan, jaksa penuntut umum sekitar langsung membuka penyelidikan terhadap para penyerang Mila. Dia juga telah ditempatkan di bawah perlindungan polisi dan akhirnya tempat belajarnya dipindahkan ke sekolah lain.
“Dalam debat ini, kita kehilangan arah hingga lupa tentang fakta bahwa Mila adalah seorang remaja. Kita berhutang padanya tentang perlindungan di sekolah, dalam kehidupan sehari-hari, (dan) dalam seluruh gerak-geriknya,” kata Macron.
Politisi lain pun ikut memberikan pendapat mereka, tetapi dengan cara yang lebih hati-hati. Segolene Royal, mantan kandidat Presiden Prancis dari Socialist Party, mengatakan bahwa dia membela hak kebebasan Mila untuk mengkritik agama, tetapi juga menambahkan bahwa remaja itu harusnya bisa menunjukkan lebih banyak ‘rasa respek, sopan santun, dan kepintarannya’.
Menteri Kehakiman Prancis, Nicole Belloubet, menimbulkan kegemparan setelah mengatakan bahwa pernyataan Mila tersebut ‘jelas merupakan pelanggaran terhadap kebebasan mengungkapkan hati nurani’. Setelah menerima kritik dari para aktivis kebebasan berbicara, Belloubet pun meminta maaf dengan mengatakan bahwa pernyataannya adalah ‘ceroboh’.
Abdallah Zekri, delegasi umum dari French Council for the Muslim Faith (CFCM), telah menyebut bahwa ancaman-ancaman yang ditujukan terhadap Mila adalah ‘salah’, tetapi dia juga mengatakan bahwa ia menolak semua argumen dari mereka yang mengutip ‘kebebasan berbicara’ sebagai alasan untuk membela Mila.
“Ini bukan tentang kebebasan berbicara, ini tentang seseorang yang vulgar dan (sangat) melecehkan,” kata Zekri.
Zekri juga lanjut mengkritik pemerintah Prancis, sebagai apa yang disebutnya ‘kemunafikan’ tentang dimana mereka mau memutuskan untuk membela seseorang.
“Dalam satu minggu kemarin saya telah menerima 17 surat ancaman pembunuhan, siapa yang di luar sana yang akan (membantu) mengecam itu?” kata Zekri.
Di Prancis, ‘kasus Mila’ bukanlah insiden pertama yang telah memicu perdebatan tentang hukum penistaan agama. Negara ini telah menganut bentuk sekularisme yang ketat yang dikenal sebagai ‘Laicite’, dan negara ini juga merupakan rumah bagi komunitas Muslim terbesar di Eropa Barat. Selama bertahun-tahun, gesekan-gesekan yang berhubungan dengan agama telah menyebabkan serangkaian insiden, seperti kasus pada tahun 2007 terhadap majalah satir Prancis Charlie Hebdo yang menerbitkan kartun Nabi Muhammad yang dianggap sangat ofensif bagi banyak umat Muslim.
Dalam putusan kasus tersebut, hakim memutuskan untuk mendukung majalah tersebut dengan mengutip undang-undang Prancis yang melindungi hak penistaan.
Pada tahun 2015, dua lelaki bersaudara telah menyerang kantor pusat majalah tersebut, menewaskan 12 orang dan melukai 11 orang lainnya, mereka mengatakan bahwa itu adalah tindakan balas dendam atas kartun Nabi Muhammad yang pernah mereka (majalah satir Chalie Hebdo) terbitkan.
Anastasia Colosimo, seorang professor teologi politik, menjelaskan bahwa hukum Prancis melindungi mereka yang mengkritik agama secara keseluruhan dibandingkan dengan mereka yang mengkritik individu yang menganut agama tersebut.
“Anda dapat mengatakan, misalnya, bahwa (agama) Kristen itu mengerikan, tetapi anda tidak boleh mengatakan bahwa umat Kristen adalah orang-orang yang mengerikan, karena pada saat itu anda menyebut orang-orangnya, (hal itulah) yang melanggar hukum,” katanya kepada Al Jazeera.
Colosimo juga menyatakan dukungannya untuk sistem di Prancis pada saat ini.
“Tidak ada alasan bagi negara untuk melindungi agama apapun. Akan masuk akal untuk melindungi sebuah agama ketika legitimasi kekuatan politik berasal dari otoritas keagamaan seperti di zaman kuno, tetapi tidak dalam demokrasi modern,” katanya. (Aljazeera.com)