Kasidah: Seni Berislam dan Bermusik
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kedudukan seni dalam Islam cukup penting. Lantaran seni menjadi simbol dari nilai estetika guna menyanjung-Nya sekaligus memuji Kanjeng Nabi Muhammad.
Maka seni tidak hanya berhenti sebagai bentuk ekspresi kepuasan dalam konteks hiburan. Tetapi seni juga mewujud menjadi banyak hal; rupa, benda, gerakan, syair, termasuk juga bebunyian.
Kaitannya dengan seni bebunyian, kasidah termasuk seni Islam yang usianya paling purba.
Tatu Siti Rohbiah dalam artikelnya Musik Kasidah dan Perannya dalam Dakwah Nusantara (2015) menjelaskan bahwa, kasidah sudah ada sebelum Kanjeng Nabi lahir di muka bumi. Kasidah telah menjadi tradisi bebunyian milik masyarakat Quraish saat itu.
Setelah kedatangan Islam, kasidah lantas peroleh penyesuaian di sana-sini. Barangkali lirik, nada musiknya, pakaian, sampai dengan nasihat-nasihat yang ada di dalam kasidah diubah sesuai versi Islam.
Maka mafhum jika kita mendengar ada lirik kasidah yang menukil ayat-ayat dalam kitab suci, cerita sahabat, pepujian, atau, kalam ulama yang dinilai proporsional untuk disuara-dendangkan.
Dalam konteks historis, artikel Tatu Siti Rohbiah mencatat kasidah Islam kali pertama dibunyikan oleh warga Yatsrib, untuk menyambut kedatangan sekaligus memuji Kanjeng Nabi bersama para pengikutnya.
Lirik thaala’ al-badru dilantunkan dengan iringan musik rebana padang pasir. Hal ini sebagai ungkapan meluapnya rasa suka cita karena dan kepada Kanjeng Nabi.
Setelah wafatnya Kanjeng Nabi, kasidah ini ternyata juga merambah ke berbagai daerah. Kita bisa menduga masuknya musik kasidah ini juga dibarengi dengan penaklukan ke kawasan baru oleh figur-figur penting dalam Islam.
Sebut saja seperti kawasan Syria, Irak, Persia, Armenia, Mesir, dan Libya. Tentu saja di kawasan baru ini, kasidah juga peroleh penyesuaian sesuai dengan kondisi masyarakatnya.
Sementara di Nusantara sendiri, kasidah masuk melalui Kerajaan Samudra Pasai. Kutipan di artikel:
“…, kebudayaan Islam di Indonesia dikembangkan dari Turki lewat India hingga ke Kerajaan Samudra Pasai (Aceh) sebagai pintu gerbang tempat awal masuknya seni kasidah dan akhirnya berkembang di kawasan Nusantara.”
Meskipun dalam hal ini, kita agak menyangsikan siapa figur yang pertama kali membawakan seni kasidah ini ke Nusantara.
Tetapi menurut temuan Tatu Siti Rohbiah di artikelnya, Wali Songo menjadi figur yang pertama kali menggunakan kasidah tidak hanya sebagai seni, tetapi juga sebagai instrumen dakwah.
Memang dalam berbagai artikel kita mengenali Wali Songo berdakwah tidak hanya dengan ceramah, tetapi juga berkesenian yang selaras dengan ajaran Islam. Berbagai alat musik ditambahkan lengkap dengan kedalaman makna berislam masyakarakat Nusantara pada waktu itu.
Adapun beberapa ciri kasidah yang didapati pada masa-masa awal kedatangannya di Nusantara meliputi:
1. Syair umumnya masih dalam bahasa Arab
2. Syair diambil dari kisah-kisah para nabi dan atau sahabat
3. Biasanya berisi pujian atau mengomentari kondisi masyarakat dan lingkungan dakwahnya
4. Syair biasanya bersajak ab-ab atau aa-aa
5. Dibawakan secara bersama-sama dengan rebana dan atau ditambahi dengan alat musik lainnya
Dari sini kita bisa menduga bahwa kasidah di masa lalu, merupakan sebutan primer dari sekian langgam ekspresi seni bermusik yang hari ini menyuar dengan berbagai nama; salawatan, hadrah, samrah, samman, gambus, kesenian dengklung, kentrung, berzanji, dan seabrek nama lainnya masuk menjadi bagian dari kasidah.
Kendati nama-nama tersebut hari ini telah merupa menjadi identitas yang terpisah satu sama lain.
Masing-masing memiliki figur idaman sendiri, alat musik yang khas, bahkan lirik yang berbeda, termasuk seni kasidah sendiri.
Tetapi terlepas dari itu, semuanya memiliki orientasi yang sama; mengekspresikan Islam melalui langgam seni dan tentu saja, disertai dengan nada percikan dakwah. Begitu. []