Karomah Kiai Ma’ruf Merubah Bom Menjadi Kacang

 Karomah Kiai Ma’ruf Merubah Bom Menjadi Kacang

KH. Mohammad Ma’ruf RA adalah Pendiri Pesantren Kedunglo Kediri yang telah berhasil melahirkan ulama-ulama keramat yang tersebar di pulau Jawa. Dilahirkan di dusun Klampok Arum Desa Badal Ngadiluwih Kediri pada 1852 dan wafat pada bulan Muharrom 1375H/1955 M.

Saat pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, bersama Mayor Hizbullah Mahfud dan KH. Hamzah beliau turut ke medan pertempuran walau berada di garis belakang sebagai penjuru doanya. Kiai Ma’ruf telah memberi semangat pada para santri dan pejuang dengan doanya sehingga mereka selamat di medan pertempuran. Yang terkenal dari beliau adalah sholawat yang dibutuhkan seluruh umat, yaitu “Sholawat Wahidiyah”. Berkat doa Kiai Ma’ruf tidak jarang bom yang meledak berubah menjadi butiran-butiran kacang hijau. Sebagaimana pula diceritakan oleh santri-santrinya yang juga turut berperang, para tentara dan santri yang ikut berjuang dapat kebal dengan berbagai senjata setelah diasmai (diberikan semacam doa-doa khusus) oleh Kiai Ma’ruf. 

Cara Kiai Ma’ruf mengisi kekebalan pasukan tergolong unik, setelah pasukan dibariskan beliau menyuruh mereka minum air jeding (bak mandi) di utara serambi masjid. Selanjutnya beliau berdoa yang diamini oleh pasukan pejuang. Diantara doanya, “Allohumma salimna minal bom wal bunduq, wal bedil wal martil, wa uddada hayatina”. Doanya yang kedengarannya nyeleneh ternyata sangat manjur. Terbukti semua pasukan yang sudah diisi memiliki kekebalan dari berbagai senjata.

Konon Gus Nawawi dari Jombang ketika bertempur punggungnya terkena martil. Tapi beliau tidak apa-apa malah punggungnya ngecap martil sebesar ontong. Kyai Hamzah besannya sendiri yang juga mengikuti pertempuran di Surabaya.

Kiai Bisri Musthofa Rembang (ayah KH. Musthofa Bisri) pernah diburu penjajah Jepang kemudian lari ke Kedunglo meminta perlindungan kepada Kiai Ma’ruf. Beliau kemudian mengijazahi sebuah doa, setelah diamalkan Kiai Bisri selamat dari incaran orang Jepang. Doa pemberian Kiai Ma’ruf tersebut terus diamalkan kepada anak cucunya, dan oleh Kiai Bisri Musthofa diabadikan dalam buku terjemah burdah.

Sumber : Masterpece Islam Nusantara, sanad dan jejaring ulama santri (1830-1945) – Zainul Milal Bizawie

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *